Kopi adalah peradaban, kopi adalah budaya, kopi adalah silaturahmi, kopi adalah kepahitan hidup. Orang boleh memaknai apa saja tentang kopi. Maka tak berlebihan bila dari secangkir kopi kita bisa sedikit memahami Papua.
Jangan pernah mengaku penikmat kopi kalau belum mencoba Arabika Wamena. Rasanya disejajarkan dengan Jamaica Blue Mountain. Arabika Wamena berasal dari biji kopi yang ditanam di ketinggian 1.600 mdpl. Budidayanya masih tradisional. Tanaman kopi dibiarkan tumbuh liar. Justru itu yang membuat kopi Wamena menjadi sangat istimewa. Tanpa pupuk, tanpa pestisida.
Piter Tan menjadi orang yang perlu diperhitungkan kalau mau tahu tentang kopi Papua. Logatnya sangat Papua meskipun nama keluarga tidak menunjukkan itu. Tak perlu heran. Itu karena dia lahir, besar, dan berusaha di Papua.
Tak mau pindah ke kota lain? Cinta orang-orang Papua pada dirinya melebihi cinta yang bisa dideskripsikan. Jadi buat apa meninggalkan negeri penuh cinta ini.
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia pergi ke Wamena. Biji kopi kualitas unggul dibiarkan berguguran, bahkan membusuk. Harganya hanya Rp 9.000,- per kilo. Ia berjanji menghargai Rp 45.000,- per kilo—lima kali lebih dari harga pasaran—asal mereka mau merawat perkebunan kopi yang sangat luas. Kebun kopi peninggalan para misionaris.
Piter memenuhi janjinya. Apa pun kualitas kopi yang dipanen petani, dibayar tunai dengan harga sama. Penduduk Papua yang sudah kenyang makan janji pun terkaget-kaget. Tak hanya sekali Piter datang. Di saat panen, ia datang, datang, dan datang lagi.
Hampir menetes air mata Piter ketika ia didatangi seorang nenek yang membawa berkilo-kilo kopi dengan noken. Jarak rumahnya ke tempat penampungan kopi mencapai 15 km. Ditempuh berjalan kaki. Nenek itu selonjoran, melepas lelah. Tersenyum lebar setelah bertemu Piter.
Namun senyum getir muncul dari anak buahnya. Kopi yang dibawa nenek itu basah. Sudah dikeringkan, basah lagi, mungkin tertimpa hujan. Praktis tidak bisa diapa-apakan. “Bayar saja,” ujar Piter. Ia tak ingin membuang senyum mengembang di wajah nenek itu.
Lambat laun ia mengajari mereka bagaimana cara merawat kebun, memetik biji, mengupas, hingga mengeringkannya. Produksi meningkat, kualitas pun semakin terjamin.
[caption id="attachment_18020" align="alignleft" width="558"] Piet's Corner (Foto: Kristin Samah)[/caption]
Di Jalan Kasuari, Dok V Atas, Jayapura, ia membuka Piet’s Corner, kedai kopi dengan konsep industrial. Ia mengajari anak-anak muda Papua untuk menjadi barista profesional. Kalau mereka tidak tinggal di Jayapura, Piter menyediakan tempat tinggal. Gratis. Syaratnya harus mau serius belajar.
Piter pun berteori. Kalau mau bekerja sama dengan orang Papua tidak bisa hanya datang, menyampaikan presentasi layaknya motivator kelas wahid, lalu pulang dengan rasa lega. Pikirkan bagaimana transportasi mereka, bagaimana mereka harus menjalani hidup selama berproses, hingga bagaimana mereka menikmati hasil.
Rangkaian yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dengan cara itu perubahan berpikir dan cara hidup orang Papua, lambat laun akan berubah.
Mungkin Piter menghayati anekdot orang Papua. Sa bodok tapi sa tahu, saya bodoh tapi saya tahu. Dan mengutip filosofi Bob Sadino, bodoh adalah kunci sukses, malas pangkal melarat, pesimis kunci sengsara.
Secangkir kopi Papua sarat dengan makna kehidupan. Mungkin itu sebabnya Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam kunjungannya ke Jayapura belum lama ini menyempatkan datang ke Piet’s Corner. Mencecap secangkir kopi Papua. Mana lebih pahit dibanding kopi Jakarta Jenderal?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews