Gerakan Nikah

Kurikulum di Nikah Institute juga sederhana. Pada hari pertama sang guru memberikan pelajaran. Dalam bentuk ceramah di voice note. Suara sang guru bisa diklik di WA Group. Selama satu jam.

Sabtu, 23 November 2019 | 06:58 WIB
0
370
Gerakan Nikah
Saya bersama Khasbi Fakih dan Nurul Hidayati (Foto: Disway.id)

Setelah menikah Khasbi Fakih langsung mendirikan Nikah Institute. Bersama istrinya: Nurul Hidayati.

Caranya pun sangat sederhana --untuk ukuran era digital. Hanya dengan senjata WhatsApp (WA). Itulah bisnis pengantin baru asal Pekalongan itu. Sampai sekarang.

Umur perkawinan mereka baru dua tahun. Segitu juga umur Nikah Institute. Alumninya sudah 1.300 orang.

Begitu banyak orang ingin menikah. Mereka itulah konsumen Nikah Institute. Mereka bisa mendapat bekal ilmu untuk menikah di situ. Mereka juga bisa bertanya apa saja mengenai pernikahan.

Nikah Institute lantas membuka kelas: di WA pula. Bentuknya WA Group. Biayanya Rp 275.000. Bisa dibayar dua kali.

Pertama dibuka peserta didiknya 98 orang. Mayoritas wanita. Sekitar 70 persen.

Meski di WA yang maya kelasnya dipisah. Wanita di kelas tersendiri. Laki-laki terpisah.

Nikah Institute punya lima orang guru. Mata pelajarannya fikih nikah, fikih ibadah, datang bulan, nikah-cerai-iddah, tata ara mencari istri/suami, finansial, smart preneur, dan kamasutra.

Ada pelajaran kamasutra?

"Benar," ujar Khasbi, yang kini berumur 27 tahun. "Bahan-bahannya dari kitab pondok yang muktabaroh," tambah Khasbi.

Di pondok pesantren memang dipelajari juga ilmu kamasutra. Sebagai bagian pelajaran di sekitar pernikahan. Untuk level santri yang sudah tinggi.

Kitab-kitab gundul di bidang itu misalnya Fathul Izar dan Qurotul Uyun.

Kurikulum di Nikah Institute juga sederhana. Pada hari pertama sang guru memberikan pelajaran. Dalam bentuk ceramah di voice note. Suara sang guru bisa diklik di WA Group. Selama satu jam.

Hari kedua adalah tanya jawab. Dibatasi 30 pertanyaan.

Sebelum jam 12 siang kuota itu biasanya sudah penuh. Saatnya guru memberikan jawaban. Lewat teks. Bukan suara. Seperti membalas WA.

Seluruh kelas di grup itu bisa membaca pertanyaan siapa pun. Juga bisa membaca jawaban dari guru.

Hari ketiga ceramah lagi. Dari guru lain. Untuk mata pelajaran lain. Hari berikutnya tanya jawab lagi. Selang-seling hari. Ceramah dan tanya jawab.

Begitulah seterusnya. Selama satu bulan.

Habis itu Anda pun sudah siap menikah.

Bunyi pertanyaan umumnya yang praktis-praktis seperti ini: bolehkah pihak wanita mengajukan permintaan atas nilai dan jenis mahar (mas kawin).

Jawab sang guru tidak sekedar boleh atau tidak. "Permintaan seperti itu tidak lazim. Juga kurang baik. Bisa menimbulkan kesan kok belum-belum sudah mata duitan," jawab sang guru. "Tapi, itu boleh saja," jawab sang guru.

Ada juga pertanyaan unik: janda kawin dengan duda. Masing-masing membawa anak. Anak mereka saling jatuh cinta. Bolehkah mereka kawin?

Jawabnya: boleh. Anak-anak itu tidak memiliki hubungan darah. Bukan muhrim. Tidak saling membatalkan.

Khasbi lulusan pondok pesantren Ploso, Kediri. Ia lahir di Lebak Siu dekat Slawi, selatan Tegal, Jateng. Itulah desa yang terkenal di seluruh Indonesia. Kalau ada orang jual martabak LBS tanyalah dari mana mereka.

Tamat SD Khasbi langsung dikirim ke Ploso --mengikuti jejak anak-anak lain di desa itu.

Sampai umur 20 tahun Khasbi belum punya ponsel. Di pondok Ploso santri tidak boleh memegang ponsel.

Ia bisa mematikan keinginannya memiliki ponsel. Seperti juga mematikan keinginan mencintai sepak bola.

Awalnya ia ingin sekali nonton Liga Italia. Yang lagi top kala itu. "Saya harus mematikan keinginan nonton bola itu," katanya.

Pun Khasbi bisa mematikan keinginan untuk pacaran.

Dengan istrinya ini pun Khasbi tidak melewati masa pacaran. Bisa dibilang ketemu langsung kawin.

Pertemuan itu terjadi di Seoul, Korea Selatan. Nurul Hidayati lagi kuliah di sana. Tingkat S3. Calon doktor. Bidang nanotechnology.

Nurul memang sarjana biologi. Dari Unair. Lalu meraih master bidang microbiology. Lantas kerja di STIKES Malang.

STIKES-lah yang mengirimnyi ke Korea.

Di Seoul Nurul menjadi Ketua Fatayat NU (organisasi pemudi Nahdlatul Ulama) cabang Korea Selatan.

Khasbi adalah Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (PP Lakpesdam NU)

Fatayat Korea mengundang Lakpesdam. Untuk acara keagamaan di Korsel. Yang ditugaskan ke sana adalah Khasbi.

Di Seoul itu pula mereka memutuskan: kawin.

Saat Khasbi pulang, Nurul langsung menyusul pulang. Kuliah S3-nyi diistirahatkan dulu.

Sampai sekarang Nurul belum balik ke Korea. Terlibat usaha Nikah Institute suaminya.

Mereka juga berencana meningkatkan usaha itu. Lagi berpikir untuk tidak hanya menggunakan voice note di WA.

Dari mana Khasbi mendapat ide bisnisnya itu?

"Dari instagram," katanya.

Tahun itu Khasbi menemukan instagram yang menggelisahkan hatinya. Yakni adanya kampanye besar "Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran".

"Follower instagram itu lebih dari satu juta anak muda," ujar Khasbi.

Gerakan itu tidak sebatas di instagram. Juga dilanjutkan dengan pembentukan komunitas "Langsung Kawin". Di seluruh Indonesia.

Khasbi khawatir para remaja itu akan kekurangan bekal dalam menikah. Gerakan itu sekaligus membuat kecenderungan menikah muda.

Khasbi pun ingin membekali mereka dengan ilmu nikah. Termasuk ilmu mencari istri yang benar. Yang sesuai dengan kaidah agama.

Maka jadilah Nikah Institute.

Jadilah bisnis itu.

Dahlan Iskan