Cerita tentang Anak-anak yang Kabur dari Rumah

Orang tua dengan "sedikit kemakmuran" yang mereka miliki, terkadang justru memperlakukan anak terlalu berlebihan secara materi dan previlege.

Sabtu, 14 Mei 2022 | 06:57 WIB
0
152
Cerita tentang Anak-anak yang Kabur dari Rumah
ILustrasi anak hilang (Foto: Republika.co.id)

Saya sungguh heran, setiap kali saudara, sahabat, atau teman kehilangan anaknya. Hilang dalam arti pergi tanpa pamit dari rumah. Saya selalu jadi jujugan untuk diberitahu. Seolah-olah saya ini dukun, paranormal atau detektif yang bisa menolong. Padahal, jangankan membantu mencari. Pendapat saya selalu sama dan selalu sangat skeptik.

Sudah gak usah dicari, nanti juga pulang sendiri!

Tapi mungkin, justru itulah kalimat yang jadi mantra buat banyak orang yang mengalami kasus seperti itu. Justru jadi malah dianggap melegakan dan menenangkan. Walau sebenarnya, kasusnya bisa macam-macam dan kadang-kadang malah jatuhnya jadi lucu. Kehilangan anak kadang malah tidak seserius kehilangan hewan klangenan. Yang sampai-sampai kayak bikin sayembara, karena mereka yang bisa menemukan dan mau mengembalikan akan diberi upah yang besar. Di konteks inilah, berita kehilangan anak malah jadi absurd...

Saya punya banyak cerita tentang ini. Karena saya lagi selo dan lego. Perbolehkan saya berbagi sebagian dari pengalaman itu.

Pertama, ini sebuah cerita tentang seorang anak yang "pengen" kuliah di Jerman. Setelah 2 tahun, tiba-tiba ia berkabar akan pulang ke tanah air. Tapi setelah D-Day, hari kepulangan dan ditunggu di bandara tak pernah muncul. Hingga berhari bahkan berbulan kemudian, jelas kondisi abnormal yang membuat siapa pun orang tuanya akan panik. Lapor kesana kemari, hingga sampai ke tangan saya. Saya malah tertawa. Dan bilang, ibu sudah siap menerima kabar terburuk? Mereka jawab: tentang apa dulu.

Bahwa anak ibu, pasti gagal untuk bisa kuliah di Jerman. Ia pasti malu menceritakannya, bahwa ia kehabisan waktu untuk pre-university. Bahwa ia hanya punya batas waktu 2 tahun untuk persiapan kuliahnya. Lalu ia "di-deportasi". Karena, pasti visa studi-nya tidak bisa diperpanjang. Kesempatan yang hanya sekali diberikan seumur hidup itu tiba-tiba hilang tak boleh mengulang. Mereka jawab, "mosok segitunya?". Saya jawab, "mosok orang tuanya tidak tahu?". Tidak!

Di sinilah selalu jadi titik persoalan serius, orang tua tidak cermat, anaknya meremehkan setiap persoalan.
Ribuan anak setiap tahun mengalami hal yang sama. Bahwa untuk bisa kuliah di Jerman itu "jebakan batman"-nya ada di 2 tahun pertama. Dan inilah yang selalu disembunyikan oleh mereka yang mengelola "agen study luar negeri". Mereka hanya berbicara hal-hal indah untuk bisa kuliah di Jerman yang nyaris gratis itu. Tapi curang memberi tahu, bahwa jika mereka gagal mentuntaskan pelajaran B2 plus studkoll secara total dalam kurun 2 tahun. Ya, selesai dan harus balik badan.

Di sini, anak jadi malu. Merasa buang waktu, buang uang, dan akhirnya membuang mimpi indah. Dan rerata mereka malu pulang ke rumah. Takut dibully tetangga, saudara, teman. Dan semua yang semula memberi puja-puji.

Kedua, dari ribuan alasan kabur dari rumah. Yang terkadang malah mengada-ada, karena saya yakin tak ada rumah tangga yang sempurna, yang mampu memenuhi harapan baik orang tua maupun si anak. Terkadang ketika orang tua, sudah berusaha sesempurna mungkin menyiapkan "si anak jadi baik". Keadaan justru hiperbolik, karena anak-anak punya agenda dan keinginan lain yang barangkali sama sekali berbeda dari mau si orang tua.

Dalam konteks ini, saya selalu bertanya apakah ada "kultur kabur dari rumah" yang ada dalam keluarga itu? Secara umum, ternyata ada. Dan solusinya, ya sama. Tak usah dicari, dia nanti akan kembali sendiri. Jika dia butuh, jika dia mau, dan jika beruntung masih ada waktu. "Kabur dari rumah itu seolah candu." Hidup di luar rumah yang secara salah selalu diartikan sebagai "kemerdekaan", yang kadang membuat anak2 jadi makin ketagihan.

Lalu bagaimana sikap kita? Kalau saya menyarankan lebih baik menyalahkan diri sendiri sebagai orang tua. Ketika kita tak pernah punya kekuatan untuk cukup tega. Memandirikan mereka sejak dini di rumah. Memberi tanggung jawab yang membuatnya justru punya ruang privat. Orang tua dengan "sedikit kemakmuran" yang mereka miliki, terkadang justru memperlakukan anak terlalu berlebihan secara materi dan previlege. Dalam keluarga sejenis ini, gampang ditebak "keberlimpahan" adalah pilihan pola asuh yang jadi pilihan yang keliru.

Ujungnya sama saja, sedikit saja mereka "tertekan, kecewa, merasa tersakiti". Kabur dari rumah, selalu adalah pilihan. Untuk kasus ini, seharusnya orangtua menerima kekalahannya. Justru sudah benar si anak yang sedang berusaha mencari untuk menemukan jalannya sendiri. Apa yang populer sebagai menemukan dirinya sendiri. Ia mungkin tanpa sadar sedang menempuh jalan yang sama, yang juga pernah dilalui oleh kakek atau neneknya, atau bapak ibunya dulu. Atau siapa pun dalam galur ke atas keluarga mereka.

Ingat dalam kasus seperti ini: sejarah selalu berulang.

Ketiga, ini model baru yang paling parah dan nyaris tanpa solusi. Pergi dari rumah karena "salah pengajian". Dalam lingkup kasus yang ini, ciri umumnya sama: orang tua terlalu terobsesi mengkuliahkan anak-anak di PTN yang dianggap jauh lebih bermutu. Orang tua seperti ini, sangat mudah diidentifikasi cirinya. Mereka akan susah payah, mencari uang untuk memberikan doping pendidikan melalui bimbingan belajar. Atau tambahan pelajaran ini itu.

Parahnya sering malah menganggap bimbel jauh lebih penting dari sekolahnya itu sendiri. Anak-anak yang terlatih dalam sistem penyelesaian ujian sekolah dalam konteks jawaban "pilihan berganda". Di negeri-negeri yang jauh lebih maju, dengan sistem pendidikan yang kualitasnya telah teruji dan lebih mapan. Sistem ujian pilihan berganda sudah lama ditinggalkan. Karena tak lebih implementasi hapalan atau salah-salah berhenti pada berspekulasi cara mencari solusi persoalan.

Jadi tidak mengherankan, kualitas pendidikan seperti apa yang anak-anak kita dapatkan. Bila kita sudah salah dari awal, dengan mulai membekali dengan logika seperti itu. Menghasilkan anak-anak yang ambigu, yang mudah bingung, dan jatuhnya malah membuat pilihan yang salah.

Lagi-lagi saya punya cerita absurd terkait delik ini. Suatu ketika, saya mengkomentari status seorang teman yang sedemikian bangga memposting berita diterimanya si anak di PTN pilihannya. Saya berkomentar (sinis memang), saya kok gak pernah mengalami euforia seperti ini yah? Eh, beliaunya marah. Saya dianggap malah mengejeknya, karena dia tahu anak-anak saya memang tak pernah ikut ujian PTN. Seingat saya, dia bilang apa salah dia bersyukur dan berbagi kebahagiaan.

Gak salah sih, tapi ia tak sadar sedang membuat galian untuk tercebur pada lubang yang tak disadarinya ....

Dua atau tiga tahun kemudian, ia memposting status si anak itu kabur dari rumah. Dicari kemana-mana tak ketemu, kuliahnya ternyata sudah setahun tak dijalaninya lagi. Ia semakin susah diajak berkomunikasi setelah bersalin busana yang makin tertutup. Nomor hape-nya selalu berganti-ganti, dan susah sekali dihubungi. Temperamennya semakin keras, dan menganggap rumah tak lagi sesuai dengan apa yang dia mau.

Lalu beliau-nya bertanya, harus bagaimana?

Saya jawab, sabar saja tunggu di rumah. Sampai ia pulang bukan dengan gelar sarjananya, tapi menghadiahimu seorang cucu. Itu pun, kalau ia mau berbagi bahagia denganmu sebagai kakek neneknya. Tragis memang....

Ketiga cerita di atas, dan mungkin ribuan cerita yang lain. Mengisyaratkan satu hal yang sama, bahwa tugas orang tua itu melulu memberi bekal. Dan sama sekali tak boleh menitipkan bahkan sedikit harapan yang berlebihan. Sedikit pun tidak boleh. Karena setiap "punjulan, kelebihan" itu justru bisa bermakna berlebih-lebihan bagi si anak.

Menjadi beban tak tertanggungkan. Yang sesungguhnya bukan melulu fenomena aktual hari ini, tapi sudah sejak dari zaman dahulu kala, dan yang pasti akan makin parah di hari depan. Ketika area hidup si anak makin luas, sementara kemampuan berpikir orang tua sebenarnya justru makin sempit...

Seratus tahun yang lalu, Kahlin Gibran sudah menuliskan "peringatan keras"-nya dalam Sang Nabi.

"Anakmu bukanlah anakmu / Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri".

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu / Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri / Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup".

NB: Tulisan ini adalah reaksi saya terhadap hilangnya atau kaburnya cucu dari guru saya dari rumah ibunya. Kakeknya (alm) seorang penyair Sufistik-Kejawen yang sangat saya hormati. Saya tidak kaget dan sama sekali tidak sedih. Bagi saya ini, hanya pengulangan sejarah. Dulu kakeknya juga pergi tanpa pamit dari anak-istrinya. Hilang bertahun-tahun, mengelana ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas. Kecuali membelai puisi-puisinya.

Sampai titik Gusti Allah mempertemukan kami. Hingga tiba "sakit jantungnya yang pertama". Saya dan istri, yang gedabigan, bingung kalang kabut mencari dimana tinggal anak istrinya. Tanpa alamat, tanpa petunjuk. Sebuah pertemuan yang ironik.

Karena, dari alur cerita itu justru memungkinkan anak perempuannya itu kemudian kabur dari rumah ibunya. Single parents yang membesarkannya dengan terlalu banyak kasih. Pergi menemui bapaknya. Untuk dinikahkan dalam acara "perkawinan paling ikonik" yang pernah saya alami. Bagaimana para tetamu dijamu di teras ruang kostnya yang sempit. Dijamu dengan hidangan dari jajanan surungan yang lewat. Apakah itu bakso, atau soto, apa saja. Pokoknya yang seluang waktu si tamu untuk hadir, sekebetulan itu juga ada tukang makanan yang lewat.

Dan sekarang cucunya harus mengalami sejarah yang sama. Bagi saya tak usah dicari, ia akan kembali membawa ceritanya sendiri....

***