Olimpiade Barcelona 1992 [1] Merangkak Menggapai Emas

Kegagalan 1988 berulang di Piala Thomas 1990 di Tokyo. Icuk Sugiarto dan kawan-kawan dikalahkan lagi oleh Malaysia 3-2. Kali ini tidak di final, tetapi di semifinal.

Senin, 19 Juli 2021 | 08:14 WIB
0
222
Olimpiade Barcelona 1992 [1] Merangkak Menggapai Emas
Tahir Jide dan Try Sutrisno (Foto: Dok. pribadi)

Ibarat sebuah perjalanan, prestasi bulu tangkis pada awal kepengurusan Try Sutrisno – Wakil Kepala Staf Angkatan Darat – merupakan awal pendakian gunung tinggi yang bertebing terjal. Tidak terlalu banyak bekal tetapi sudah harus dihadapkan pada medan yang teramat berat sejak awal pendakian menuju puncak Olimpiade Barcelona 1992.

Ujian berat terjadi di kandang sendiri. Try Sutrisno (terpilih memimpin Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia periode 1985-1989) baru tujuh (7) bulan menjabat posisi tertinggi di perbulutangkisan Indonesia, terpilih dalam sebuah Musyawarah Nasional Bulu Tangkis di Samarinda, Kaltim. Indonesia diuji di depan publik sendiri, publik Istora yang di kalangan pebulu tangkis barat akhir 60-an dan 70-an sebagai “Neraka Istora Senayan”.

Pertarungan final Piala Thomas di Senayan pada April-Mei 1986 ini disaksikan sekitar 10.000 penonton “partisan” dengan suit-suitan serta sorak membahana, ternyata berlangsung ketat dan membuat tegang. Publik Senayan, yang dikenal “partisan” membela pemain negerinya, ternyata tak cukup menggetarkan kubu bulu tangkis China, lawan Indonesia di partai puncak final kejuaraan bulu tangkis beregu dunia, Piala Thomas. Indonesia dalam posisi mempertahankan Piala Thomas, yang direbut dari China di Kuala Lumpur 1984.

Sementara China menggebrak dunia dengan merebut Piala Thomas dari tangan Indonesia di final London 1982. Indonesia sebelum tampilnya China di Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF) pada 1981, adalah juara Piala Thomas tujuh kali pada tahun 1958, 1961, 1964 terselang Malaysia 1967, dan kemudian empat kali berturut-turut juara pada 1970, 1973, 1976, 1979.
(Setelah China masuk IBF 1981 dan juara pada 1982, maka Piala Thomas dan juga kejuaraan beregu putri Piala Uber tidak lagi digelar tiga tahun sekali, akan tetapi dua tahun sekali).

Suasana Istora 1986

Pemain kidal Yang Yang – menurut Tang Xienhu kepada saya, merupakan pemain terbaik hasil dari “kejuaraan khusus kidal” di seantero daratan China menjelang 1980 – membuka kemenangan dengan mengalahkan Icuk Sugiarto, dua set langsung 15-7, 15-1. Yang Yang, dia pemain muda asal Nanjing di provinsi Jiangshu, China.

Padahal Icuk Sugiarto – yang permainannya ibarat tembok dengan gaya ultra defensif, menyengat saat lawan sudah kelelahan adu reli – baru saja tampil sebagai Juara Dunia di Kejuaraan Dunia 1983 mengalahkan salah satu The Last of the Magnicent Seven, Liem Swie King di final di Kopenhagen, Denmark. Tetapi di depan Yang Yang, Icuk di depan publik sendiri di Senayan 1986 seperti tidak banyak berkembang permainannya. Macet, cet.

Sementara Yang Yang? Selain atraktif, dingin tanpa ekspresi, merajalela dengan kekidalannya. Yang Yang yang masih umur 20 tahun itu membuat Icuk Sugiarto (21) mati langkah. Di semua lini, pukulan Yang Yang membuat taktik defensif Icuk mentah. Yang Yang mematikan langkah Icuk, paling sering dengan pukulan smes loncat, menyilang tajam di depan net. Posisi Icuk yang relatif agak ke belakang, sama sekali sulit menjangkau. Dan apabila Icuk sudah bersiap agak ke depan, smes loncat kidal Yang Yang menusuk lurus, menyusur garis forehand Icuk. Mati kutu juga.

Kehebatan lain Yang Yang, adalah permainan netnya yang amat tipis di bibir net, dan menyilang tajam. Sehalus netting Rudy Hartono.

(Dari hasil obrolan dengan Oom Tang Xienhu, juga Manajer Cina yang dulu Wong Solo, Wang Wenjiao maupun Hou Jiachang salah satu juara dunia China, serta Liang Chiushia juga juara dunia China saat mereka datang ke Indonesia maupun ketika ketemu mereka di Kejuaraan Dunia Beijing 1987. Chiushia melatih Susi Susanti, serta Tang Xienhu melatih Icuk.

Ternyata Yang Yang kata Tang Xienhu serta Chiushia, pemain ini mengkombinasikan teknis permainan netting halus Rudy Hartono, serta smes loncat Liem Swie King – yang di Eropa dijuluki “airborne smash” – ditambah gaya permainan kidal. Rupanya tak hanya Yang Yang, yang mengadopsi teknik Rudy dan King namun ditambah permainan kidal yang tentu makin menyulitkan lawan. Akan tetapi juga pemain-pemain kidal daratan China yang banyak bermunculan waktu itu seperti Zhao Jianhua, Ding Qiqing, Zhang Qinwu. Mereka pakai smes King dan netting Rudy. Maka tidak heran jika setiap kali melihat para ofisial China di turnamen-turnamen manapun di dunia, termasuk di Senayan, tim China selalu merekam lengkap permainan pemain-pemain Indonesia dengan kamera video. Menurut Tang Xienhu, dan juga Liang Chiushia, rupanya rekaman ini dipelajari, serta dianalisa baik-baik untuk menemukan taktik baru mencari kelemahanan jago-jago dunia dari Indonesia)

Pada partai kedua Piala Thomas Istora Senayan 1986 itu, Lius Pongoh (21) menjadi pemicu sorak-sorai publik Senayan setelah kekalahan Icuk. Lius Pongoh sangat lincah. Ke sana kemari mengejar bola, sampai penulis bulu tangkis Valens Doy menjulukinya “seperti bola karet”. Nah, si Bola Karet ini mempecundangi salah satu jagoan kidal China lainnya, yakni Ding Qiqing dalam pertarungan ketat 1 jam 6 menit, rubber set 15-12, 11-15, 15-1. Ini merupakan penampilan terbaik dalam karir Lius Pongoh yang berdarah Manado, kelahiran Jakarta ini.

Barisan penonton Istora Senayan (waktu itu Istora 1986 belum berpendingin AC seperti sekarang) yang tadinya kuyu melihat pujaannya, Icuk, kalah lawan Yang yang. Mereka mendadak bangkit, berdiri menyoraki Si Bola Karet Lius. Setiap kali poin keren diraih Lius, publik membahana dengan sorak, seolah meruntuhkan atap Istora. Tidak hanya penonton, akan tetapi juga para artis (dimotori Nia Zulkarnaen) memekik khas Nia, mengiringi permainan Lius. Lius muda makin kesetanan, menghadapi Ding Qiqing, apalagi publik Istora menyanyi “Maju Tak Gentar” menggelegar, mengelu-elu Lius.

Posisi 1-1 menjelang partai ketiga final Piala Thomas Istora Senayan 1986 ini membuat publik Senayan bangkit lagi. Tetapi semangat 86 itu tak urung surut, ketika jagoan andalan Indonesia, Liem Swie King (29) ditundukkan pemain China yang sama sekali belum pernah memiliki gelar dunia, Xiong Guobao (23). Penampian Guobao, diledek seperti bakul tahu. Pertarungan Guobao vs King ini benar-benar meremas jantung publik Senayan. King ditundukkan hanya dalam satu jam 2 menit 15-13, 15-13. Indonesia ketinggalan 1-2.

Partai keempat Piala Thomas 1986 ini kembali membuat semangat. Pasangan gado-gado tua muda, Christian Hadinata (36) dan Hadibowo (27) menggilas pasangan muda China di ganda, Zhang Qiang/Zhou Jincan 15-13, 15-8 hanya dalam 35 menit. Ganda yang dimainkan di partai keempat Piala Thomas, biasanya adalah ganda peringkat kedua. Dan peringkat teratas biasanya dimainkan di partai kelima. Posisi kembali sama kuat 2-2.

Kunci penentu adalah partai kelima, ganda terkuat. Indonesia menurunkan Liem Swie King/Bobby Ertanto, sedangkan China menurunkan ganda nomor satu mereka, Li Yongbo/Tian Bingyi. Liem Swie King, yang waktu itu sudah di usia senja (29) dipaksa untuk bermain rangkap, tunggal dan ganda. Mungkin ini kesalahan strategi kubu Indonesia. Ketika tampil di ganda bersama Bobby Ertanto, King rupanya belum bangkit dari keterpurukan di tunggal, dibuat mati langkah oleh Xiong Guobao. Dan ketika tampil di ganda? King seperti tampil dengan sisa-sisa tenaganya. Tidak mampu pontang-panting mengejar bola, menghadapi Li Yongbo dan Tian Bingyi yang lagi semangat-semangatnya. Tak urung, Bobby Ertanto yang terpontang-panting menutupi celah-celah Liem Swie King. Li Yongbo menang dua set langsung 15-12, 15-9 hanya dalam 39 menit.

Kekalahan penentu di partai ganda Piala Thomas 1986 ini membuat publik Istora seolah tak mampu menegakkan kepala. Lunglai, semua. Sebaliknya, kubu China yang praktis hanya disoraki pemain-pemain serta ofisialnya, justru membahana pekik dan teriak mereka menyundhul atap Istora. Piala Thomas yang direbut Indonesia dari tangan China di Stadium Negara Kuala Lumpur 1984 pun, harus diserahkan pada China – di depan publik Indonesia sendiri.

Tragedi yang tak kalah memukul kubu Indonesia juga terjadi dua tahun kemudian di Stadium Negara Kuala Lumpur 1988. Kalau di depan publik sendiri, Istora 1986, Indonesia kalah lawan “pendatang baru” China, maka di Stadium Negara ini Indonesia ditundukkan oleh tuan rumah, Malaysia total 3-2. Seperti ulangan kegagalan di Senayan, partai kekalahan Indonesia ditentukan di partai ganda kedua, Liem Swie King dan Bobby Ertanto. King dan Bobby ditundukkan pasangan yang minim pengalaman saat itu, Ong Beng Teong dan Cheah Soon Kit 14-17, 15-1, 15-12.

Kegagalan 1988 berulang di Piala Thomas 1990 di Tokyo. Icuk Sugiarto dan kawan-kawan dikalahkan lagi oleh Malaysia 3-2. Kali ini tidak di final, tetapi di semifinal. Kekalahan penentu juga di partai ganda, ketika Icuk Sugiarto dan Richard Mainaky ditundukkan ganda Malaysia, Cheah Soon Kit dan Soo Beng Kiang.

Untuk pertama kalinya dalam 21 tahun, Malaysia maju ke final Piala Thomas. Dan selama 21 tahun itu, tim Indonesia tidak pernah dikalahkan dalam pertemuan beregu oleh Malaysia, baik itu di ajang Piala Thomas maupun pesta olahraga regional, Asian Games dan SEA Games...

***

Jimmy S Harianto

CATATAN

(Artikel ini saya sempurnakan dari tulisan saya dalam buku “Emas di Barcelona Emas di Hatiku", karya bersama wartawan-wartawan Kompas Jimmy S Harianto, L Sastra Wijaya dan Hendry Ch Bangun, terbitan Tunas Jaya Lestari/Titus Kurniadi, 1993)

Foto oleh Jimmy S Harianto: Tahir Djide (kiri) pelatih kepala dan pelatih fisik tim bulu tangkis Indonesia, serta Try Sutrisno pada saat Piala Thomas 1986 di Istora Senayan, Jakarta. Di tengah Kusbiyanto atau Nyoo Kiem Bie pelatih tim Indonesia yang juga mantan bintang top bulu tangkis Indonesia tahun 1960-an.