Kritiklah Secara Cerdas, Bukan "Beronani" Memuaskan Diri Sendiri

Minggu, 1 Juli 2018 | 07:12 WIB
0
745
Kritiklah Secara Cerdas, Bukan "Beronani" Memuaskan Diri Sendiri

Mempunyai sikap kritis itu bagus, karena itu adalah bentuk dari kepekaan sosial yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Namun yang terpenting dari setiap apa yang dikritisi, dipahami terlebih dulu persoalannya, supaya kritik tersebut tidak mubazir. Kritik yang tepat kesasarannya akan efektif, akan menjadi perhatian, tapi jika kritik tersebut tidak tepat sasaran, yang mengkritik akan seperti orang onani, sibuk sendiri dan puas sendiri.

Ketika mengkritik sebuah kebijakan yang tidak sesuai dalam aplikasinya, yang pertama kita cari tahu adalah, apakah kebijakan tersebut sesuai dengan konstitusi yang ada, kalau sesuai konstitusi namun tidak bagus secara aplikasinya, perlu dipertanyakan apa yang mendasari Undang-undang yang menyangkut kebijakan tersebut disetujui, siapa yang menyetujui Undang-undang tersebut diperlakukan.

Ada proses untuk menggagalkan Undang-undang tersebut diperlakukan, ketika Undang-undang tersebut masih dalam tahap rancangan, dalam tahap inilah yang wajib dikritisi, jangan setelah Undang-undang diperlakukan baru sibuk mengkritisi. Inilah bentuk kritik yang tidak tepat. Bisa saja Undang-undang tersebut direvisi lewat uji materi, tapi apakah setiap Undang-undang harus disikapi seperti itu.

Masyarakat yang kritis adalah masyarakat yang aktif dalam mengawasi penyelenggaraan negara, sikap kritis itu bukanlah cuma kelatahan, ikut-ikutan kritis tapi tidak mengerti persoalan, sok kritis tapi tidak faham apa yang dikritisi, yang seperti ini akhirnya cuma menjadi ketololan yang kritis. Sebagai illustrasi saya akan sampaikan contoh soal aturan mantan napi boleh ikut Pilkada, dan sekarang menjadi kehebohan, karena ada mantan napi yang terpilih sebagai Kepala Daerah.

Secara konstitusional memang memperbolehkan seorang mantan napi menjadi kepala daerah, terus salahnya dimana? Karena acuan pemerintah dalam penyelenggaraan negara adalah konstitusi, selama tidak melanggar maka aturan tersebut diperbolehkan.

Padahal, secara moral, memang tidak patut seseorang yang memiliki rekam jejak sebagai mantan narapidana menjadi Kepala Daerah, karena seorang kepala daerah itu harus memiliki moralitas yang baik, bukan cacat secara moral.

Yang menjadi persoalan, kenapa Undang-undang yang menyangkut persyaratan menjadi Kepala Daerah ini bisa disetujui, siapa yang menyetujui, dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Undang-undang tersebut.

Sebagai masyarakat kenapa tidak mengkritisi Rancangan Undang-undang tersebut sebelum disahkan. Di sinilah peran masyarakat seharusnya, bukan setelah Undang-undang tersebut diterapkan, mengkritik secara membabi-buta tapi tidak mengerti tanggung jawabnya sendiri sebagai masyarakat.

Contoh soal yang lain adalah, mantan napi tidak boleh menjadi calon legislatif. Ini yang pernah dipersoalkan KPU, yang kebetulan direspon secara kritis oleh masyarakat dengan mengeluarkan petisi. Akhirnya diputuskan bahwa Mantan napi tidak boleh mencalonkan diri sebagai Anggota Legislatif. Jadi tidak Ada lagi alasan seorang mantan Napi boleh menjadi anggota Legislatif, semoga saja rancangan Undang-undang ini pun sudah disetujui dan bisa diterapkan pada Pemilu 2019.

Banyak contoh lain dari kritik yang tidak cerdas, kritik yang cuma asal bunyi seperti tong kosong yang nyaring bunyinya, kritik yang tidak mendasar, tidak menggunakan data, kalau menggunakan data pun tidak valid, begitu dibantah secara comprehensive tidak bisa lagi argumentatif.

Yang begini inilah yang disebut onani, cuma sibuk sendiri dan asyik sendiri, yang mengaminipun seperti ikut beronani.

***