Cerpen| Burung Gagak

Setiba langkahnya di halaman rumah pemuda itu berubah menjadi seekor burung gagak hitam.

Selasa, 19 Januari 2021 | 06:09 WIB
0
235
Cerpen| Burung Gagak
ilustrasi: beritagar.id


Di suatu malam yang hampa Haji Udin mengucek-ucek matanya yang tidak gatal. Ia melihat sesosok manusia berdiri di atas pelepah daun pisang di pekarangan rumahnya yang tingginya sekitar 3 meter. Benar kata mereka, gumam Haji Udin setelah menyaksikan sendiri apa yang pernah dikatakan tetangganya. Di tengah kesedihannya yang datang bertubi-tubi, terbersit harapan Haji Udin usai menyaksikan sosok yang baru saja ditemuinya.

“Heiii,” sapa Haji Udin.

Sosok pemuda itu bergeming. Tak menjawab.

“Siapa namamu? Turunlah jika kamu orang baik.” Mendengar permintaan itu, secepat kilat si pemuda sudah berdiri di hadapan Haji Udin. Lalu diajaklah pemuda itu singgah ke dalam rumahnya.

“Bagaimana kau bisa melakukan apa yang aku lihat barusan?”  Haji Udin bertanya lagi. Pemuda itu menatap lelaki 50 tahunan di hadapannya, lalu menunduk seperti malu.

“Kesaktian apa saja yang kau punya?”

“Aku tidak sakti. Sudah sejak kecil aku memiliki apa yang tak dimiliki kebanyakan manusia. Aku bisa berjalan di atas air, juga bisa mengubah pasir menjadi beras.”

“Kalau berjalan di atas air kami juga sudah lama melakukannya. Tapi menggunakan perahu atau kapal.”  Kata Haji Udin. “Apakah kau bisa menolong kami? Di sini kami tak berdaya melawan virus Covid-19. Padahal kami orang-orang soleh yang rajin sembahyang. Kami pikir Tuhan akan melindungi hamba-hamba yang beriman. Virus tak akan mampu menyentuh kami. Ternyata satu demi satu dari kami berguguran, mati karena ulah virus itu. Pak Kades, imam masjid, pamanku, ibuku yang sudah tua, dua anakku dan istriku harus meregang nyawa.

Memang, kami tak setuju dengan semua himbauan yang menghambat aktifitas kami di masjid, di pasar, di tempat kenduri dan silaturahmi. Bukankah itu semua perintah Tuhan? Sedangkan memakai masker akan membuat nafas kami sesak. Mencuci tangan? Kami setiap hari minimal 5 kali mencuci tangan, bahkan lebih dari itu: muka, lengan, telinga, kaki pun kami cuci. Kurang bersih bagaimana coba? Menjaga jarak dan menghindari kumpul-kumpul atau kerumunan? Itu artinya merenggangkan tali silaturahmi yang akan membuat rejeki seret. Karena itu aku memohon pada Tuhan agar diturunkan pertolongan untuk menghentikan wabah ini, jika memang Tuhan masih mau menolong hamba-Nya.”

“Lalu apa yang bisa kulakukan?” Pemuda itu merespon dengan pertanyaan.

“Berilah kami obat penawar untuk membunuh virus yang telah menyerang banyak warga di sini. Atau bantulah kami membunuh semua virus yang beterbangan atau menempel di setiap sisi dan sudut wilayah desa ini. Aku yakin, kamulah jawaban dari doaku pada Tuhan.”

“Tapi aku bukan tabib, bukan pula dokter.”

“Aku justru sudah tak percaya pada mereka. Mereka sendiri banyak yang jadi korban. Tapi kau bisa melakukan banyak hal di luar nalar. Aku yakin, urusan ini sangat mudah bagimu.”

Pemuda itu bangkit dari duduknya. Ia hendak melangkah ke luar rumah.

“Jangan pergi, tolonglah kami. Kami punya hadiah untukmu. Kami punya banyak sapi di kandang. Atau jika kamu mau beberapa kavling tanah akan kusiapkan sebagai upah untukmu.”

Pemuda itu tak menghiraukan tawaran Haji Udin. Setiba langkahnya di halaman rumah pemuda itu berubah menjadi seekor burung gagak hitam. Ia mengepakkan kedua sayapnya, lalu terbang tinggi diiringi suaranya yang menyayat hati.

***

Depok, 18 Januari 2021