Penyebaran Radikalisme Menyasar Anak-Anak di Medsos

Benteng terhadap propaganda radikalisme tidak hanya pada pemerintah atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) saja, tetapi juga dimulai dari lingkungan terdekat seperti keluarga.

Minggu, 23 Januari 2022 | 21:33 WIB
0
210
Penyebaran Radikalisme Menyasar Anak-Anak di Medsos
Radikalisme di medsos (Foto: tribunnews.com)

Penetrasi internet yang semakin masif telah menyebabkan media sosial (Medsos) dapat diakses semua pihak, termasuk anak-anak.

Kendati demikian, orang tua maupun masyarakat umum diharapkan terus mewaspadai dan mengawasi penggunaan Medsos oleh anak-anak, khususnya dari penyebaran paham radikal.

Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK) Habib Syakur Ali Mahdi Al Hamid, mengingatkan kepada pemerintah maupun orang tua untuk mewaspadai penyebaran paham radikal lewat media sosial.

Menurutnya, paham radikal di media sosial saat ini memiliki potensi untuk diakses oleh semua orang tak terkecuali anak-anak.

Menurut Habib Syakur, kepemilikan perangkat gawai harus didata, khususnya bagi anak. Misal, pemilik gawai tidak diperbolehkan untuk anak-anak yang berusia 17 tahun ke bawah.

Mereka yang berusia 17 tahun ke atas baru diperbolehkan dengan tetap didampingi oleh orang tua. Kemudian, pembatasan untuk aplikasi, Yakni ketika sebuah aplikasi hendak didownload oleh anak-anak, harus disertakan identitas. Jika belum memiliki KTP, aplikasi tersebut tidak bisa diunduh.

Habib Syakur mengatakan, setiap aplikasi di IOS atau apapun, harus ada pembatasan dengan skala data KTP atau Kartu Pelajar. Kartu Pelajar ini nantinya akan terkoneksi dengan sekolahnya. Nah sekolahnya ini nanti Kemendiknbud memiliki data base.

Dirinya juga mengingatkan, pencegahan terhadap penyebaran paham radikal dan intoleran pada anak-anak membutuhkan keterlibatan semua pihak. Kemendikbud sebagai regulator pendidikan pun harus maksimal dalam mengawasi perkembangan sekolah dengan memanfaatkan data base para siswa dan siswi.
Habib menilai bahwa selama ini pemerintah terkesan belum serius dalam hal pengawasan ber-sosial media. Pemerintah seolah membiarkan media sosial dijadikan saran kebebasan berpendapat. Dampaknya, tidak sedikit para generasi milenial yang bersikap arogan dalam menggunakan media sosial.

Mereka juga terpengaruh dengan situasi yang dibutakan seakan-akan kebutuhan spiritual untuk mewarnai kehidupan dunia. Hal ini rupanya dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal.
Generasi milenial khususnya mereka yang belum punya KTP, tentu saja harus didampingi oleh orang tua dalam hal penggunaan gawai.

Karena situasinya saat ini adalah seakan-akan generasi milenial ini menggaungkan haus akan kebutuhan spiritual untuk mengimbangi kehidupan antara dunia dan akhirat. Banyak dari mereka ini kemudian tercuci otaknya oleh kelompok khilafah. Itulah yang sebenarnya harus diwaspadai.

Sebelumnya, Kasubdit Kontra Ideologi Ditcegah Densus 88 Anti Teror Polri, Kombes Pol Ponco Ardani mengatakan, penyebaran radikalisme yang paling utama adalah lewat media sosial. Itu karena, media sosial saat ini bisa diakses oleh semua kalangan, termasuk oleh anak-anak.

Perkembangan dan inovasi dunia teknologi informasi menyediakan kemungkinan baru bagi para teroris. Ruang cyber adalah lingkungan yang serba terbuka, menjadi tempat istimewa bagi para teroris untuk menemukan sumber daya baru. Juga memungkinkan mereka menjalankan aktivitas propaganda.

Internet khususnya media sosial menawarkan akses yang relatif sederhana dan jangkauan yang tidak terbatas. Selain itu anonimitas untuk menyembunyikan identitas juga sangat mungkin untuk dilakukan, hal itu tentu saja menjadi keuntungan bagi kelompok radikal untuk melindungi identitas dirinya.
The Guardian menyebutkan, hampir 50 persen jihadis asal Perancis memiliki sejarah kriminal kecil seperti pemakai narkoba, perkelahian jalanan dan beberapa sedikitnya terlibat perampokan bersenjata. Latar belakang yang serupa juga ditemukan di Jerman dan Amerika Serikat. Mereka memakai pakaian bermerk, topi baseball, penutup wajah dan model pakaian streetwear lainnya yang sejatinya tidak menunjukkan identitas sebagai muslim.

Tentu saja kedua kasus tersebut tak lain dan tak bukan disebabkan oleh adanya media sosial yang menawarkan kemudahan dalam menyebarkan propaganda maupun konten radikal hanya dengan beberapa kali klik. Sehingga penting bagi orang tua untuk bisa mendampingi anak-anaknya ketika mereka tenggelam dalam lautan internet. Orang tua harus bisa menentukan mana konten yang aman dikonsumsi dan mana yang seharusnya dihindari.

Benteng terhadap propaganda radikalisme tidak hanya pada pemerintah atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) saja, tetapi juga dimulai dari lingkungan terdekat seperti keluarga.

Penting kiranya bagi keluarga untuk bisa menerapkan penggunaan internet secara sehat khususnya bagi anak-anak yang masih memerlukan bimbingan oleh orang tua.

Alfisyah Dianasari, Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini