Meski Hidup Sejahtera, tetapi Harus Bilang "Hidup Susah, Nilai Rupiah Rendah", Kenapa?

Dalam pidato sebagai Presiden Terpilih di Sentul, Bogor 14 Juli 2019, Presiden Jokowi menyinggung manajemen pemerintahan yang produktif yang akan diterapkan dalam lima tahapan.

Selasa, 16 Juli 2019 | 08:13 WIB
0
538
Meski Hidup Sejahtera, tetapi Harus Bilang "Hidup Susah, Nilai Rupiah Rendah", Kenapa?
Joko Widodo (Foto: Seknas Jokowi)

Beberapa hari lalu ada teman ‘lempar bola’ membuka obrolan. Dia bilang, saat ini ‘depresiasi’ Rupiah sudah sangat parah. Otak saya langsung nyari file, ketemu: dalam minggu-minggu ini kinerja Rupiah adalah salah satu yang terbaik di Asia. Sempat di bawah Rp14.000 per US$.

Apa indikasinya “Rupiah terdepresiasi sangat parah” itu? Dia menjelaskan, uang Rp100.000 itu nilainya sudah sangat rendah, gak cukup buat beli ‘apa-apa’. Ooohhh... yang dia maksud itu inflasi. Berarti dia gak paham bedanya inflasi sama depresiasi. Iya..., iya bener... tapi kan kata Jokowi sekarang (seharusnya) sudah tidak ada lagi istilah tadpole atau bat, semua saudara, sudah jadi Garuda Pancasila. 

Padahal, inflasi sekarang pun kalau dibandingkan lima, sepuluh tahun lalu, sangat rendah, Januari –Juni 2019 hanya 2,05% dan yoy Juli 2018 – Juni 2019 3,28%. Bahkan di jaman Orde Baru inflasi sering mencapai dua digit 10% atau lebih. Dalam hati, “Siapa lagi ini yang ngeracunin dia dengan penjelasan yang ngaco?” Sebenarnya dia tak pantas untuk bisa diracunin penjelasan yang ngaconya sangat sederhana.

Merasa dipandang dengan sorot mata yang agak aneh, dia lebarkan topiknya: pokoknya sekarang hidup lebih susah. Padahal dia sangat sejahtera. Terus saya tanya lagi, apa indikasinya hidup semakin susah (dalam konteks ekonomi)? Mungkin dia tidak punya referensi lain, balik lagi ke jawaban tadi: duit sekarang seperti gak ada artinya, semua serba mahal. Narik napas panjang, saya bersyukur: untuk yang berpikiran kayak gitu bukan saya. 

Gini, kalo ditarik lebih jauh lagi, di tahun 1996 harga emas Rp30.000/gram, sedangkan rata-rata Upah Minimum Regional (UMR) sebesar Rp40.740. Artinya, gaji terendah buruh pada awal masuk kerja hanya cukup membeli 1 gram emas, dan sisanya Rp10.740. Cukup untuk hidup sebulan? Ya harus cukup. Sekarang, tahun 2019, harga emas Rp660.000/gram. Sementara rata-rata UMK Rp2,5 juta. Sekarang, dengan gaji terendah (baru masuk kerja) buruh bisa beli tiga gram emas, dan sisanya Rp502.000. Cukup untuk hidup sebulan? Ya harus cukup. 

Kesimpulannya, sekarang kesejahteraan buruh jauh lebih baik dibandingkan dulu (jaman Orba). Sebenarnya penjelasan macam ini sudah banyak, tapi kayaknya dia gak pernah baca. Temen saya itu, dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Dia tidak tahu bahwa orang lain tahu tentang apa yang dia merasa tahu. 

Kalau harga-harga terus naik dari tahun ke tahun, ya wajar karena Indonesia negara berkembang, ekonominya sedang tumbuh. Mesin utama pertumbuhan ekonomi negara berkembang adalah konsumsi. Peningkatan konsumsi akan diikuti dengan peningkatan harga (inflasi). Jadi wajar kalau harga-harga naik terus, asal diikuti dengan kenaikan produktivitas (pendapatan). Nanti, jika sudah mencapai tingkat sangat sejahtera dan stabil, maka pertumbuhan ekonomi akan sangat rendah seperti di Eropa Barat dan Jepang.

Terlepas dari terbatasnya pemahaman teman itu tentang ekonomi, di sebagian masyarakat memang sering terdengar phrasa ‘hidup makin susah’. Ada beberapa hal yang membuat itu seolah sebuah kebenaran. Ketika angkatan kerja baru merasakan makin susah mendapatkan pekerjaan. Kenapa begitu? Ya karena kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan lebih tinggi ketimbang yang dimiliki oleh para pencari kerja.

Jadi, ‘hidup makin susah’ itu karena angkatan kerja baru tidak meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya guna menyesuaikan dengan yang dibutuhkan oleh penyedia lapangan kerja. Jadi, ‘hidup makin susah’ itu bukan karena harga-harga barang kebutuhan yang naik, tapi karena enggan atau tidak mau berubah untuk meningkatkan kompetensi. 

Tapi di sisi lain, bagaimanapun dalam rekrutmen tenaga kerja, pencari kerja tidak punya daya tawar dan posisi tawar yang fair terhadap penyedia lapangan kerja (pengusaha). Mengetahui jumlah pencari kerja makin banyak, para pengusaha yang umumnya bermadzhab ekonomi Teganian, hanya mau membayar upah dengan standar terendah yang ditetapkan pemerintah (UMK). 

Padahal, jika dilihat dari struktur modal, umumnya biaya tenaga kerja (labour cost) maksimal 12% dari biaya operasional. Kenapa demikian? Karena setiap aga goncangan yang menuntut efisiensi, maka pos biaya pertama yang dimainkan adalah biaya tenaga kerja, lewat PHK dsb. Sedangkan untuk biaya perizinan dan speed up-nya, termasuk golf, umroh, entertainment, dll., komposisinya bisa lebih dari biaya tenaga kerja. 

Di sisi lain, dalam dunia usaha di Indonesia sampai kini masih ada yang namanya biaya siluman (invisible cost) itu masih ada. Jangan tanya ke birokrat atau polisi, mereka gak bakalan ngaku. Juga jangan tanya ke para pengusaha, mereka juga gak bakalan jawab, takut. Bagi pengusaha, selama margin usaha masih ‘wajar’ dan bisa sustain, jangan cari masalah yang akan menyita waktu. Distorsi gak masalah. Tapi yang jelas masih ada. 

Dalam pidato sebagai Presiden Terpilih di Sentul, Bogor 14 Juli 2019, Presiden Jokowi menyinggung manajemen pemerintahan yang produktif yang akan diterapkan dalam lima tahapan.

Ketika menjelaskan Tahap Ketiga, dengan tegas Jokowi mengatakan, “Kita harus mengundang investasi yang seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan yang sebesar-besarnya. Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Dengan cara inilah lapangan pekerjaan akan terbuka yang sebesar-besarnya. Oleh sebab itu, yang menghambat investasi, semuanya harus dipangkas, baik itu perizinan yang lambat, yang berbelit-belit, apalagi ada punglinya! Hati-hati, ke depan saya pastikan akan saya kejar, saya kontrol, saya cek, dan saya hajar kalau diperlukan. Tidak ada lagi hambatan-hambatan investasi karena ini adalah kunci pembuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya.” 

Saran saya, dalam memberantas pungli, tidak boleh menunggu laporan. Harus pro aktif, dilakukan dengan diam-diam, tapi tegas. Pembuktiannya harus dengan cara camouflage, OTT. Langkah pemberantasan pungli dan suap harus dilakukan sustainable dalam waktu panjang, sampai budaya suap terhapus sama sekali. Kalau tidak, ini akan terus jadi kanker bagi ekonomi nasional, dan pada akhirnya, yang menanggung bebannya ya lapisan terbawah.

***