Anak adalah sasaran kaum radikal karena pikiran mereka masih polos. Mereka bisa terpapar radikalisme dari internet. Apalagi ketika sekolah dari rumah, jam untuk memegang gadget lebih lama dari biasanya. Orang tua wajib mengawasi anak-anak agar tidak terjeblos pada konten radikalisme di media sosial.
Di masa pandemi covid-19, anak-anak wajib school from home. Mereka mengerjakan tugas via WA dan mendengarkan ajaran guru via aplikasi Zoom. Kondisi ini membuat anak yang biasanya hanya boleh main HP hanya 1 jam dalam sehari, jadi memakai gawai lebih dari 6 jam. Efek baiknya, anak jadi bisa belajar walau di rumah saja. Namun ada juga efek buruknya.
Salah satu efek buruk dari pemakaian gawai terlalu lama ini adalah anak bisa terlalu bebas menggunakannya, hingga menemukan konten radikal di media sosial. Apalagi ketika orang tua sudah kembali bekerja di kantor dan tidak bisa menemani mereka belajar dari pagi. Anak bisa terpengaruh konten radikal karena mereka tidak tahu bahwa hal itu sangat terlarang.
Menurut Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, radikalisme dan terorisme bisa disebarkan via media sosial, bahkan Google dan Youtube. Apalagi ketika konten itu memiliki visual yang bagus. Anak bisa terpengaruh dan percaya pada omongan kaum radikal yang mereka anggap keren.
Orang tua wajib waspada akan pengaruh kaum radikal, karena mereka sudah bergerilya lewat dunia maya. Jadi jangan 100% percaya pada kegiatan anak saat mengakses internet. Sesekali, periksalah history di browser HP atau laptop, agar tahu bahwa mereka membuka apa saja. Apakah mencari pengetahuan lewat Google atau malah membaca konten radikal.
Ketika anak ternyata membaca konten radikal, jangan marah. Namun terangkan kepada mereka mengapa konten tersebut terlarang. Ajarkan pula bahaya radikalisme, apa saja kekacauan yang mereka lakukan selama ini, dan lain-lain. Anak akan tahu bahwa kaum radikal ternyata tidak semanis yang ia duga, dan jihad bukanlah jalan ninja menjadi pahlawan.
Jika orang tua tidak bisa menemani dan membimbing anak ketika school from home karena harus bekerja, maka minta nenek atau bibi untuk mengawasi mereka. Jadi, anak akan fokus belajar, bukannya berselancar di media sosial dan menemukan konten radikal. Ketika ada dananya, maka panggil tutor untuk mengajari dan memantau mereka, agar tak lepas kontrol.
Bagaimana jika tidak ada saudara atau tutor yang mendampingi anak? Orang tua bisa memasang kamera CCTV dan bisa dipantau lewat gadget. Bukannya paranoid, tapi buktinya ketika anak dibiarkan belajar sendiri, apalagi jika masih kelas 1-3 SD, ia cenderung suka bermain, bosan, dan akhirnya buka browser sembarangan. Padahal di sana banyak konten radikal.
Anak juga diajarkan untuk memiliki nasionalisme yang tinggi. Pajang foto Presiden dan wakilnya di dinding rumah. Jangan lupa memasang bendera merah putih, tak hanya saat 17 agustus, tapi di hari besar lain. Jika perlu, adakan upacara bendera di halaman depan rumah, ketika ada libur di hari nasional. Anak jadi terpantik rasa patriotisme dan nasionalismenya.
Ceritakan pada anak sejarah kemedekaan Indonesia dan bacakan buku bergambar mengenai para pahlawan. Jadi mereka tahu bahwa kemerdekaan adalah hasil dari perjuangan pahlawan yang berasal dari berbagai suku dan agama. Jika ada yang mengajak untuk membentuk negara khalifah, tentu tidak bisa, karena tidak sesuai dengan azas pancasila.
Kaum radikal menyusup di dunia maya dan anak bisa menemukan konten buatan mereka, jika tidak diawasi. Ketika anak bersekolah di rumah, maka aktivitas mereka saat berintenet harus dipantau. Tujuannya agar mereka benar-benar belajar, bukannya membuka konten radikal dan malah bercita-cita untuk jihad.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews