Orang Indonesia Makan Tempe Makmurkan Petani Amerika

Gagalnya swasembada kedelai, tak banyaknya petani yang mau menanam kedelai, dan harga yang tak stabil, sedikit atau banyak dipengaruhi oleh pihak yang sudah bahagia dengan kebijakan impor.

Rabu, 6 Januari 2021 | 13:17 WIB
0
380
Orang Indonesia Makan Tempe Makmurkan Petani Amerika
Sumber Foto: www.pbs.org

 

“Sadar  nggak kalau kita makan tempe setiap hari, maka yang kaya adalah petani Amerika Serikat?” tanya saya kepada Soleh,  saudara sepupu orang Ciawi Bogor, yang biasa melahap tempe sebagai teman makan nasi. Dia mendongak tak percaya.

“Ah yang bener?” ujarnya. Persepsi di kepalanya, tempe adalah makanan sederhana. Mungkin juga di mata sebagian besar dari kita. “Makan cuma sama tempe...” begitu biasanya ungkapan penggambaran makan seadanya. Bung Karno pun sejak dulu menganggap tempe sebagai makanan kelas menengah bawah.

“Tempe itu bahan bakunya adalah kedelai. Dan kedelai itu impor dari Amerika Serikat. Nilai impor kedelai Indonesia itu banyak banget. Jadi kayalah pokoknya para petani kedelai Amerika,” papar saya membuat Soleh terdiam seribu bahasa, sambil manggut-manggut tak karuan.

Jika demikian maka tempe bukan makanan sembarangan. Bukan pula makanan pinggiran karena bahan bakunya berasal dari salah satu negara paling maju di dunia, Amerika Serikat. Setiap tahun sejak tak swasembada lagi, Indonesia mengimpor jutaan ton kedelai dari luar negeri.

Pada 2017 misalnya, tak kurang dari 2,5 juta ton kedelai kita impor. 90%-nya berasal dari Amerika Serikat. Jumlah itu sekitar 80% kebutuhan total kedelai Indonesia. Sisanya dipenuhi oleh petani lokal. Jadi wahai para penikmat tempe dan juga tahu – termasuk saya – setiap kali kita membeli tempe sama dengan ikut menyejahterakan petani Amerika Serikat, selain para importir dan perajin tahu tempe lokal.   

Bagaimana semua ini bisa terjadi? Bukankah tempe adalah makanan tradisional Indonesia sejak dulu kala? Bukankah bahan bakunya sudah tersedia di sini dan tak perlu impor? Bukankah dulu kita sempat mengalami swasembada kedelai? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya.

Berdasarkan catatan sejarah, tempe merupakan makanan asli Indonesia, yang sudah tercatat dalam manuskrip Jawa kuno abad ke-12, Serat Sri Tanjung. Tentu saja, kedelai pun sudah tersedia sebagai bahan bakunya. Manusia Indonesia masa lalu tergolong cerdas karena mampu mengolah kedelai menjadi tempe, yang diakui oleh dunia sebagai temuan khas yang tak ada di negara lain.

Orang Jepang pun menyukainya. Di Amerika, tempe menjadi makanan cukup mewah dengan harga tak biasa.

Tahun 1992, Indonesia berhasil swasembada kedelai, menyusul kesuksesan swasembada beras pada awal 1980-an. Pasokan kedelai melimpah membuat para perajin tempe dan tahu tersenyum, karena harga bahan baku produknya terjangkau. Namun, keberhasilan 1992 itu seperti fatamorgana karena tahun-tahun berikutnya, apalagi setelah Era Reformasi, tak pernah lagi kedelai berswasembada. Jumlah produksi terus melorot. 

Akibatnya, keran impor pun terbuka. Amerika Serikat sebagai salah satu produsen kedelai terbesar dunia tentu saja bersorai gembira. Pun begitu para importir. Jalinan kerja sama bisnis kedua kelompok tersebut semakin kuat sehingga mampu memengaruhi kebijakan pemerintah. Konon, gagalnya swasembada kedelai, tak banyaknya petani yang mau menanam kedelai, dan harga yang tak stabil, sedikit atau banyak dipengaruhi oleh tangan-tangan pihak yang sudah bahagia dengan kebijakan impor.

Padahal kurang hebat apa tanah Indonesia? Kurang subur apa lahan di negeri ini? Kurang luas apa hanya untuk menanam dan menghasilkan 3 juta ton kedelai per tahun? Para profesor bidang pertanian yang pernah berdiskusi dengan saya, hanya mengangkat bahu tinggi-tinggi ketika ditanya kenapa?

Kenapa produktivitas lahan kedelai kita hanya separuh dari produktivitas lahan di negera lain? Kenapa pemerintah kalah kuat dibanding pihak nonpemerintah dalam kebijakan kedelai? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Kenapa kita yang makan tempe yang makmur petani Amerika dan importir?

***