Ranto Sibarani, "Robin Hood" Hukum dari Medan

Rabu, 19 September 2018 | 10:07 WIB
0
1220
Ranto Sibarani, "Robin Hood" Hukum dari Medan

Sebenarnya pilihan tokoh Robin Hood sendiri, tak tepat benar disandangkan. Ia ini tak pernah merampok harta si kaya untuk kemudian dibagikan kepada si miskin. Tapi bila ia Si Robin Hood yang selalu ada, hadir untuk membela orang lemah maka julukan ini lebih tepat.

Saya menjadi saksi, nyaris setiap hari, ia dan lawyer associate yang rata-rata pengacara muda yang magang cari "masalah", bukan saja kasus-kasus yang untuk pengacara lain dihindari, tapi terutama sering tak menjanjikan popularitas atau jelasnya materi sama sekali.

Di mejanya bertumpuk kasus aneh-aneh, seorang yang dianiaya tentara, ditusuk hingga ususnya terburai keluar. Sementara si tentara bukannya berhasil diringkus, tapi malah petentang-petenteng menantang siapa yang berani menangkapnya. Menggambarkan bahwa kota ini memang akut dengan "premanisme" yang tak kunjung selesai, makin akut mungkin.

Setelah beberapa saat digubernuri oleh seorang sipil, saat ini kembali "hijau" di bawah seorang mantan Kostrad. Hingga saat terakhir banyak bilboard besar, yang bukannya diisi gambar promosi iklan produk, tapi nyaris bergambar manusia-manusia dari berbagai ormas (dengan baju loreng warna-warni), partai, lembaga legislatif bahkan yang paling absurd gambar Ketua Dewan Kesenian.

Sungguh absurd, kenapa duit yang dimiliki justru hanya untuk "pasang tampang", bukannya mendorong lahirnya kelompok seni baru atau bahkan yang paling sederhana menghidupi seniman yang kapiran karena sulit berkarya atau tergerus usia.

Dalam situasi silang sengkarut berbagai persoalan sosial, politik, bisnis, dan budaya seperti itulah, Bang Ranto (demikian saya menyebutnya) bergelut dengan berbagai kasus hukum. Di Medan khususnya, ia dikenal sebagai pengacara spesialis pro-bono (untuk yang gak tahu maknanya: ya sukarela, tak berbayar, atau kasarnya gratisan).

Terakhir, ia menangani kasus pencabulan terhadap dua anak kecil oleh seorang anak pejabat. Si ibu dari anak tersebut sudah memperkarakannya, karena merasa dianiaya, tapi pengadilan membebaskannya. Tak tahu, dua anaknya malah mengaku telah jadi korban pencabulan oleh oknum yang sama.

Saya membayangkan, betapa rumitnya kasus ini bisa terjadi, tapi sesungguhnya juga betapa sederhananya kasus ini mestinya bisa ditangani.

Namun demikianlah hukum di negeri ini, apa yang sederhana dibikin rumit sedemikian kompleks untuk dibaca, sebaliknya yang yang kompleks disederhanakan hingga kehilangan makna. Hanya dengan dua ujung yang sama: memenangkan pihak yang "punya uang, dan belakangan ini memiliki kekuatan untuk "menekan". Dan sebaliknya mendudukkan si lemah, si teraniaya justru sebagai pihak yang kalah dan salah.

Dalam situasi yang sama inilah, Meliana si perempuan Tionghoa ini datang pada Bang Ranto. Sialnya dalam situasi yang sangat absurd. Bagaimana tidak absurd! Kasusnya, hanya karena rasan-rasan yang terjadi pada tanggal 21 Juli 2016, lalu baru seminggu kemudian ia diperkusi dan lalu ditahan selama 22 hari. Dan bagian terabsurdnya BAP itu baru selesai enam bulan kemudian, pada Desember 2016.

Artinya kemudian....

Meliana akhirnya ditahan pada 30 Mei 2018, dan baru pada 11 Juni 2018 ia menunjuk Ranto Sibarani dan Rekan sebagai kuasa hukumnya. Ada waktu yang sedemikian panjang yang bertele-tele dan melelahkan, untuk menggiringnya menjadi pihak yang "patut ikut dipersalahkan".

Artinya Ranto dan kawan-kawan baru ditunjuk sebagai kuasa hukum, saat Meliana sudah ditahan beberapa saat. Apa yang kemudian dianggapnya tidak cukup untuk menganalisis peristiwa secara lebih mendalam. Bahkan untuk sekedar siapa Meliana itu sesungguhnya.

Bang Ranto bersikap sedemikian netral sebagai seorang dokter yang menerima setiap orang sakit, tanpa pernah bertanya kenapa ia sakit? Apakah ia punya uang untuk menebus obat (apalagi membayar jasanya). Ia hanya ingin sesegera mungkin menolong si sakit, si berpekara.

Dalam kasus Meliana ia dengan cepat menganggap bahwa tidak ada satu pun alat bukti yang dapat digunakan untuk mendakwa Meliana bersalah. Apalagi dengan delik yang menurut kacamata hukum di Indonesia sangat "mewah, sophisticated, sangat jarang": penistaan (atau penodaan) agama. Sesuatu yang nyaris tak masuk akal dilakukan oleh seorang minoritas kepada mayoritas (yang sialnya saat ini lagi sedang merasa hegemonik, boleh berbuat apa saja, dan pemilik otoritas yang kalau memang benar ada bernama "kapling surga").

Kalau benar Meliana melakukannya, mungkin ia lebih butuh psikiater daripada pengacara. Ia lebih tepat ditempatkan sebagai pasien rumah sakit jiwa, daripada ditaruh di penjara!

Karena itulah, Bang Ranto cs sangat yakin bahwa Meliana akan bebas. Minimal ia akan didakwa dengan pasal yang lebih ringan: delik perbuatan yang tidak menyenangkan, yang hukuman maksimalnya konon 2-4 bulan. Artinya ia akan bebas, pada saat vonis dibacakan.

Oleh tersebab itulah, ia tak pernah melakukan publikasi kasus ini ke media. Ia tak pernah berkabar, bagaimana selama masa 11 kali persidangan, selalu penuh yel-yel tekanan kalimat Tuhan yang dipinjam paksa untuk mempengaruhi persidangan.

Ia biasa saja, saat kata-kata kotor, penuh ancaman dialamatkan kepada dirinya sendiri maupun rekan-rekan kuasa hukumnya. Sebuah ancaman dan tekanan yang bukan omong kosong, yang menjelaskan kenapa sidang ini dipindahkan jauh dari situs kejadian sesungguhnya terjadi. Dari Tanjung Balai yang berjarak 4-5 jam berkereta api atau naik bis dari Medan.

Ia baru kemudian menyadari, bahwa tak satu pun orang Tanjung Balai hadir dalam persidangan itu. Hal yang membuatnya, bahkan tak ingin tahu di mana saat ini keluarga Meliana tinggal, karena sekedar melindungi privasi yang mereka miliki. Walau mereka tetap setia hadir, dengan menggunakan masker penutup mulut dan topi yang melindungi agar wajahnya tersamar.

Dan ketika vonis dijatuhkan pada 21 Agustus 2018, gemparlah kasus ini ke seantero jagad. Bukan saja Hakim menerima seluruh tuntutan Jaksa, menghukum Meliana dengan dakwaan menista agama, dengan hukuman 18 bulan bahkan tanpa diskon sehari pun. Tak mendengarkan kesaksian yang dihadirkan dari pihak kepolisian bahwa memang tak ada penistaan apapun di sana!

Ketika kami berpelukan, berpamitan karena harus pulang ke rumah. Setiba di Jogja, saya menemukan kamar kerja saya terlalu damai, hening dan seperti biasa sangat dingin! tak ada perdebatan di sini, tak ada rasa was was di sini! Beda dengan ruang kantor Bang Ranto di kawasan Grand Pavillion di Medan.

Saya hanya bisa mengerti, kenapa Bang Ranto tidak memelihara rambut untuk membiarkannya tumbuh di kepalanya. Mungkin di samping merepotkan, menambahi ribet urusannya yang sudah segunung.

Ia mungkin menggemari tokoh Kojak, yang diperankan aktor yang juga gundul Telly Savalas. Sebuah film televisi yang sangat populer pada tahun 1970-an. Si tokoh pembela kebenaran membela banyak kasus, mengejar si penjahat, memprodeokan si orang yang memang seharusnya ada di sana!

Dan di Medan ia melakukannya di dunia nyata, di kota yang saya pikir butuh Ranto-Ranto lain yang lebih banyak!

Tapi untuk saat ini biarkanlah Ranto masuk ke babak selanjutnya: melakukan banding terhadap kasus Meliana, hal yang lagi-lagi tertunda karena vonis untuk Meliana "setengah cacat" karena hakimnya terlebih dahulu dicocok KPK, walau untuk kasus yang berbeda.

Bang, kalau kasus ini sudah selesai (berubah menang atau tetap kalah) kita rayakan dengan minum lapo tuak sampai mabuk badan ya. Jangan lupa kalian tidak sendirian, kami selalu bersamamu...

***