Kultum Tarawih [5]: Takut pada Allah, Kita #IbadahDiRumah

Apabila mereka meninggal, kesembronoan kita adalah penyebab mereka meninggal, secara tidak langsung kita ‘membunuh’ mereka.

Kamis, 30 April 2020 | 06:34 WIB
0
220
Kultum Tarawih [5]: Takut pada Allah, Kita #IbadahDiRumah
Ilustrasi shalat berjamaah (Foto: merdeka.com)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini pun Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kita kesempatan untuk berjumpa dengan bulan Ramadan. Semoga Allah berikan pada kita kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini, dan berjumpa lagi di tahun-tahun berikutnya.

Tak lupa marilah kita berselawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan moga-mogalah kita termasuk orang-orang yang beruntung mendapatkan syafaat beliau di yaumul qiyamah kelak, aamiin ya rabbal alamin.

Ada saja sekelompok manusia bebal yang tidak mau mematuhi ulil amri/pemerintahnya. Pemerintah telah menganjurkan untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah, sementara sekelompok manusia ini masih saja ngotot menyelenggarakan ibadah ramai-ramai di tempat umum. Sebagian mereka sangat ekstrem hingga mengabaikan pentingnya menjaga jarak.

“Ngapain takut sama corona? Takut itu sama Allah! Kena atau tidak kena itu Allah yang tentukan!” kurang lebih begitulah ucap mereka ketika diingatkan.

Sebelumnya, kita harus membedakan konteks ‘takut pada corona’ dan ‘takut pada Allah’. Takut pada Allah, konteksnya adalah bahwa kita meyakini kebesaran dan kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga kita akan senantiasa mematuhi perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.

Sedangkan, takut pada corona konteksnya lebih kepada kita mewaspadai akan bahaya virus corona apabila menginfeksi tubuh kita, sehingga kita berusaha menurunkan risiko terinfeksi virus corona melalui berbagai cara seperti PHBS, social distancing, dan tidak ke mana-mana kecuali memang perlu.

Ketika kita dengan sembrono menggelar ibadah ramai-ramai dengan dalih ‘tidak takut corona tetapi takut Allah’, secara tidak sadar sebenarnya kita tidak sedang takut kepada Allah. Kita sedang menantang kekuasaan-Nya (nauzubillahi min zalik) dengan melakukan demikian. Kok bisa?

Tertular atau tidak adalah perkara yang bisa kita usahakan dengan ikhtiar. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri. Kita menghadapi kondisi pandemi, di mana kita semua rentan akan terkena COVID-19. Dengan demikian kita berikhtiar melalui #DiRumahAja untuk menurunkan risiko kita terinfeksi. 

Seandainya kita ngotot melakukan ibadah secara beramai-ramai, maka kita meningkatkan risiko tertular. Sekalinya kita tertular corona, dan mengalami gejala yang berat, tentu kita harus masuk rumah sakit. Ibadah kita, yang merupakan bentuk ketaatan dan ketakutan kita pada Allah, akan lebih sulit dilakukan. Seharusnya kita bisa salat berjamaah dengan keluarga, jadi harus sendirian di ruang isolasi tanpa teman. Seharusnya kita bisa berpuasa, jadi tidak bisa karena sakit.

Iya kalau kita yang masih muda, sehat, yang kena, kemungkinan sembuh lebih tinggi. Bagaimana kalau yang kena adalah kyai kita yang sudah sepuh, atau jamaah yang punya penyakit kronis lainnya? Apabila mereka sakit, dan pengobatannya berbiaya tinggi, kita secara tidak langsung ‘merampok’ mereka.

Apabila mereka meninggal, kesembronoan kita adalah penyebab mereka meninggal, secara tidak langsung kita ‘membunuh’ mereka. Seolah-olah kita jadi berbuat dosa, yang mana berbuat dosa ini menunjukkan bahwa kita sedang ‘menantang’ Allah Subhanahu Wa Taala. 

Maka dari itu, mari kita melakukan ibadah-ibadah bulan Ramadan kita kali ini di rumah saja. Kita jaga diri kita, keluarga kita, dari virus corona supaya kita tetap bisa melaksanakan ibadah dengan baik. Ketundukan kita akan perintah Allah, membuat kita mematuhi anjuran ulil amri, agar kita tidak melakukan hal-hal yang dilarang-Nya.

Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

***