Hoaks, Bahasa Politik dan Kekuasaan

Minggu, 13 Januari 2019 | 07:05 WIB
0
329
Hoaks, Bahasa Politik dan Kekuasaan
Ilustrasi Hoax dan Kekuasaan

Dalam dunia yang semakin meluas, hampir setiap orang mengekspresikan dirinya melalui berbagai media yang dibahasakan sesuai caranya sendiri. Ada bahasa lisan, tulisan, atau bahasa prilaku yang cenderung memanfaatkan nilai moralitas secara lebih teratur.

Bahasa tentu saja menjadi medium paling efektif sebagai saluran ekspresi par exelence yang membedakan manusia dari binatang. 

Sifatnya yang spekulatif, memungkinkan perkembangan bahasa terdistorsi sedemikian rupa sejak dari yang bersifat ilmiah, ideologis-rasialis, sampai yang bernada mitos atau main-main.

Bahasa "hoaks" mungkin saja masuk dalam kategori mitos atau main-main mengingat batasan definitifnya adalah "something false" dan "preposterous".

Istilah hoaks atau berita bohong, tentu saja bagian dari ekspresi "kebahasaan" secara bebas linier dengan kebebasan berpendapat seseorang yang tentu saja memiliki motif dan tujuan tertentu.

Dalam mengekspresikan pendapatnya melalui media bahasa -baik lisan maupun tulisan-seseorang selalu dihadapkan pada dua realita objek sekaligus, ke dalam dan ke luar.

Ke dalam, berarti ia berbicara kepada dirinya sendiri dan ke luar bagaimana setiap apa yang disampaikannya dimengerti dan dipahami orang lain. Lewat bahasa, seseorang berarti mencoba melakukan identifikasi dan internalisasi nilai-nilai serta informasi yang dijumpai di sekelilingnya.

Diksi "hoaks" yang belakangan ramai dibicarakan, terkadang dimanfaatkan sebagai amunisi bagi kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan, penyebutan istilah ini belakangan seolah menjadi "klaim" salah satu pihak, bahkan seringkali tampak kontradiktif.

Di satu sisi bahwa berbicara merupakan ekspresi kebebasan berpendapat, namun disisi lain kebebasan tersebut ternyata berdampak luas terhadap situasi dan kondisi sosial-politik. 

Sebut saja kasus seorang dosen di Medan yang ditangkap akibat "hoaks" yang menyebut kasus pengeboman kantor polisi di Surabaya dengan "skenario pengalihan yang sempurna #2019GantiPresiden". Lalu, benarkah apa yang diungkap itu masuk kategori hoaks, atau diksi kalimatnya yang kritis lalu dianggap menimbulkan kebencian?

Jika merunut pada gaya bahasa kritis yang dituliskannya, tentu ada makna tersembunyi yang ingin ia sampaikan. Kalimat pertama barangkali dapat menimbulkan implikasi hoaks, karena seolah-olah pengeboman itu tak lebih sekadar drama politik yang dibuat-buat sekadar pengalihan isu.

Sekalipun kalimat ini singkat, namun berbahasa pada akhirnya cenderung bermasalah. Tak perlu kiranya membahas panjang lebar soal ini, karena kasusnya telah terselesaikan secara hukum.

Meskipun, jauh diluar itu, implikasi kasus ini meninggalkan jejak yang mungkin saja muncul banyak anggapan dimana penguasa terlampau diskriminatif dalam memahami konteks kebebasan berpendapat masyarakat.

Memang, medium bahasa muncul dari gagasan, ekspresi perasaan dan kata-kata yang diartikulasikan secara bebas di ruang publik. Bahasa menjadi saluran ekspresi kebebasan berpendapat setiap orang, bahkan tak jarang, melalui bahasa, tercipta suatu kekuatan revolusioner yang sanggup menggulingkan kekuasaan. 

Itulah kenapa, perlu kiranya dibuat aturan-aturan baku dalam membatasi, mengatur, atau mengarahkan setiap ekspresi perasaan masyarakat agar tak menjadi liar di ruang-ruang publik. Sekalipun aturan ini, terkesan "memberangus" kebebasan berpendapat setiap orang, namun paling tidak sanggup menciptakan efek kejut secara hukum demi menjaga stabilitas sosial-politik.

Bahasa tentu saja merupakan wujud ekspresi dan eksternalisasi seseorang agar dirinya dipahami dan diterima orang lain. Setiap orang tentu akan mengidentifikasi dan memberikan penilaian terhadap setiap informasi yang berada di sekelilingnya melalui bahasa yang mudah diekspresikannya. 

Namun, tak mudah menerima perbedaan pendapat dalam konteks luas kebahasaan, mengingat adanya unsur-unsur lain yang secara psikologis mengikat dalam diri setiap orang, entah itu keyakinan pribadi, fanatisme, atau kenyataan sosial-politik yang memang terlampau banyak mempengaruhi sejauh mana ekspresi kebebasan berpendapat itu "diterima dan dibenarkan" secara umum.

Yang paling mengkhawatirkan, hoaks seringkali dibenturkan oleh suatu kenyataan politik di mana pihak yang memproduksi hoaks cenderung distigmatisasikan kepada pihak-pihak oposisi yang memang cenderung kritis terhadap kekuasaan. Padahal, tak semuanya suara kritis itu dianggap hoaks, karena setiap kritik tentu saja menjadi bagian dari kebebasan berpendapat masyarakat. 

Tekanan yang terlampau besar dari kekuasaan, pasti juga menciptakan perlawanan dari pihak-pihak tertentu, maka bahasa ekspresif yang bernada provokatif, sebagai sarana kritik yang menyudutkan penguasa, tentu sangat mengganggu dan sudah sepatutnya dibatasi atau bahkan diberangus!

Banyak sekali kiranya, ungkapan-ungkapan ekspresi batin seseorang yang mewujud dalam bahasa namun tereduksi oleh suasana kepolitikan. Segala hal yang dianggap berbeda pendapat atau informasi yang dibahasakan secara kritis, seringkali langsung dicap sebagai "hoaks", terlebih informasi itu dengan cepat dimentahkan secara "faktual". 

Penguasa secara mantap melakukan hegemoni atas "bahasa" dan setiap bahasa yang diungkap seolah semuanya adalah "kebenaran" dan disisi lain, pihak-pihak yang kontra penguasa terus dimarginalisasikan melalui penciptaan hoaks sedemikian rupa, sampai-sampai terbangun sebuah opini dimana setiap bahasa yang diungkap secara kritis lantas saja dicap sebagai "hoaks".

Kita memang dihadapkan pada suatu kondisi dimana ekspresi berbahasa yang sudah sedemikian parah tercemari, bahkan polusi bahasa saat ini nampak lebih berbahaya dari polusi udara sekalipun. Dalam berbahasa---terutama dalam iklim kontestasi politik, hampir setiap orang kehilangan ide atau gagasan, keindahan ritme, bahkan cenderung berkonotasi pesimistik dan negatif. 

Wajar, jika kemudian bahasa "hoaks" kian marak seolah menjadi kanal baru dalam wujud paling nyata mencemari bahasa kepolitikan kita. Tak hanya dalam bahasa politik, bahasa agama-pun pada akhirnya tercemar diksi hoaks, lalu berkembang ditengah masyarakat menjadi sebuah rujukan bagi suatu kebenaran.

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa perkembangan hoaks pada akhirnya terpapar ekses kekuasaan yang mungkin saja terlampau hegemonik dan diskriminatif.

Kita tentu berharap, hoaks bukan sekadar amunisi politik yang hanya dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan, namun perlu adanya kesadaran bersama yang terbangun diantara masyarakat bahwa hoaks akan sangat merugikan dan menciptakan kanal-kanal baru "ideologis" yang pada akhirnya saling kontradiktif dan berlawanan. 

Bahasa politik yang belakangan ini semakin tereduksi oleh kenyataan hoaks, jangan juga malah menjadi "alat penekan" bagi penguasa dalam memberangus saluran-saluran ekspresi kebahasaan masyarakat. Hoaks mungkin saja tak semarak ketika kekuasaan juga tak berlaku diskriminatif terhadap kebebasan berpendapat masyarakat. 

Karena, mungkin saja maraknya soal hoaks juga ekses dari kekuasaan yang belakangan tampak "ekstra hegemonik" dalam penguasaan dan kanalisasi atas bahasa-bahasa politik.

***