Dialektika Budaya dalam Tafsir Nusantara

Para wali paling memahami bagaimana wujud dialektika ini harus saling mengisi dan menguatkan, sehingga agama tak mencerabut akar budaya dan budaya tak juga bertentangan dengan agama.

Rabu, 4 September 2019 | 07:50 WIB
0
393
Dialektika Budaya dalam Tafsir Nusantara
Ilustrasi para wali (Foto: Al-halimy.com)

Salah satu tema yang selalu menarik untuk didiskusikan adalah persinggungan budaya dan agama, di mana Indonesia merupakan wujud paling nyata dalam konteks paling reseptif ini. Menariknya, banyak basis utama paradigma berpikir Jawa yang secara tidak langsung mengambil dari semangat kitab suci yang berasal dari agama Islam, yaitu Alquran. 

Diakui maupun tidak, dialektika budaya lokal dengan Islam ternyata telah lama mewarnai nalar keagamaan yang diaktualisasikan oleh para ulama Nusantara yang mewujud dalam berbagai khazanah keislaman. Banyak kitab tafsir Alquran yang ditulis dalam bahasa Jawa atau Melayu yang tersebar sepanjang abad 17, di tengah kecamuk perang saudara dan hegemoni Belanda atas Nusantara.

Untuk sekadar menunjukkan, betapa budaya Jawa itu cukup kuat dalam mempengaruhi khazanah keislaman, mungkin dapat dilihat dari penerimaan atas suatu paradigma, "Jawa Digawa, Arab Digarab, dan Barat Diruwat". 

Memahami diksi ketiganya akan lebih mudah dalam hal memahami, bagaimana semangat para ulama dalam menafsirkan Alquran atau menulis berbagai ulasan keagamaan Islam yang begitu lekat dengan nuansa budaya lokal. Diksi "Jawa digawa", berarti memberitahukan bahwa kapanpun, dimanapun, budi pekerti itu harus lebih diutamakan, sebab "Jawa" disini lebih berkonotasi "subosito" atau "tatakrama".

Diksi kedua yang menyebut, "Arab digarab" sepertinya lebih memperkuat aksen Islam dalam kultur masyarakat, sebab Islam yang berasal dari Arab jelas dianggap bagian dari semangat bermasyarakat, berbudaya, dan juga beragama. 

Dengan diksi "digarab" berarti Arab tidak diterima begitu saja, namun perlu dipahami, diteliti, dan disesuaikan mana yang hanya bersifat budaya dan mana yang dinilai sebagai ajaran agama. 

Tak jauh berbeda, ketika muncul diksi berikutnya, "Barat diruwat", seolah-olah ada penekanan bahwa budaya Barat itu budaya impor, sehingga penerimaan atas budaya luar itu harus melewati berbagai "filtering" terlebih dahulu, "dibersihkan" dari unsur-unsur negatif yang melekat didalamnya.

Masyarakat Nusantara sejak awalnya merupakan masyarakat yang telah memiliki peradaban tinggi, bukan tipikal masyarakat nomaden yang berubah-ubah. Basis utama masyarakat Jawa adalah berkumpul, toleransi, saling menghormati, dan menghargai nilai-nilai tradisi yang sedemikian kuat. 

Budaya lokalnya ibarat suatu wadah besar yang sedemikian cair dan siap menerima berbagai nilai, tradisi, atau budaya yang berasal dari luar. Itulah sebabnya, di abad ke-18, seorang ideolog dan konseptor ulung, Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunagara I atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Samber Nyawa, telah merumuskan bentuk akuturasi Islam-Jawa dengan paradigmanya yang sedemikian dikenal.

Pangeran Samber Nyawa mencipta suatu adagium, "Rumangsa Melu Handarbeni" (Berani mawas diri); "Wajib Melu Angrungkebi" (Merasa ikut memiliki); dan "Mulat Sarira Hangrasa Wani" (Selalu bermuhasabah/menilai diri sendiri terlebih dahulu sebelum menilai pihak lain). 

Pangeran yang kemudian sering membuka kelas-kelas khusus untuk mendiskusikan persinggungan agama dan budaya dengan para tokoh masyarakat dan agama, melahirkan seorang ulama keraton yang menulis tafsir Alquran dengan bahasa Jawa pada 1923, yaitu Kanjeng Raden Penghulu Tafsir Anom V yang karyanya sampai saat ini tersimpan baik di Musium Sonobudoyo, Yogyakarta.

Perkembangan Islam di Nusantara saya kira, mengalami perkembangan yang sedemikian cepat di awal abad 19, ditengah banyaknya anggapan bahwa agama Islam mengalami kemundurannya sejak kekhalifahan hancur di Turki dan Jazirah Arab dikuasai Bani Su'ud dan Wahabi. Para ulama Nusantara kebanyakan adalah mereka yang mengenyam pendidikan secara langsung di Mekah dan Madinah, bahkan tak sedikit para ulama yang menetap disana tetapi tetap mengajarkan Islam dalam semangat dialektika tradisi dan kebudayaan Jawa. 

Hal ini tentu saja menarik, sebab Dunia Arab sangat berbeda kebudayaannya, tetapi para ulama mampu melakukan akulturasi pemikiran agamanya tanpa keluar dari aksen budaya lokal yang selama ini dianutnya.

Perkembangan khazanah tafsir Nusantara kemudian berkembang luas dan telah banyak dibahas dalam berbagai penelitian atau karya ilmiah, semakin memperkaya dialektika agama-budaya di Tanah Air. Tak kurang dari puluhan karya tafsir para ulama Nusantara yang ditulis dengan aksara Jawa (carakan atau pegon), seperti Carakan Muhammadiyah yang ditulis oleh ulama Muhammadiyah Surakarta, pada 1927; Tafsir Al-Huda yang ditulis dalam bahasa Jawa oleh ulama-militer bernama Bakrie Syahid; atau Tafsir Nurul Ihsan hasil pemikiran al-Qadhi Haji Muhammad Sa'id bin Umar bin Aminuddinbin Abdul Karim yang ditulis dalam bahasa Melayu. Bahkan, beberapa karya penting, seperti Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis Abdurrauf As-Sinkili telah lebih dulu mewarnai khazanah tafsir Nusantara.

Salah seorang pakar tafsir Islah Gusmian, menulis banyak hal soal sejarah tafsir di Nusantara, bahkan banyak mengungkap sisi lain terutama realitas dialektika budaya-agama dalam berbagai karya tafsir Alquran ulama Nusantara. Dosen tafsir Alquran IAIN Surakarta ini, bahkan pernah mendapatkan tafsir berbahasa Madura yang sangat jarang diketahui masyarakat. 

Menurutnya, terdapat dua pendekatan para ulama ketika mereka menulis tafsir Alquran. Pertama, pendekatan sosio-humanistik yang sangat kental mewarnai hampir seluruh karya tafsir di Nusantara.

Pendekatan ini memungkinkan Islam sebagai agama yang turun di Arab "diserasikan" dengan nilai-nilai budaya lokal yang berkembang dan menjadi bagian dari ritual masyarakat. Kedua, pendekatan nalar eklektik, dimana ada pilihan tertentu yang diambil dari pemikiran ahli tafsir Timur Tengah lalu diserap kedalam budaya lokal dan dibuat suatu eksperimen (tajribah).

Salah satu pendekatan secara sosio-humanistik dalam tafsir akan sangat terasa ketika kita membaca tafsir karya dua ulama kakak-beradik, Misbah Musthafa dan Bisyri Musthofa. 

Dalam "Iklil fi Ma'ani al-Tanzil", karya Bisyri misalnya ketika menafsirkan kata "alif laam miim" yang umumnya tidak diterjemahkan, justru diuraikan selaras dengan konteks budaya saat itu. Bisyri misalnya, dalam menafsirkan makna "alif laam miim" seolah menggambarkan suasana rapat yang belum dimulai penuh keriuhan dan menjadi tenang setelah "alif laam miim" itu difirmankan Tuhan. Saudaranya, Misbah, memberi penekanan lain, dimana kata "alif laam miim" diumpamakan kode rahasia Tuhan atas manusia sama halnya dengan kode surat rahasia yang menjadi bagian protokol kenegaraan.

Pendekatan nalar eklektik dalam corak tafsir Nusantara, barangkali dapat ditemukan dalam salah satu tafsir berbahasa Jawa yang mengungkap makna sederhana namun sarat makna. Misalnya, ada salah satu tafsir berbahasa Jawa yang menjelaskan makna "alhamdu" sebagai "badan", "lillahi" sebagai "hati", "Rabbi" sebagai "nyawa", dan "'Alamiin" sebagai "pengawasan". 

Setiap orang ketika menunjukkan rasa bersyukur atas kesehatan badannya, kekuatan dirinya dimulai dengan melihat kepada dirinya sendiri, sehingga tumbuh rasa syukur kepada Tuhan setiap hari. Setiap rasa syukur harus mantap diyakinkan dalam hati dan diaktualisasikan dalam setiap tindakan, karena segala aktivitas manusia sejatinya berasal dari nyawa yang dititipkan Tuhan sang Maha Pencipta yang senantiasa mengawasi segala prilaku kita, yang terang-terangan maupun tersembunyi.

Dialektika budaya-agama dalam khazanah tafsir Alquran di Nusantara memang selalu tampak menarik, sekalipun luput dari berbagai kurikulum pendidikan tinggi yang secara umum cenderung berkiblat kepada tafsir yang bercorak Timur Tengah. 

Para wali, tentu saja mereka yang paling memahami bagaimana wujud dialektika ini harus saling mengisi dan menguatkan, sehingga agama tak mencerabut akar budaya dan budaya tak juga bertentangan dengan agama. 

Perhatikan ketika Sunan Muria memberi nasehat dengan hanya mengucapkan, "ngeli lan ora keli" (boleh berkeinginan apa saja tetapi jangan sampai mengorbankan diri atau ikut hanyut dalam budaya luar). Nasehat yang sarat makna akan suatu dialektika agama-budaya yang sulit dilepaskan dalam sejarah tradisi perkembangan Islam di Nusantara. 

***