Sebaiknya, Jokowi Jangan Terlalu Menggantungkan Diri pada PDIP

Rabu, 27 Juni 2018 | 20:37 WIB
0
620
Sebaiknya, Jokowi Jangan Terlalu Menggantungkan Diri pada PDIP

Sisi lain hasil hitung cepat Pilkada serentak petang ini menunjukkan rontoknya cengkeraman kuku kekuasaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Pulau Jawa. Sangat terang-benderang menunjukkan, partai politik yang dikomandani Megawati Soekarnoputri ini harus berbenah diri. Lebih dari itu, instropeksi yang dalam perlu dilakukan agar para pengurusnya lebih bijak dan mawas diri, tidak sombong dan menggampangkan persoalan.

Kekalahan pasangan calo gubernur yang diusungnya, yaitu di Jawa Barat dan Jawa Timur, bukan saja merontokkan kekuasaan PDIP di Tanah Jawa, tetapi kekalahan itu dijadikan amunisi tambahan bagi lawan bahwa sebagai partai politik PDIP sebenarnya sedang menuju surut kalau tidak mau dikatakan menuju senjakala.

Praktis PDIP hanya menyisakan sepenggal kekuasaannya di Jawa Tengah setelah pasangan gubernur yang diusungnya, Ganjar Pranowo dan Taj Yasin berhasil mengalahkan Sudirman Said-Ida Fauziyah dengan angka yang boleh dikatakan "tipis". Padahal dalam berbagai survey sebelumnya, elektabilitas pasangan Ganjar-Yasin unggul 70 persen dibanding pesaingnya.

Sudah bukan rahasia, Pulau Jawa yang berpenduduk gemuk, di mana sekitar 70 persen penduduk Indonesia ada di Pulau ini, sering dijadikan barometer untuk mengusung kekuasaan berikutnya. Kalah-menang menjadi ukuran. Setelah dalam Pilkada sebelumnya PDIP rontok di Banten dan DKI Jakarta, kini dua provinsi berpenduduk gembur, Jawa Barat dan Jawa Timur, harus lepas pula dari genggamannya.

Imbas dari kekalahan ini mau tidak mau menerpa Presiden Joko Widodo. Ibarat ombak air, gelombangnya akan mengguncang ketahanan Jokowi sebagai calon presiden petahana yang diusung PDIP.

Sebagai catatan, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla pada Pilpres 2014, disokong PDIP saat masih berjaya di Banten, DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Jawa Barat dan Jawa Timur dikuasai partai lain, masing-masing PKS dan Demokrat.

Jargon politik Tanah Air menyebutkan, siapa yang menguasai Pula Jawa, dialah yang berpeluang menguasai Indonesia. Akankah PDIP tetap menjadi pemenang Pemilu dan lebih-lebih bisa menggolkan Jokowi sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya di saat kekuasaannya rontok di Pulau Jawa dan hanya menyisakan Jawa Tengah saja.

[irp posts="17632" name="Kekuatan PDIP di Tanah Jawa Hanya Tinggal Sepenggal Saja"]

Jika PDIP tetap berpedoman pada "dukungan lisan" akan kembali memajukan Jokowi sebagai calon presiden perahana pada Pilpres 2019, maka ia tidak bisa mengandalkan pada kekuatan PDIP sendiri. Kekuatan anggota koalisi sangat mutlak diperlukan. Ia tidak bisa "sok-sok"-an sebagaimana di Pilkada Jabar hanya bisa melenggang sendiri tanpa bantuan partai lain. Pilpres beda jauh dengan Pilkada.

Sebaliknya, Jokowi sendiri harus realistis dengan hasil Pilkada serentak tadi pagi di mana PDIP hanya menyisakan Jawa Tengah. Maknanya, ia tidak bisa mengandalkan lagi pada kekuatan PDIP yang jelas-jelas sudah berguguran bagai daun di musim rontok. Selain itu, "dukungan lisan" yang belum berbentuk perjanjian tertulis di atas materai, juga masih merupakan titik rawan bagi Jokowi.

Selain itu, kapan-kapan PDIP atau Megawati secara pribadi bisa mencabut dukungan dan mengalihkan dukungan pada "dinasti" atau capres yang dikehendakinya, "capres cemceman" istilahnya.

Selama ini partai politik yang berkhidmat menyokong Jokowi selain PDIP antara lain Partai Nasdem, Partai Golkar, PPP, Hanura, dan PKB. Dari partai-partai itu, hanya PKB yang belum solid, tersebab masih menyendera Jokowi agar berpasangan dengan Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2019 nanti.

Jokowi harus berhitung kemungkinan hengkangnya PDIP dan PKB, sehingga penggalangan kekuatan hanya bertumpu pada "partai sisa" yang masih solid.

Ketika kekuatan partai politik melemah, yang penting sudah mencapai 20 persen Presidential Threshold, maka kekuatan harus beralih pada sosok Jokowi sendiri sebagai pendulang suara. Jokowi harus melakukan simulasi dari sekarang bagaimana bisa "hidup" tanpa PDIP dan PKB. Termasuk simulasi bagaimana Jokowi jika berpasangan dengan Airlangga Hartarto sebagai partai kedua terbesar penyokong Jokowi setelah PDIP.

Benar, Jokowi harus lebih realistis. Terlebih lagi, harus pandai berhitung secara cermat, mulai sekarang...

***