Hikmah Religi Gempa dari Aceh hingga Lombok

Selasa, 7 Agustus 2018 | 09:26 WIB
0
1142
Hikmah Religi Gempa dari Aceh hingga Lombok

Pada 26 Desember 2005 Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi pusat perhatian dunia lagi. Kala itu, Pemerintah Indonesia punya hajatan penting peringatan satu tahun musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh.

Gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter dan tsunami dengan kecepatan 500 km/jam yang terjadi pada 26 Desember 2004 itu menelan korban lebih dari 150 ribu warga Aceh meninggal dunia.

Hampir sebagian besar wilayah barat dan utara Aceh disapu bersih tsunami yang masuk ke darat. Di Banda Aceh saja gelombang tsunami sempat mencapai 5 km dari pantai. Inilah gempa terbesar yang pernah terjadi di Indonesia dalam kurun 2001-2004.

Selama kurun waktu itu terjadi 22 gempa. Gempa berkekuatan 7,5 SR disertai tsunami pernah terjadi di Flores, NTT pada 1992 dengan korban tewas 1.952 orang. Pada 1994, gempa 5,9 SR disertai tsunami melanda Banyuwangi menelan korban 238 orang tewas.

Pada 6 Februari 2004, gempa berkekuatan 6,9 SR menimpa Nabire, Papua menewaskan 35 orang. Pada 16 November 2004, gempa dengan 6,0 SR juga menimpa Alor, NTT dan menelan korban tewas 33 orang.

Terakhir, pada 26 November 2004, Nabire kembali dilanda gempa berkekuatan 6,4 SR dan menelan korban 13 orang tewas. Di saat perhatian tertuju ke Alor dan Nabire, tiba-tiba Aceh dilanda gempa dan tsunami.

Perhatian masyarakat Indonesia dan dunia pun tertuju ke Aceh. Karena gempa dan tsunami Aceh ini adalah bencana terbesar di dunia sejak 1964. Pusat gempa berjarak sekitar 150 km dari Kota Meulaboh dengan kedalaman sekitar 10 km.

Getaran gempa dan gelombang tsunami itu juga melanda India, Srilanka, Myanmar, Bangladesh, Baladewa, Thailand, dan Malaysia. Total jumlah korban gempa dan tsunami, termasuk yang menimpa Aceh, ini sudah mencapai sekitar 270.000 orang tewas.

Kendati musibah yang melanda Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara (Sumut) itu sudah berlalu, namun trauma peristiwa tersebut tak bisa hilang dari benak pikiran kita. Apa yang sebenarnya terjadi di Serambi Mekkah itu?

Mungkin sedikit uraian berikut ini bisa menjawabnya. Seperti diketahui, sebagian besar wilayah Aceh adalah penghasil minyak dan gas bumi. Entah sudah berapa banyak yang telah dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi.

Sehingga, sebagian besar rongga perut bumi di bawahnya menjadi kosong karena sudah disedot. Akibatnya, lapisan atau kerak bumi yang ada di atasnya menjadi ambrol. Migas yang seharusnya berfungsi sebagai pelumas dan penahan beban lapisan itu, kosong.

Jadi, bukan semata-mata karena ada pergeseran lempeng dasar laut saja, seperti kata para pakar gempa dan geologi. Warna air laut coklat-kehitaman itu tak lain sebenarnya adalah sisa-sisa minyak yang keluar dari rongga perut bumi di bawah lautan Aceh.

Setelah lapisan bumi ini ambrol, maka air laut masuk ke dalam rongga perut bumi yang kosong itu. Dengan masuknya air laut menggantikan migas yang sudah tak ada lagi itu, maka berkurang pula getaran yang ditimbulkan akibat gesekan kerak bumi di dalamnya.

Para ahli geologi dan pakar gempa tak pernah berpikir, kosongnya rongga perut bumi itu bisa menyebabkan ambrolnya lapisan bumi yang ada di atasnya. Jika eksplorasi terjadi di darat, dampak gempanya lebih dahsyat, seperti di China pada 27 Juli 1976.

Korban akibat gempa 8,0 SR di Tangshan, China itu mencapai 250.000 orang tewas. Gempa dengan jumlah korban yang besar juga pernah terjadi di Mexico City pada 19 September 1985 berkekuatan 7,6 SR dengan korban 10.000 orang tewas.

Di Armenia pada Desember 1988, gempa berkekuatan 6,9 SR dengan korban tewas 25.000 orang. Gempa berkekuatan 7,4 SR juga menimpa Turki pada 17 Agustus 1999 dan menewaskan 17.000 orang.

India Barat juga pernah dilanda gempa pada 26 Januari 2001. Gempa berkekuatan 7,9 SR itu menelan korban tewas 30.000 orang. Yang terbaru terjadi di Bam, Iran, pada 26 Desember 2003.

Gempa berkekuatan 6,7 SR itu telah menelan korban 50.000 orang meninggal. Dan, tepat setahun setelah gempa di Bam itu, Aceh juga dilanda gempa dan tsunami terdahsyat sejak 1964.

Selang beberapa waktu kemudian, gempa juga menimpa perbatasan India, Pakistan, dan Afghanistan dengan jumlah korban yang tak sedikit pula. Semua wilayah yang dilanda gempa itu termasuk daerah kaya migas yang sudah puluhan tahun dieksploitasi, seperti halnya wilayah Aceh.

Dampak eksplorasi minyak itu memang baru terasa setelah puluhan tahun. Jika eksplorasi itu berlangsung di lautan, maka gempa tersebut akan diikuti dengan tsunami. Kata pakar gempa Wong Wingtak di Hongkong Observatory, tsunami adalah gelombang pasang nan dahsyat yang disebabkan gempa bumi di lempeng dasar laut.

Gelombang itu bisa menerpa lokasi dalam jarak yang jauh dalam waktu cepat. Akibat guncangan seismik yang kuat itu, tsunami bisa mencapai ketinggian dan kecepatan yang luar biasa. Tak hanya itu. Bahkan, guncangan itu bisa menimbulkan gelombng sejauh ribuan kilometer dari asalnya dengan efek yang merusak.

Korban pun selalu berjatuhan. Gelombang nan dahsyat itu juga dapat dilihat di lautan. Namun, jika kita naik kapal, mungkin kita malah tak merasakan adanya tsunami. Tapi tsunami justru punya kekuatan mahadahsyat ketika mendekati pantai dan menjangkau perairan yang dangkal.

Saat itulah, kekuatannya bisa mendorong gelombang lebih dari 10 kali lipat lebih tinggi ketimbang permukaan laut. Wong menyebutkan, sebenarnya beberapa gejala alam bisa mengakibatkan tsunami. Misalnya, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Tapi, penyebab yang paling umum adalah gempa di dasar laut.

Kasawan Pasifik termasuk yang paling sering mengalami gempa bawah laut. Hal tersebut terkait pergerakan lempeng tektonik bumi. Gelombang pasang bukanlah fenomena umum dalam kasus terjadinya gempa di dasar laut.

Kata Wong, hanya gempa berkekuatan di atas 7,7 SR yang bisa menyebabkan gelombang pasang. Tsunami bisa menyapu ke segala arah dari pusat gempa dan menyerang seluruh garis pantai.

Kecepatan gelombang tsunami terkait kedalaman laut. Kecepatannya bisa sampai ratusan kilometer per jam. Pada 1960, misalnya, gelombang pasang berkecepatan 750 km per jam menghantam Jepang menyusul serangkaian gempa di Cile dan Samudera Pasifik.

Ratusan orang tewas saat itu. Pada September 1992, tsunami menyapu pantai Nikaragua, sebanyak 13.000 orang tewas. Pada 17 Juli 1998, dua gempa dengan 7 SR menyebabkan gelombang setinggi 7 m, menghancurkan kawasan sejauh 30 km dari pantai utara Papua Nugini menewaskan 2.123 orang di 7 desa.

Gempa berkekuatan 9,0 SR disertai tsunami dahsyat juga terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011. Gempa yang terjadi di kedalaman laut 244 km itu menelan korban 15.269 tewas, 5.363 luka, dan 8.526 hilang. Gelombang laut mencapai ketinggian 10 m.

Minggu malam, (5/8/2018), gempa kembali mengguncang Indonesia. Kali ini terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Data BNPB hingga Senin (6/8/2018) malam, sebanyak 98 orang meninggal dunia dan 209 korban luka-luka akibat bencana gempa itu.

Sebagai orang beriman harus percaya, bencana itu seolah berkata, menjawab, tiada kekuasaan dan kesombongan dunia yang bisa menolak kehendak-Nya. Dalam bahasa religi, setidaknya ada tiga hikmah yang bisa dipetik dari bencana di Indonesia.

Pertama, bencana itu ujian bagi umat manusia. Kedua, teguran pada para pimpinan kita yang selama ini “menganiaya” Aceh. Dan ketiga, bisa diartikan juga sebagai hukuman pada para pimpinan kita yang menjadikan Aceh sebagai “objek” kepentingan politik.

Begitu pula yang terjadi di Lombok. “Bapak polah, anak kepradah”. Pemimpin berulah, rakyat kesusahan. Mungkin lirik lagu Ebiet G. Ade ada benarnya, “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.”

Jika kita piawai membaca pesan alam, musibah dan bencana alam selama ini merupakan peringatan dari Langit atas suatu kesombongan manusia.

***