Harun Al Rasyid Berani Mengawal Madura Provinsi

Selasa, 11 September 2018 | 14:37 WIB
0
1048
Harun Al Rasyid Berani Mengawal Madura Provinsi

Siapa yang tak mengenal nama Harun Al Rasyid? Setiap kali ada isu sensitif menyangkut perlakuan tak adil atas Madura, pendiri Ikatan Mahasiswa Bangkalan (IMABA) yang alumni Universitas Jember (UNEJ) Jember ini langsung bereaksi keras. “Jika dimiskinkan terus, Madura akan melawan!” tegas Harun.

Seperti saat ada isu rencana Pemerintah mengalirkan migas dari Blok Raas langsung ke Pulau Bali. Bersama Dewan Pembangunan Madura (DPM) yang diketuai H. Achmad Zaini MA, ia ikut menandatangani “petisi” yang mengingatkan Pemerintah untuk membatalkan rencana pengaliran migas dari Blok Raas ke Provinsi Bali.

“Alhamdulillah, Presiden SBY mendengarkan aspirasi orang Madura, sehingga rencana tersebut dibatalkan,” ujar Harun. Protes serupa juga pernah dilakukannya kala Presiden Soeharto mengalirkan migas dari Blok Kangean ke Gresik melalui pipa bawah laut melintasi Pasuruan dan Porong pada 1993. “Ini kan tidak adil!”

Padahal, dari Blok Kangean di Pulau Pagerungan Besar, Kecamatan Sapekan, Kabupaten Sumenep itu, setiap tahunnya menghasilkan sekitar Rp 5 triliun, setara biaya pembangan Jembatan Suramadu yang mencapai sekitar Rp 5,4 triliun. Jadi, kata Harun, Madura itu kaya migas, tapi rakyatnya miskin.

“Bagaimana supaya rakyat Madura bisa ikut menikmati kekayaan migasnya inilah yang harus kita perjuangkan,” kata ayah seorang putri kelahiran Surabaya pada 8 Desember 1966 itu. Ia adalah putra bungsu dari 8 bersaudara, anak pasangan H. Hasbullah Atmokoesoemo dan Hj. Siti Aisya. “Saya ini asli Madura,” ujarnya.

Harun adalah alumni SMAN 1 Bangkalan (1985) yang masuk di UNEJ tanpa tes. Lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNEJ (1992), Harun menjadi dosen di almamaternya. Meski tinggal di Jember, namun perhatiannya terhadap Madura masih tetap ada. Ini terlihat dari Tesis Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (2002) yang disusun Harun untuk meraih gelar Master (S2).

Judul tesisnya: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JEMBATAN SURABAYA - MADURA DAN INDUSTRIALISASI DI PULAU MADURA; Studi Kasus tentang Keppres Nomor 55 Tahun 1990 dari Perspektif Ekonomi Politik. “Karena saya terlibat dalam perencanaan untuk industrialisasi, saya mudah menjawab,” ujar Sekretaris DPM ini.

Sikap kritisnya terhadap kebijakan Pemerintah atas Madura tidak pernah pupus, meski dirinya ketika itu menjadi dosen (PNS) di UNEJ. Kala pembangunan Jembatan Suramadu mengalami pasang surut kebijakan, Harun kerap melancarkan protes keras, tidak peduli siapapun dia. Presiden Megawati Soekarnoputri pun pernah diprotesnya.

Pasalnya, menurut Harun, pembangunan Jembatan Suramadu hanya dijadikan komoditas politik kekuasaan. Ia menilai, pemerintahan Megawati tidak memiliki tata krama. Menurut Harun, Megawati tak melibatkan tokoh Madura saat peralihan Keppres terkait pembangunan Jembatan Suramadu dan pengembangan kawasan industri Madura.

Ketika itu, pemerintahan Megawati mengubah Keppres untuk Suramadu, dari Keppres 55 Tahun 1990 menjadi Keppres Nomor 79 Tahun 2003. Banyak hal penting berubah di dalam poin-poin Keppres tersebut. Seperti, mengalihkan pengerjaan pembangunan Jembatan Suramadu pada pemerintah yang sebelumnya swasta.

“Saya mempertanyakan pertimbangannya apa?” tanya Harun. Keterlibatan mantan Gubernur Jawa Timur H. Mohammad Noer sebagai sesepuh Madura dalam perubahan Keppres juga telah membuat geram pada pemerintahan Megawati. Pak Noer sama sekali tidak dilibatkan dan diajak berdiskusi mengenai Keppres baru tersebut.

Harun adalah salah seorang yang mengetahui pasang surut kebijakan pembangunan Jembatan Suramadu. Bahkan, dalam tesisnya, ia menyinggung kehati-hatian Pak Noer dalam menjaga masyarakat Madura adalah salah satu faktor molornya pembangunan Jembatan Suramadu. Juga, berbagai kepentingan yang ada, bertarung.

Mulai dari kepentingan korporasi besar yang ingin mengembangkan usaha di Madura hingga pertarungan politik. “Mengikuti perkembangan Madura sangat menarik. Karena itu, saya sering gelisah kalau harus jauh dari Madura,” ungkapnya.

“Saya memang bandel dari dulu. Saya sering protes jika kebijakan pemerintah merugikan masyarakat Madura. Apalagi terkait pembangunan Madura,” tuturnya kepada Pepnews.com. Semangat membangun dan membesarkan Madura sangat tinggi.

Kesibukan ketika masih menjadi dosen di UNEJ maupun kegiatan lain tak mengurangi konsentrasinya mengawasi dan mengawal perkembangan Madura. Sampai saat ini, Harun bertekad untuk tetap setia pada keinginan awalnya membangun Madura sejajar dengan daerah lain di Indonesia.

Aktivitasnya sebagai seorang pengusaha di bidang pertambangan dan industri membuat ia harus rela menanggalkan statusnya sebagai dosen di UNEJ, meski kolega di almamaternya itu memintanya untuk tetap bisa mengajar di UNEJ.

“Saya tetap ingin mengawal Madura. Makanya, saya sengaja tidak kemana-mana. Saya ingin tetap menunggui Madura meskipun dari Surabaya,” ujarnya. Alasan Harun tetap ingin memperhatikan Madura cukup rasional. Karena sejak masa kuliah, Harun memang terlibat mengawal Madura hingga proses pembanguan Jembatan Suramadu.

Tepatnya pada 1988, Harun mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa asal Bangkalan di tempatnya menempuh studi S1 di UNEJ. Inisiatif tersebut muncul karena isu akan adanya industrialisasi di Madura serta rencana pembangunan Jembatan Suramadu semakin kuat.

“Mengumpulkan mahasiswa dari Bangkalan waktu itu sebagai reaksi atas hasil rangkaian penelitian BBPT yang menyatakan Jembatan Madura dan Jawa paling layak dibangun. Ketika itu pilihannya ada 2 selain Suramadu: Selat Sunda dan Selat Bali,” ujar Ketua Presidium Forum Peduli Bencana Indonesia (FPBI) ini.

Sejak itu, ia dan IMABA mulai intensif menggelar pertemuan dan konsolidasi pemikiran dalam rangka persiapan dan antisipasi industrialisasi di Madura. Pada Juli 1988, IMABA resmi dibentuk. Hampir seluruh tokoh mahasiswa yang ada di berbagai universitas di Jember dan daerah lain masuk dan tergabung dalam organisasi mahasiswa tersebut.

“Libur kuliah juga dimanfaatkan untuk memperkuat barisan organisasi IMABA,” kata mantan Ketua Presidium Senat FISIP se-Indonesia ini. Kesempatan ini digunakan untuk bertemu dengan mahasiswa asal Bangkalan. “Organisasi senat seringkali mengadakan kegiatan keluar kota,” ujar Harun.

Pada 1991, IMABA menggelar seminar nasional untuk Madura dengan tema Songsong Industrialsiasi di Madura berlangsung dua hari. “Itu free. Padahal, IMABA waktu itu sama sekali tidak punya apa-apa, kecuali kemauan dan tekad,” lanjutnya.

“Hadir dalam seminar ini hampir semuanya tokoh Madura terkait dengan Keppres No. 55 Tahun 1990 di manapun berada. Selain itu, hadir juga para menteri yang ada kaitan dengan pembangunan Jembatan Suramadu maupun pengembangan kawasan industri di Madura ikut hadir,” lanjutnya.

Banyak hal yang dihasilkan dari seminar nasional tersebut. Aneka gagasan ideal diusulkan semua yang hadir dalam seminar itu. Yang terpenting, ia bersama teman-teman di IMABA gencar konsolidasi dengan berbagai pihak di Madura.

Pasalnya, pembangunan Jembatan Suramadu dan pengembangan kawasan industri Madura bukan lagi isu hangat di kalangan pemerintahan. Segala kegiatan yang bisa mendatangkan animo untuk membahas Madura ke depan juga dilaksanakan. Tidak hanya seminar, tetapi juga kegiatan-kegiatan seni ke-Madura-an.

Dari seminar itu, Harun dan IMABA paham bahwa kalangan ulama di Madura ingin ambil bagian dalam konsep dan pemikiran mengenai industrialisasi di Madura. Sejak itu, IMABA seringkali bertukar pikiran dengan para ulama. Pemikiran yang berbeda sering terjadi antara mahasiswa dengan para ulama.

Di tengah perbedaan pemikiran itu, tali silaturahmi tetap dijaga dengan baik. “Meskipun ada beda pemikiran, tidak pernah sekalipun ada pemutusan hubungan silaturahmi. Segalanya terus berjalan baik sampai sekarang ini,” ujar Ketua Umum Forum Komunikasi Cendekiawan Madura (FKCM) ini.

Bukan hanya dengan para ulama, keterlibatannya menjadi pembela masyarakat seringkali berhadapan dengan tokoh yang dianggapnya sebagai guru. Setelah Keppres 55 Tahun 1990 turun mulai ada proses pembelian lahan untuk kaki jembatan.

“Nah, yang saya temukan di lapangan berbeda dengan kebijakan yang diambil Pak Noer saat itu. Tanah warga hanya dibeli seharga Rp 7-8 ribu/m2 saja. Ini sangat tidak logis. Masa’ harga tanah setara dengan satu-dua bungkus rokok saja,” sindirnya.

Kenyataan ini, membuatnya harus berpikir, uang sekecil itu tak mungkin dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membeli tanah di tempat lain atau mendirikan usaha baru. Bersama KAMAD, ia menyelidiki pembebasan lahan itu. Pak Noer yang kala itu berusaha meyakinkan masyarakat merasa terganggu.

“Lalu, saya dipanggil Pak Noer saat halal bi halal di kediamannya di Bangkalan. Luar biasa. Saya dimarahi orang yang saya anggap sebagai guru dan sesepuh Madura itu,” ungkap Harun sambil tertawa.

Ia mengungkapkan, tak menanggapi kemarahan Pak Noer dengan arogan. Harun hanya bisa menjelaskan, apa yang dilakukannya adalah perjuangan seperti yang dilakukan Pak Noer. Cuma, ada perbedaan masa dan tantangan yang harus dihadapi keduanya.

Harun memaparkan, tindakannya itu untuk mengingatkan kebijakan yang sudah ditetapkan berbeda dengan praktek di lapangan. “Akhirnya, beliau paham setelah saya beri penjelasan seperti itu,” ujarnya.

Hingga menjelang akhir hayat Pak Noer, Harun masih menjalin tali silaturahmi dengan Pak Noer. Ia hanya berusaha mengingatkan kepada Pemerintah bahwa Pak Noer turut andil dalam memperjuangkan terwujudnya Jembatan Suramadu. Bahkan, masih ada dua keinginan Pak Noer lainnya yang hingga kini masih diperjuangkan Harun Al Rasyid.

Yakni: Membangun Bandara dan Pelabuhan di Madura. “Ini keinginan Pak Noer ketika bertemu Pak Harto (Presiden Soeharto) sebelum menerima Keppres 55/1990 itu. Pak Noer minta Juanda dan Tanjungperak dipindah ke Madura, karena Suramadu itu masih satu paket dengan Bandara dan Pelabuhan di Madura,” ujar Harun.

Mengapa Juanda harus ke Madura? Perlu dicatat, Juanda adalah koordinat militer. Ini akan menjadi sasaran tembak bila terjadi konflk bersenjata dengan negara lain. Kalau di Madura, “Nantinya diharapkan bandara ini bisa menjadi bandara pengganti Changi di Singapura yang mulai overload. “Ini bisa jadi Bandara Antar Benua,” lanjutnya.

Demikian pula pelabuhan. Jika dibangun pelabuhan internasional di Madura, maka ini juga bisa menggantikan peranan pelabuhan di Singapura. Sehingga, adanya bandara dan pelabuhan internasional di pesisir utara, “Ini bisa nyambung dengan Jembatan Suramadu, dengan harapan pula meningkatkan ekonomi Madura.”

Jadi, dengan demikian diharapkan, “Suramadu bukan sekedar seonggok jembatan semata, tapi sudah merupakan bagian dari pembangunan Madura secara menyeluruh, terutama infrastruktur,” lanjut Harun. Bagaimana mewujudkan cita-cita Pak Noer itu? Harun Al Rasyid berusaha menjadi Pengawal Madura Provinsi.

Harun yang telah berhasil ikut mengantarkan Khofifah Indar Parawansa menjadi orang nomor 1 di Jatim dengan menjadi Senopati Barisan Relawan Khofifah - Emil Dardak (BKM) yang bermarkas di Jl. Progo Surabaya tersebut, kali ini memimpin Cakra 19 Madura untuk memenangkan Joko Widodo pada Pilpres 2019 nanti.

***