Bagi sebagian orang, kalimat ‘berkorban tu gak wajib’ bisa dianggap sebagai sebuah serangan, bahkan hinaan. Kalimat itu menimbulkan rasa tidak nyaman di benak masyarakat muslim.
Rabbani adalah merek busana muslim. Mulai dari jilbab, gamis, koko sampai busana muslimah. Merek ini belakangan mencoba membuat materi iklan yang tidak biasa. Unik dan sedikit nyeleneh. Entah sejak kapan ‘kampanye kreatif’ itu dimulai.
Saya sendiri tidak begitu mengikuti geliat produk ini, sampai akhirnya sebuah materi iklan bertema qurban menghentak perhatian netizen. Visual dan copywriting yang digunakan bikin mata melotot.
“KORBAN tu gak wajib, yg wajib tu BERHIJAB”. Di samping tulisan itu, seekor kambing pakai jilbab merah muda tampak selfie dengan lidah menjulur ke luar.
Mungkin gambar kambing itu ingin memvisualkan semangat emoji atau . Tapi tentunya kambing punya konotasi yang lebih kuat dibandingkan sebulat emoji.
Iklan berbentuk baliho yang dipasang di Jalan Pasteur, Bandung, ini sedang ramai diperbincangkan warga internet. Niat pembuatannya saya yakin dilandasi kreatifitas dan dalam rangka riding the moment, sehingga bisa viral di masyarakat.
Tapi materi iklan tersebut, menurut saya, dapat berakibat fatal buat jualan produk Rabbani. Kreatif iya, viral iya, tapi belum tentu berdampak positif buat jualan. Malah bisa jadi berdampak buruk dalam arti menggerus penjualan.
Pertama kali melihat baliho tersebut, yang terlintas di benak saya adalah why. Kenapa tim komunikasi pemasaran Rabbani sampai berani membenturkan dua ibadah yang tidak apple to apple, antara qurban dan hijab?
Saya segera meluncur ke situs web Rabbani di rabbani.co.id.
Jawaban atas pertanyaan saya langsung terjawab oleh banyaknya poster iklan yang muncul silih-berganti. Ternyata gaya beriklan Rabbani memang sedang keluar dari kotak (orang bule bilang: out of the box).
Saat ramai-ramai isu zonasi sekolah, Rabbani membuat materi iklan dengan narasi: “Mimpi itu tanpa batas, jangan lanjutkan, tapi wujudkan. Kerudung Rabbani tanpa zonasi.” Cukup mengena. Momennya pas, copywriting-nya cocok untuk jualan kerudung.
Tahun ajaran baru juga dimanfaatkan perusahaan untuk menggenjot penjualan kerudung lewat materi iklan yang lebih muda. Rabbani membuat jargon Keras, singkatan dari “Kerudung Rabbani buat Sekolah”.
Lalu dalam rangka menyemarakkan Hari Kemerdekaan, pembuat busana muslim ini membuat kampanye bertajuk “Agustus Bukan Milik Agus. Fee member dan cashback untuk yang tidak bernama Agus”.
Seru kan?
Okelah, materi-materi iklan tadi cukup unik dan menggigit.
Tapi bagaimana dengan iklan kambing berjilbab? Mengapa mereka berani menghasilkan kreatifitas serentan itu? Sedang nekat dan hanyatest the water. Atau ini semata-mata kebablasan yang tidak perlu.
Saya berani bilang kebablasan karena viralnya iklan itu berada dalam perbincangan negatif. Silakan cek linimasa Twitter dengan kata kunci Rabbani. Banyak yang membincang iklan ‘kambing berhijab’, tapi tidak ada satupun yang positif. Semua memaki dan menyesalkan kemunculan iklan tersebut di jalan raya.
Saya masih tidak habis pikir, landasan apa yang membuat tim kreatif berani menampilkan materi iklan sevulgar itu.
Penggunaan visual kambing berhijab mungkin akan seru bila disertai dengan narasi yang lucu-lucu. Itu pun belum tentu bagus buat citra merek di benak konsumen.
Misalnya nih ya, gambar kambing berjilbab itu ditambahkan teks “Aku lebih cantik kalau berjilbab, kan?” Lucu kan? Tapi saya prediksi pelanggan akan mengurungkan niatnya beli jilbab Rabbani, karena ternyata penutup kepala ini lebih pas dikenakan ke kambing daripada manusia.
Bagaimana kalau narasinya dibikin serius. Misalnya: “KORBAN tu gak wajib, yg wajib tu BERHIJAB”
Baca Juga: "Korban Tu Ga Wajib, yg Wajib Tu Berhijab"
Pada titik ini, tanpa perlu memperdebatkan hukum berkurban dan berhijab, khalayak bisa dengan mudah menangkap adanya komparasi yang tidak pas dalam baliho tersebut. Iklan itu bahkan tidak tepat untuk digunakan sebagai iklan layanan masyarakat dengan target agar masyarakat berjilbab. Apalagi ini digunakan untuk jualan jilbab dengan membawa merek yang sudah dikenal luas oleh masyarakat.
Setiap ajakan perlu disampaikan secara persuasif, dan membujuk dengan cara menyerang aktifitas lain jelas bukan cara membujuk yang baik. Apalagi kedua aktifitas itu sama-sama berada dalam lingkup ibadah bagi umat Islam yang menjadi target khalayak Rabbani.
Saya paham, salah satu pesan yang ingin disampaikan lewat iklan itu adalah: “Kalau yang sunnah aja kamu lakukan, masak yang wajib ditinggalkan”.
Tapi kalau narasi yang digunakan adalah menempatkan ibadah kurban di bawah ibadah hijab, dengan cara merendahkan hukum berkurban dibandingkan ibadah berhijab, akan fatal akibatnya.
Apalagi narasi itu disampaikan pada saat masyarakat berlomba-lomba menyisihkan uangnya untuk berkurban, yang pahalanya sangat besar, dihitung setiap tetes darahnya dan setiap helai bulunya.
Terlebih, masih ada perbedaan pendapat di kalangan masyakat dalam meyakini hukum berhijab.
Bagi sebagian orang, kalimat ‘berkorban tu gak wajib’ bisa dianggap sebagai sebuah serangan, bahkan hinaan. Atau, minimal, kalimat itu menimbulkan rasa tidak nyaman di benak masyarakat muslim yang sedang mempersiapkan diri menyembelih hewan kurban.
Semestinya, Rabbani menggunakan narasi yang menempatkan ibadah hijab di atas ibadah qurban. Maksud saya, terlepas dari keyakinan soal hukum kurban dan hijab, sebuah iklan tema kurban yang baik adalah yang berisi ajakan untuk berkurban sambil merinci besarnya ibadah tersebut di hadapan Allah. Baru setelah itu bicara soal ajakan dan keutamaan hijab.
Hari Ahad lalu, materi iklan itu diturunkan oleh Rabbani setelah telanjur menjadi kontroversi.
“Akhirnya ramai ke sana ke mari, akhirnya kita koordinasi dengan Satpol PP, akhirnya Minggu (4 Agustus 2019) kita sama-sama turunin atau copot. Meskipun kita belum mengerti kesalahannya di mana,” kata General Marketing Rabbani, Ridwanul Karim, seperti dikutip Viva.
Mudah-mudahan ulasan ini memberikan sedikit wawasan untuk Rabbani, dan kita semua bisa mengambil hikmahnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews