Kudeta via Opini, Targetnya Jatuhkan Presiden Jokowi

Jumat, 5 Oktober 2018 | 19:13 WIB
0
733
Kudeta via Opini, Targetnya Jatuhkan Presiden Jokowi

Gelombang protes masyarakat muslim atas kasus Tindak Pidana Penistaan Agama yang dilakukan salah satu Kepala Daerah, diduga telah diinfiltrasi oleh figur-figur Politik yang menyerang pemerintahan yang sah (aanval op legitieme overheid), menggiring opini-opini publik yang berpengaruh pada penentuan sikap politik masyarakat.

Occurrence yang terjadi saat ini diduga telah dipersiapkan jauh hari, menggiring opini masyarakat melalui cyberspace dengan tidak mempercayai media konvensional. Opini membentuk paradigma baru mengedepankan berita yang di share dan publish melalui media sosial sebagai ‘senjata’.

Proses yang sistematis dan massive menyiarkan hoax, fake news, dan informasi negatif lainnya yang menyerang Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Seakan-akan apapun permasalahan yang terjadi baik person to person ataupun person to public di negeri ini telah di-framing merupakan kesalahan Presiden.

Kudeta saat ini tidak perlu menggunakan Militer yang dipersenjatai, cukup menggunakan strategi Cyber. Salah satu bagian dari startegi meng-Kudeta Pemerintah adalah menjatuhkan popularitas dan reputasi Preseiden Jokowi dengan Isu Politik identitas, yang tetap menjadi topik ‘renyah’ untuk diviralkan oleh kubu Oposisi.

Menggunakan Proxy War yang berada dalam arena untuk mempermudah membidik sasaran Hoax. Masyarakat lantas hanya percaya, tak peduli tuduhan tersebut tanpa bukti. Tanpa sadar ‘moles’ telah masuk dalam kelompok-kelompok masyarakat menyebarkan content tertentu sebagai kepentingan Politik untuk menjatuhkan Pemerintahan.

Teori Propaganda Technique in the world war oleh Harold Lasswell yang menyebutkan propaganda merupakan konotasi yang negatif karena berisi informasi yang  manipulatif dan mencuci otak. Sasaran ‘misil’ hoax telah terpatri untuk mempercayai segala Hate Speech dan propaganda. Setidaknya ada 3 hal yang kerap menyerang Presiden Joko Widodo, yaitu Pendukung PKI, Tidak Pro Islam, dan isu perekonomian.

Hate Speechyang dibentuk tak lagi berupa serangan atas kebijakan namun lebih berupa fitnah, hujatan, dan prasangka buruk yang tanpa bukti.

Hingga saat ini Presiden Joko Widodo bersama pemerintahan tidak pernah terbukti dengan data yang valid mendukung Gerakan Komunisme, namun hoax tersebut hingga kini mengakar pemikiran masyarakat melalui opini lawan-lawan politik.

Di sisi lain, Presiden Jokowi merupakan muslim yang taat, berucap santun, bahkan menjalankan Ibadah sunnah puasa senin kamis. Jika disebut tak pro Islam, siapa lagi yang lebih pro Islam dari pada Presiden Jokowi.

Harapan dan suara umat Islam yang menginginkan adanya kerjasama Pemimpin Nasionalis dengan Ulama, disambut dengan tekat dan jawaban yang Nyata. Kepeduliannya akan aspirasi umat Islam terbukti digandengnya dengan Hormat Ulama yang terbantahkan keISLAMannya, ketua Majelis Ulama Indonesia KH. Ma’ruf Amin sebagai calon Wakil Presiden 2019 untuk mendampinginya membangun Negara ini.

Dugaan Pemerintahan Anti-Islam tidak terbukti. Presiden Jokowi telah membangun komunikasi dengan organisasi-organisasi Islam agar dapat bersama-sama menjaga kedamaian dan mempererat tali persatuan antar umat islam. Komunikasi tersebut juga dilakukan dengan tokoh-tokoh Islam lainnya, dalam rangka membuka ruang jalan untuk Komunikasi, menyampaikan uneg-uneg serta pemikiran.

Apapun aspirasi dan kegelisahan Presiden Joko Widodo membuka ruang untuk berdiskusi, tidak perlu melalui demonstrasi. Pendekatan Jokowi dengan kelompok-kelompok Islam menangkis serangan politik yang menyangkut isu-isu seperti tuduhan komunisme dan anti Islam.

Namun nitizen sudah kadung terpengaruh pada bad image yang dilabeli pada Jokowi. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dengan tegas bekerja sesuai hukum. Ketika hukum ditegakkan dengan benar, tak perlu harap sanjung puji yang ada tetaplah caci maki.

Tuntutan pengawalan kasus penistaan agama berujung pada Basuki Tjahaja Purnama menjadi Terpidana. Laporan-laporan dugaan Tindak Pidana terhadap Habib Rizieq Shihab dilakukan Penghentian Penyidikan karena tidak ditemukan alat bukti yang cukup, namun lagi-lagi jangan harap sanjung puji atau sekedar apresiasi, yang ada tetap prasangka buruk dan caci maki.

Di samping itu, Narasi-narasi lainnya yang dipersiapkan adalah menyerang dengan issue problem perekonomian rakyat. Opininya adalah semakin tinggi angka pengangguran dan kemiskinan. Mungkin sulit bagi masyarakat sasaran hoax untuk mempercayai Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik yang menyatkan “angka kemiskinan menurun sebesar 9,82 %, dan itu terendah sejak tahun 1999”.

Namun tanpa sadar segala berita hoax yang dishare oleh nitizen untuk menjatuhkan Presiden Jokowi, menggunakan sosial media, Handphone dengan fitur lengkap. Menuliskan caption keprihatinan dengan perekonomian, namun isi laman Facebook, Insta Story, dan Feed Instagramnya adalah menikmati kenyamanan hidup, fasilitas rumah yang makin baik, gembira di tempat kerja, tamasya bersama keluarga, dan menikmati makanan nikmat. Tidak mau jujur pada diri bahwa kehidupan menjadi lebih baik saat ini.

Turunnya nilai rupiah terhadap dollar juga menjadi Issue seksi untuk makin dihembuskan demi menjatuhkan citra pemerintahan. Padahal sejatinya Indonesia cukup baik dalam menangani dan menstabilkan nilai tukar mata uang yaitu 7% dibanding negara lainnya seperti India 9%, Afrika Selatan 13,7 %, dan Brazil 18,2 % yang juga terkena pelemahan nilai mata uang.

Di samping itu, Pemerintah Presiden Joko Widodo justru amat sangat peduli dengan pemerataan kesejahteraan penduduk dan mengurangi kesenjangan dengan rakyat wilayah Indonesia Timur dengan membangun berbagai Infrastruktur yang bermanfaat pada peningkatan kesejahteraan. Namun, kudeta opini memang dibuat agar terpola pemikiran, sejak Presiden Jokowi memerintah kemiskinan makin meningkat.

Kudeta via opini tak memerlukan peperangan atau demonstrasi, opini oleh netterdi share, retweet, publish, melalui berbagai media sosial cukup mempengaruhi sekaligus mendoktrin massanya bahwa Presiden Jokowi benar-benar telah gagal memimpin Negara ini. Kemudian mereka himpun kekuatan menyuarakan slogan #2019GantiPresiden.

Penggiringan opini tersebut berhasil. Slogan #2019GantiPresiden terdengar keren dan kekinian. Bahkan nitizen tak sabar, tergambar dalam nyanyian “Pengennya Cepat-Cepat” 2019 pokoknya Ganti Presiden, terserah apa pun alasannya.

Kudeta via opini ini sampai sekarang masih berlangsung dan akan terus berlangsung sampai kekuasaan Jokowi diambil alih, baik secara konstitutional maupun secara attack by cyber dan hate speech.

Ironis.

***

Dr. M. Kapitra Ampera, SH, MH