Sulit untuk tidak mengatakan bahwa jaringan terorisme cenderung sulit dipangkas hingga ke akar-akarnya. Organisasi semacam ini seakan terus bertumbuh dengan pola yang berlainan, bahkan kemudian membentuk sel-sel tersendiri yang sangat berbeda dengan sebelumnya.
Jika kasus Bom Bali dulu dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah (JI), lalu muncul lagi gerakan serupa dengan nama Jamaah Ansharu Tauhid (JAT) yang didirikan Abu Bakar Baasyir, lalu muncul lagi nama Jamaah Ansharu Daulah (JAD) yang diinisiasi Aman Abdurrahman, seakan menunjukkan sel-sel terorisme tetap bertumbuh.
Keputusan pengadilan yang memvonis mati Aman, tampaknya juga tak menunjukkan bahwa sel-sel terorisme itu melemah. Senyum dan sujud syukur Aman ketika vonis dibacakan hakim, paling tidak menggambarkan suasana lain di mana simpul-simpul organisasi serupa mungkin saja hidup dan lahir kembali.
Sejauh yang saya tahu, memberantas akar terorisme sepertinya masih jauh dari harapan, padahal triliunan dana digelontorkan untuk membiayai penanggulangan terorisme ini dari mulai soal pencegahan, penindakan, bahkan hingga penumpasan bagi mereka yang terindikasi jaringan terorisme.
Bahkan, tak tanggung-tanggung, Polri baru-baru ini meminta tambahan dana Rp44,4 triliun guna memperkuat penanganan dalam hal pemberantasan terorisme yang diperluas dari 16 menjadi 34 disesuaikan dengan pemetaan sel-sel terorisme yang ada di setiap wilayah di Tanah Air. Toh, kenyataannya, aksi bom bunuh diri atau kekerasan terhadap aparat tetap terjadi, bahkan seperti tak terendus pergerakannya oleh pihak aparat anti teror sendiri.
Sebuah organisasi terorisme di manapun berada memang selalu dikaitkan dengan ISIS, baik secara langsung maupun tidak. Untuk kasus Indonesia, pertumbuhan organisasi semacam ini, umumnya terstruktur dengan amir atau imam sebagai pucuk pimpinan tertingginya.
Peristiwa paling besar aksi terorisme di Indonesia pernah didalangi oleh organisasi Jamaah Islamiyah (JI) yang erat kaitannya dengan jaringan terorisme internasional, Al-Qaida. Kasus Bom Bali, merupakan bukti nyata kebiadaban terorisme yang kalap akibat tekanan dan diskriminasi Barat terhadap Islam. Hal inilah yang diungkap dalam sebuah wawancara TV swasta dengan Ali Imron, salah satu tersangka bom Bali yang divonis seumur hidup.
Kelompok-kelompok terorisme seperti tak pernah mati, karena bak mati satu tumbuh seribu. Hal ini terbukti oleh begitu beragamnya kelompok yang menginisiasikan dirinya, entah pecahan atau sel lain yang membelah dari organisasi mentornya.
Vonis mati terhadap pentolan JAD Aman Abdurrahman, seharusnya dapat memutus mata rantai aksi terorisme yang sejauh ini ditengarai pihak kepolisian bahwa komunikasi serentetan aksi terorisme disinyalir terjadi ketika Aman masih hidup.
Penjara seringkali menjadi ruang komunikasi intensif para teroris antara jamaah dan pimpinannya yang kemudian merancang beragam aksi menebar teror di Indonesia. Aman, ditengarai merupakan orang paling berpengaruh di JAD, sehingga seharusnya vonis mati atasnya tentu saja dapat memutus seluruh komunikasi para aktivis terorisme.
Bagi saya, keputusan hakim dalam menjatuhkan vonis mati kepada Aman Abdurrahman sudah tepat, karena memang terbukti menjadi penggerak aksi terorisme yang membunuh banyak nyawa yang tidak berdosa. Membunuh dengan dalih apapun, apalagi yang menjadi korban orang-orang tak bersalah sama sekali, jelas sangat bertentangan dengan agama.
[irp posts="15788" name="Otak Pelaku Bom Bunuh Diri Tak Berani Mati, Memilih Nikmati Surga Dunia"]
Kelompok seperti ini sudah seharusnya diberantas hingga tuntas sampai ke akar-akarnya, karena jelas sangat berbahaya. Tidak saja mereka menularkan ide-ide radikalisme-terorisme kepada pihak lain, mereka juga memerintah dengan pengaruhnya untuk melakukan serangkaian aksi kekerasan tanpa prikemanusiaan.
Namun, perlu juga diperhatikan bahwa penanggulangan terorisme tidak juga berimbas pada adanya pembangunan opini, menstigmatisasi kelompok atau agama tertentu dengan sebutan "radikal" padahal mereka tidak terkait dengan organisasi teroris manapun. Bukannya menyasar akar-akar terorisme yang hendak diberantas, alih-alih membangun stigmatisasi negatif terhadap kalangan tertentu yang bersikap kritis lalu dianggap menyemai radikalisme.
Saya kira, ungkapan Al-Chaidar yang mengkritik soal 7 kampus versi pemerintah yang terpapar radikalisme perlu dikaji ulang, karena tak sesuai dengan fakta sebenarnya. Jangan sampai penanggulangan terorisme justru menjadi blunder bagi pemerintah yang justru semakin memperkuat paham-paham radikal, bukan malah memperlemah keberadaannya.
Saya justru berharap, dengan keputusan vonis mati atas Aman Abdurrahman akan berdampak pada semangat pemberantasan terorisme hingga ke akar-akarnya tanpa harus menyemai stigmatisasi buruk terhadap kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintah yang dengan mudah dituduh sebagai kelompok radikal. Terorisme-lah yang sangat berbahaya, karena mereka mengadopsi ideologi trans nasional soal jihad yang melenceng jauh dari kaidah-kaidah agama.
Kelompok radikalis-jihadis yang diinisiasi kelompok ISIS telah menyebar ke berbagai pelosok dunia yang harus mampu diputus mata rantai penyebarannya. Jika kekuatan ISIS sejauh ini disebut mulai melemah, maka seharusnya efek dari penyemaian ideologi radikalis yang mengarah pada aksi terorisme sudah semestinya mudah dihancurkan.
Vonis mati atas Aman Abdurrahman juga bukan berarti mengikuti tekanan dari pihak luar tetapi benar-benar murni keputusan hakim sesuai bukti-bukti yang memang terpenuhi. Semoga, negeri ini dapat kembali damai dengan segala kekayaan budayanya yang mampu menjadikan setiap orangnya memahami perbedaan antara satu dan lainnya. Tak ada perbedaan yang kemudian menjadi alasan perpecahan, tetapi justru setiap perbedaan akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan.
Saya sangat apresiasi terhadap pemerintah yang membangun opini #terorisme, kami tidak takut dalam artian tak ada satu agamapun yang membenarkan aksi teror dan kekerasan. Terorisme harus ditumpas hingga ke akar-akarnya, karena mereka hanyalah sekelompok orang yang tak pernah paham akan perbedaan dan merasa benar akan dirinya sendiri.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews