Fenomena lone wolf adalah keadaan ketika terorisme bergerak sendiri. Misalnya ketika seseorang tiba-tiba jadi anggota kaum radikal, padahal keluarganya tidak terlibat sama sekali. Ia jadi lone wolf dan dengan sendirian memasuki kelompok tersebut atas kemauannya sendiri. Kita wajib waspada agar anak-anak tidak jadi anggota kaum radikal.
Kepala pusat riset kajian terorisme Benny Mamoto menyatakan bahwa untuk mencegah fenomenal lone wolf, maka garda terdepan adalah keluarga. Jika dari kecil seseorang sudah diajari tentang bahaya terorisme dan dididik untuk jadi nasionalis, maka tidak akan mudah terbujuk oleh kaum radikal. Karena tahu beda antara radikalisme dengan kelompok ormas biasa.
Benny melanjutkan bahwa edukasi di keluarga sangat penting, karena adalah lingkungan paling awal manusia. Maka anak ketika dewasa akan tahu mana yang benar dan mana yang salah. Lagipula, seorang anak tentu akan mempercayai omongan ibunya. Jadi sang ibu juga harus mengajarkan rasa kebangsaan dan melarang anak untuk mengikuti ajaran radikalisme.
Selain di keluarga, maka Benny menyatakan bahwa edukasi di lingkungan sekolah dan sipil sangat perlu dalam mengurangi fenomena lone wolf di Indonesia. Jadi ketika sudah tersosialisasi, masyarakat akan paham mana saja yang termasuk kelompok teroris. Ketika ada kelompok yang mencurigakan, mereka jadi tanggap dan menelepon pihak berwajib agar menyelidikinya.
Untuk melakukan edukasi tentang anti radikalisme di sekolah, maka para guru bisa mengajarkan murid untuk memiliki rasa nasionalisme.
Dengan mengajak ke museum atau taman makam pahlawan. Murid diceritakan tentang sejarah perjuangan pahlawan. Sehingga tahu bahwa kemerdekaan adalah hasil dari banyak pihak, bukan satu agama tertentu.
Di sekolah juga diajarkan tentang perlunya memiliki rasa toleransi kepada sesama, baik ke teman yang seagama maupun yang beragama lain. Indonesia juga terdiri dari banyak suku. Jadi murid diajarkan untuk saling menghormati orang lain yang bersuku berbeda dan memiliki keyakinan yang berbeda. Mereka tidak akan jadi orang yang intoleran.
Orang tua juga wajib waspada terhadap kelakuan anak di rumah. Jangan sampai mereka ternyata terpapar radikalisme dari media sosial dan bercita-cita jihad ke luar negeri. Awasi gadget anak dan lihat history-nya, untuk tahu apa saja yang dibaca di internet. Ajarkan juga ke anak bahwa ajaran radikalisme itu sebenarnya menyesatkan karena mengumbar kekerasan.
Para guru juga harus memperhatikan murid-muridnya. Jika ada yang menolak untuk menghormati bendera merah putih, maka wajib ditanya baik-baik alasannya. Karena kaum radikal sudah mendoktrin anggotanya untuk tidak setia pada negara yang mereka anggap zalim. Jadi semua dilarang untuk memberi hormat bendera dan mengikuti upacara.
Jika ada murid yang sudah terlanjur, maka wajib dilihat latar belakangnya. Apakah orang tuanya tahu bahwa ia sudah masuk kelompok radikal? Jika ia masuk atas kesadaran sendiri, maka wajib disembuhkan dengan terapi. Alam bawah sadarnya dipengaruhi lagi bahwa memiliki rasa kebangsaan itu perlu dan kaum radikal itu salah.
Proses ini memang butuh waktu agak lama, namun harus dilakukan. Agar tidak ada lagi generasi muda yang terkena fenomena lone wolf. Mungkin mereka pada awalnya tertarik dengan ajakan jihad karena berasa jadi pahlawan. Atau mau-mau saja diajak membenci pemerintah karena melihat banyak ketimpangan ekonomi di sekitar.
Generasi muda yang kena fenomena lone wolf harus diperhatikan oleh guru, keluarga, dan lingkungan sekitarnya. Karena jika sudah terpapar radikalisme, masa depannya akan rusak. Orang tua juga wajib mengawasi anak-anaknya dan mengecek kegiatan mereka di dunia nyata maupun maya, agar tidak terlanjur tercebur dalam kelompok radikalisme.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews