Uang Besar

Harusnya Misbakhun itu menjadi model tokoh PKS masa depan. Tapi ia. Menjadi korban feodalisme.

Selasa, 12 Mei 2020 | 05:57 WIB
0
313
Uang Besar
Uang besar (Foto: disway.id)

”Pada akhirnya politik yang akan menang. Bukan teknokrat,” ujar Prof. Dr. Didik J. Rachbini, ahli ekonomi dari INDEF itu. Ia ulangi lagi pernyataan itu. Sampai tiga kali. 

Sebagai ahli ekonomi ia sudah mengingatkan bahaya cetak uang. ”Itu pernah dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara --dari Partai Masyumi. ”Inflasi langsung naik 1.000 persen,” ujar Didik.

Memang begitulah teori ekonomi yang paten. Pencetakan uang hanya akan menghasilkan inflasi. Masih ditambah melemahnya kepercayaan internasional.

Tapi DPR menolak teori itu. Tokoh utamanya adalah Mukhamad Misbakhun. Dari Partai Golkar. Yang dulu aktivis PKS itu.

”Saya ini memang politisi. Tapi politisi yang berisi,” ujarnya. Rupanya Misbakhun sadar banyak yang meragukan isi kepalanya. Terutama kalau sudah harus bicara soal ekonomi.

Apalagi ini pembicaraan ekonomi yang kelasnya sudah ihya ulumuddinnya Imam Ghazali.

”Saya ini memang bukan profesor doktor. Tapi bacaan saya ini sama dengan mereka,” ujar Misbakhun. ”Waktu SMP saja bacaan saya itu sudah Das Kapital,” kata politisi asal Pasuruan itu. Das Kapital adalah karya Karl Marx, pendiri komunisme. Buku itulah yang menjadi ”kitab suci”-nya orang komunis. 

Prof. Didik Rachbini dan Mukhamad Misbakhun menjadi pembicara dalam webinar Sabtu lalu. Saya salah satunya. Penyelenggara webinar itu: pengurus pusat KB PII --organisasi alumnus Pelajar Islam Indonesia.

Begitu serunya webinar hari itu. Yang rencana dua jam menjadi empat jam. Sampai pukul 14.00. Untung webinar itu lebih ”merdeka”. Bisa ditinggal salat zuhur tanpa harus pamit moderator.

Prof. Didik yang semula akan pamit lebih awal tidak tega meninggalkan kamera. Ia begitu khawatir akan risiko buruk cetak uang itu. Ia harus mengingatkannya. Sampai webinar itu ditutup. 

Tapi ia juga menegaskan ini. ”Saya tidak mengatakan teori yang disampaikan Pak Misbakhun itu salah. Di sini tidak ada salah atau benar,” ujarnya. ”Yang ada adalah risiko-risiko. Mana yang buruk dan mana yang lebih buruk,” tambahnya.

Dua pembicara itu akarnya sama-sama Madura. Yang Prof. Didik Madura asli Pamekasan. Yang Misbakhun Madura pendalungan --Madura yang lahir di luar Madura (Pasuruan). Hanya saya yang dari Jawa Timur --ups Magetan.

Untung moderatornya Dr. Zulkifli, orang Palembang --ketua bidang kajian ekonomi KB PII. Zulkifli adalah insinyur lulusan Unsri dengan S2/S3 bidang ekonomi dari Trisakti Jakarta dan Colorado University, Amerika.

Untung pula hadir Sutrisno Bachir dari Pekalongan. Yang kini Ketua KEN (Komite Ekonomi Nasional) di pemerintahan Jokowi. Yang juga pernah jadi Ketua Umum PAN dan KB PII.

Sutrisno Bachir kelihatannya cocok dengan ide cetak uang itu. Mungkin karena ia juga pengusaha sukses. Hanya ia mengingatkan jangan-jangan ada skenario bisnis di balik cetak uang itu.

Mengapa?

”Motornya semua ini kan Golkar. Kita semua tahu bagaimana Golkar. Coba yang di balik Kartu Prakerja itu siapa?” ujarnya.

Misbakhun memang mengakui itu konsep Golkar. ”Golkar sangat peduli bagaimana membangun kembali ekonomi yang hancur ini,” ujarnya. ”Coba, siapa yang tidak setuju cetak uang ini. Tanya mereka: lantas apa jalan keluarnya?” tantangnya. ”Gak ada kan? Hanya utang kan?” tukasnya. ”Golkar harus cari jalan keluar,” tambahnya. 

Besoknya, saya japri dengan Misbakhun. ”Apakah Golkar sudah bulat mengajukan konsep cetak uang ini?” tanya saya.

”Sudah bulat,” jawabnya.

”Seberapa sulit Anda meyakinkan internal Golkar sendiri?” tanya saya lagi.

”Sulit juga. Sampai empat kali saya presentasi khusus di depan Ketua Umum Golkar,” jawabnya.

”Berarti secara politik sudah kuat sekali?” tanya saya lagi. 

”Kuat sekali. Apalagi posisi Golkar di pemerintahan sangat kuat. Ketua Umum Golkar, Ir. Airlangga Hartarto kan menjadi Menko Perekonomian,” jawabnya.

Mau tidak mau orang kini harus melihat Misbakhun. Ia bisa menjadi sentral baru tokoh nasional yang mulai diperhitungkan. Mungkin masih banyak yang meragukannya. Terutama karena ia bukan profesor doktor tadi.

”Saya ini ingin sekali bisa jadi profesor doktor. Tapi tidak bisa,” katanya. Tapi ia minta agar orang tidak meragukan kemampuan berpikir ekonominya. ”Tiap hari saya ini membaca angka-angka, grafik-grafik, tebal-tebal seperti ini,” katanya. ”Mungkin ini tingginya satu meter,” tambahnya. 

Mungkin orang juga mengaitkan dengan masa lalunya. Yang oleh moderator diperkenalkan sebagai orang yang pernah masuk madrasah 2 tahun.

”Bukan masuk madrasah,” sergah Misbakhun. ”Saya ini masuk penjara, 2 tahun,” katanya. ”Saya ini orang Madura, orang Jawa Timur, terus terang saja. Gak usah dihaluskan dengan menyebut masuk madrasah. Masuk penjara,” tukasnya.

Misbakhun memang pernah di penjara 2 tahun. Dalam kaitan dengan pajak. Tapi, katanya, itu murni untuk membungkam dirinya. ”Saya kan yang paling keras soal Bank Century,” katanya.

”Kalau Pak Dahlan Iskan dibungkam dengan cara diangkat jadi Dirut PLN, saya dimasukkan penjara,” katanya. ”Waktu itu korannya Pak Dahlan kan yang paling keras mempersoalkan Bank Century,” tambahnya.

Mendengar pernyataan Misbakhun itu Prof. Didik tidak bisa menahan diri. Ia nyelonong bersuara. 

”Saya kan tidak diangkat-angkat jadi Dirut BUMN,” sela Prof. Didik bergurau.

Padahal, katanya, sekarang ini ia-lah yang keras sekali mengkritik pemerintah.

Saya pun, setelah webinar, japri ke salah satu tokoh sentral PKS waktu itu. Tentang apakah benar sikap Misbakhun dalam masalah Bank Century seperti itu.

”Memang Misbakhun berjuang terus agar persoalan Bank Century bisa sampai ke pucuk pimpinan negara,” ujar Fahri Hamzah yang pernah jadi Wakil Ketua DPR itu. 

”Saya yang membawa Misbakhun ke PKS. Harusnya ia itu jadi model tokoh PKS masa depan. Tapi ia. Menjadi korban feodalisme,” tambah Fahri yang kini sudah di luar PKS.

Sayang saya tidak bisa japri ke Dahlan Iskan. Untuk menanyakan apakah benar pengangkatannya sebagai Dirut PLN dulu terkait dengan Bank Century. Ia rupanya lagi sibuk menulis naskah DI’s Way ini. 

Bersambung besok. 

Dahlan Iskan

***