Tom Morello

Meski kritis terhadap politik elektoral, Tom mengakui sudah dua politisi yang dia endorse. Keduanya dinilai Tom sesuai dengan keyakinan politiknya yang secara terbuka disebutnya "anarkis".

Rabu, 4 September 2019 | 21:16 WIB
0
571
Tom Morello
Tom Morello (Foto: tonedeaf.thebrag.com)

Sebuah pesan singkat hadir beberapa hari lalu, menanyakan kepada saya apakah bisa menghadiri diskusi dengan Tom Morello. Saya terlonjak kegirangan sambil kemudian melihat waktunya dan ternyata saya bisa. Saya bertanya apakah bisa mengajak teman lagi dan ternyata tak boleh karena bangku terbatas.

Tom Morello mengingatkan saya pada dua orang teman. Satu dari masa sekolah menengah atas dan satu lagi saat berkuliah. Kami sama-sama menggemari band yang diawaki Tom Morello. Saat itu bandnya bernama Rage Against the Machine.

Teman pertama adalah teman sebangku saat SMA. Dia juga suka mendengarkan lagu-lagu pionir rap metal ini sampai sangat menjiwai gaya vokalis band ini, Zack dela Rocha. Jika umumnya anak SMA pakai celana dengan masih kelihatan lipatan setrika gaya klasik, kawan ini sudah memilih gaya celana gombrong ala hiphop yang juga dikenakan Zack.

Saya lebih terinspirasi lirik dan energi dari lagu-lagunya RATM. Saya juga suka Nirvana namun nada-nada dan liriknya Nirvana, menurut saya, mellow meski terdengar gahar. Sementara RATM tidak mellow, malah mendorong orang untuk beraksi, bergerak. Bagi yang bingung, RATM adalah band yang kira-kira mengawinkan dua genre, heavy metal dengan rap atau hiphop. Lirik-lirik mereka sangat politis.

Saat SMA, saya lebih memaknai lirik RATM sebatas "pemberontakan". Saat kuliah, bertemu dengan seorang kawan lain yang juga suka mendengarkan RATM, lirik-lirik band yang debut dengan lagu berjudul "Killing in the Name" ini terasa sangat dalam dan ideologis. RATM bukan sekadar band cemen yang bisa bermusik doang. Dia adalah pemberontakan.

Dan nyawa RATM ada pada dua orang, Zack dan Tom. Zack pemegang gelar PhD di bidang anthropology dari University of California at Irvine. Sementara Tom pemegang gelar sarjana ilmu sosial dari Universitas Harvard. Jelas RATM adalah band sekolahan.

**

Dan saya akhirnya bertemu Tom Morello. Tom terlihat humble meski diakui majalah Rolling Stone sebagai 100 gitaris terbaik dunia. Dia kenakan celana pendek, kaos bergambarkan sapi membawa bendera anarkosindikalis, dan topi. Chuck D dari Public Enemy yang kemudian bergabung dengan Tom dan dua mantan RATM lainnya membentuk band baru bernama Prophets of Rage itu menyebut kehebatan bergitar Tom "di luar nalar". Di lagu "Bulls on Parade", Tom membuat gitar elektriknya bak turn table, salah satu teknik yang seakan identik dengannya.

"Saya tidak memilih gitar," kata Tom, "tapi gitar yang memilih saya." Itulah pernyataan Tom setelah ditanya Usman Hamid, Direktur Amnesty International, yang memandu diskusi Sabtu siang itu.

Tom bercerita soal mengapa dia memilih jalan musik sebagai model perjuangannya. Lulus dari Harvard, dia memulai bekerja di tim seorang Senator di California. Dia menggambarkan dengan sangat grafis bagaimana politik di Amerika Serikat telah didegradasi menjadi milik orang-orang kaya. Pekerjaannya menelepon orang-orang kaya agar mau menyumbang dana kampanye untuk senator tempat dia bekerja. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari, bukan begitu politik yang dia mau. Tom memilih bermusik.

"Saya menemukan kemurnian berpolitik di musik," kata Tom yang berayahkan seorang diplomat Kenya dan beribukan kulit putih dari Chicago itu.

Sejak kecil, Tom sudah merasakan kejamnya rasisme. Ibunya yang menikah dengan orang kulit hitam kesulitan mendapatkan pekerjaan. Sejak itu, ibunya mengajar Tom sarat dengan nilai-nilai kesetaraan. Figur ayahnya yang pejuang kemerdekaan Kenya juga turut membentuk watak antikolonialisme Tom.

Meski kritis terhadap politik elektoral, Tom mengakui sudah dua politisi yang dia endorse. Keduanya dinilai Tom sesuai dengan keyakinan politiknya yang secara terbuka disebutnya "anarkis".

**

Ada banyak pertanyaan dilayangkan pada Tom siang itu. Ada yang bertanya soal Papua. Ada yang bertanya soal musisi yang menjual dirinya kepada politisi. Ada juga yang bertanya soal mendapatkan tanda tangannya. Semua dibalas dengan catatan ada beberapa yang sangat hati-hati dijawab.

Usai acara, kami semua mendapat giliran berfoto selfie dengan Tom. Acara diskusi dengan Tom ini pun terasa seperti reuni bersama kawan-kawan aktivis lainnya.

Kami mencoba bahagia meski di saat yang sama, ada rakyat yang sedang kelaparan atau berjibaku menyelamatkan nyawanya. Dan lagu "People of the Sun" RATM pun terngiang di telinga saya. Lagu tentang musnahnya peradaban Inca dan Maya setelah kedatangan bangsa Spanyol.

"That vulture came to try and steal ya name
But now you found a gun, you're history, this is for the people of the sun

It's comin' back around again!
This is for the people of the sun!
It's comin' back around again! Yeah!"

***