Menemukan Diri Sendiri di Era Pandemi

Power of Giving berarti memberikan apa pun yang bisa untuk menolong, menumbuhkan, atau membahagiakan orang lain. Lakukan ini terutama kepada mereka yang tak beruntung.

Selasa, 8 September 2020 | 06:18 WIB
0
223
Menemukan Diri Sendiri di Era Pandemi
Ilustrasi kebahagiaan (Foto: detik.com)

Ketika bertanya pelajaran apa yang diperoleh selama masa pandemi, saya menemukan banyak jawaban yang mengejutkan. Pertanyaan itu ditujukan pada para peserta “Menulis untuk Kesehatan Mental” yang diinisiasi untuk membantu orang-orang yang mungkin membutuhkan katarsis sebagai dampak kecemasan berlebihan memikirkan Covid-19.

Seorang ibu yang mengabdikan diri di sebuah panti asuhan mengaku tak bisa menghentikan air mata ketika mendengar anak-anak asuhnya meminta izin untuk berjualan. Anak-anak usia sekolah menengah pertama itu mau berjualan kopi dolce latte di depan panti, tempat mereka tinggal. Andai saja permintaan itu untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, pastilah ia akan melarang. Namun keinginan berjualan didasari keinginan untuk membantu orang-orang tua di sebuah panti jompo yang pernah mereka kunjungi.

Dan sebuah kebahagiaan tak terduga, berkecambah di hati anak-anak, juga para orang tua yang menjadi pendamping. Mereka menyiapkan bahan, meramu kopi, mengemas, menjual, dan menghitung pendapatan, semuanya dilakukan dengan sukacita. Kalau pun ada perdebatan, itu terjadi ketika memutuskan bingkisan apa yang akan dikirim untuk oma, opa, kakek, nenek, yangti, yangkung, yang sosoknya pernah mereka temui. Kebahagiaan yang muncul karena menyadari, dalam keterbatasan di panti asuhan, ketika dana operasional dipotong 40%, mereka justru memikirkan orang lain.

Lain lagi yang diceritakan seorang pria yang tidak pernah mengenal benih, pupuk, dan media tanam selama hidupnya. Melihat halaman rumah yang terlihat gersang, ia mulai berteman dengan toko online yang menyediakan tanaman-tanaman mudah perawatan. Setiap pagi, ia merasakan semangat baru. Ia berkenalan dengan petunia, nemophila, blue eyes, morning glory, dan beberapa jenis tanaman bunga lainnya yang mekar di pagi hari, kemudian layu menjelang jam makan siang. Dari bunga-bunga yang dijual murah, ia belajar tentang makna kehidupan. Tidak ada keindahan yang bertahan selamanya. Semua ada kadaluwarsanya, termasuk popularitas, kejayaan dalam meraih karir.

Satu lagi kisah unik yang dialami seorang peserta adalah kegembiraannya ketika bisa bertemu dengan teman-teman lama, justru ketika tubuhnya tidak boleh kemana-mana. Reuni dengan teman-teman yang sehati-sejiwa bisa dilakukan kapan saja. Ia seperti menemukan spirit baru karena pada teman-teman yang selama ini berjauhan jarak, bahkan tidak memiliki himpitan kepentingan maupun pekerjaan, justru ditemukan ketulusan persahabatan. Ia tak perlu memoleskan bedak tebal karena masing-masing sudah tahu buruk rupa tanpa make up.

Begitulah orang-orang menemukan dirinya sendiri di era pandemi. Kebahagiaan didapat bukan saat turun dari mobil mewah, kemudian petugas hotel atau mall membukakan pintu, melihat kilat sepatu mahal, sambil berpura-pura kerepotan membawa tas, sekadar menarik perhatian mata agar merk dapat terlihat.

Masih banyak kisah inspiratif yang ditemukan ketika peserta kelas “Menulis untuk Kesehatan Mental” berbagi pengalaman. Dalam keterbatasan ruang gerak, banyak orang justru menemukan betapa luasnya ruang ekspresi cinta kasih pada sesama.
Keterpurukan justru membangkitkan solidaritas yang selama ini tergerus kesibukan, atas nama pekerjaan, termasuk gaya hidup.
Kisah-kisah itu seperti menjadi bukti kecil pada konsep flow yang dikembangkan Mihaly Csikszentmihalyi seperti dikutip Denny JA pada buku terbarunya, Spirituality of Happiness.

Banyak orang melibatkan diri secara total pada aktivitas yang sedang ditekuni. Menemukan kebahagiaan yang tidak membutuhkan imbalan dari luar dirinya karena motivasi melakukan kegiatan itu bukan berasal dari instruksi atau perintah melainkan muncul dari dalam dirinya.

Denny mengkategori kebahagiaan semacam itu sebagai prinsip ketiga dari spiritualitas baru: Passion. Terlibat sepenuh hati. Apa pun yang dilakukan, sentuhlah dengan sepenuh cinta.

Spiritualitas Baru

Dalam bukunya, Denny menyodorkan munculnya spiritualitas baru yang ia rumuskan ke dalam 3P+2S, Personal Relationship, Positivity, Passion, dan 2S yait Sense of progress dan Small Winning; serta Spiritualitas Blue Diamond.

Ia menyebut personal relationship sebagai prinsip pertama. Spiritualitas muncul dalam hubungan personal yang akrab dengan orang lain, saling mengasihi, saling menumbuhkan. Jumlah tak penting, yang penting kualitas hubungan.

Seperti anak-anak yang berada di panti asuhan memikirkan orang-orang tua di panti jompo. Mereka tidak memikirkan jumlah uang yang besar untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi—karena mereka pun sesungguhnya turut terdampak. Mereka mengumpulkan rupiah yang jumlahnya tidak sampai berjuta-juta, sekadar untuk membeli tanda kasih untuk menguatkan personal relationship.

Prinsip kedua yang ditawarkan Denny adalah Positivity. Bukalah mata lain. Lihat sisi positif aneka peristiwa. Derita dan musibah dapat dilihat dengan hikmah. Bahwa derita itu membawa pesan Tuhan untuk pertumbuhan bagi yang mengalami.

Demikianlah pandemi, sebagai sebuah ujian bagi umat manusia. Kelas “Menulis untuk Kesehatan Mental” yang semula didedikasikan untuk membantu orang-orang yang mungkin mengalami stress atau bahkan depressi akibat pandemi, pada kenyataannya justru menemukan banyak orang yang bisa melihat dengan mata batin. Melihat sisi positif dari pandemi, kemudian bangkit dengan kreativitas-kreativitas baru yang segar dan menyenangkan.

Passion sebagai prinsip ketiga spiritualitas baru ala Denny dimaknai sebagai keterlibatan sepenuh hati dalam hal atau aktivitas yang disukai. Prinsip ini dirumuskan berdasarkan hasil riset. Apa pun jenis kelamin, usia, warna kulit, status ekonomi. Apa pun agama yang dipeluk, asal negara, tinggi rendah jabatan. Semua homo sapiens dapat mengalami suasana ekstase dan flow.

Entahlah apa yang terjadi pada seorang pria yang di masa pandemi mengoleksi tanaman-tanaman yang hanya berbunga di pagi hari. Mungkin keasyikan itu hanya muncul untuk mengganti kesibukan di pagi hari ketika harus berada di kemacetan jalan menuju tempat aktivitas.

Namun ketika kegiatan pengganti itu dilakukan dengan kesungguhan hati, bahkan mampu menemukan makna baru dari interaksinya dengan bunga-bunga yang hanya indah sesaat, maka sesungguhnya ia telah menemukan apa yang dikatakan Rumi, seperti dikutip Denny.

“Jika kau jalani sepenuh jiwa, sungai makna deras mengalirimu.” Renungkan pula, “Buka hati bagi setiap panggilan yang menbuat batinmu riang.” Atau “Sang pencari yang dipenuhi cinta, tak pernah tersesat.”

Dua panduan lain dalam spiritualitas baru ala Denny, yang melengkapi tiga prinsip lainnya adalah 2S. “S” yang pertama adalah Sense of Progress dan Small Winning; sedangkan “S” kedua adalah Spiritual Blue Diamond.

Pencapaian maupun kemenangan, sekalipun kecil, akan membuahkan kebahagiaan yang bermakna. Kebahagiaan hakiki justru dicapai ketika berhasil memenangkan hati orang tua jompo. Ketika melihat selembar selimut yang dibeli dari berjualan dolca latte mampu menerbitkan air mata orang tua. Pencapaian dan kemenangan bukan hanya milik orang-orang yang memiliki anugerah kelebihan intelektualitas dan keterampilan, tetapi milik semua orang. Dan terutama milik orang-orang yang memiliki hati untuk berbagi dengan sesama manusia.

Pada prinsip kelima, Spiritual Blue Diamond, Denny menyebut tiga nilai terpenting yang muncul dari banyak agama besar dan filosofi Stoicism seperti The Golden Rule, Power of Giving, dan The Oneness.

The golden rule, prinsip kebajikan, atau prinsip utama moralitas. Melakukan pada orang lain apa yang kau harap orang lain lakukan padamu. Atau sebaliknya, jangan lakukan pada orang lain, apa pun yang tak kita inginkan orang lain lakukan pada diri kita.

Power of Giving berarti memberikan apa pun yang bisa untuk menolong, menumbuhkan, atau membahagiakan orang lain. Lakukan ini terutama kepada mereka yang tak beruntung. Pemberian tak selalu berarti materi. Yang utama adalah dedikasi untuk ikut menumbuhkan orang lain.

Sedangkan The Oneness adalah prinsip yang dipahami segala hal itu satu, dan adanya saling keterkaitan satu sama lain. Bahwa kita sesama manusia itu satu, dengan lingkungan hidup itu juga satu, dengan semesta tak berhingga juga satu.

Pada akhirnya, Spirituality of Happiness karya Denny JA yang lengkap dengan catatan kaki di setiap akhir judul artikel, seperti menyodorkan cermin untuk melakukan refleksi di era pandemi.

Ketika kita harus di rumah saja, jaga jarak, dan hindari keramaian, sesungguhnya kita memang tidak perlu pergi ke mana-mana karena spiritualitas itu tidak di mana-mana. Ia berada di dalam diri kita sendiri.

Kristin Samah

***

(Refleksi buku “Spirituality of Happiness” Denny JA)