"Koppig", Keras Kepala Kau!

Selasa, 19 Juni 2018 | 18:27 WIB
0
708
"Koppig", Keras Kepala Kau!

Duduk di puncak singgasana, dengan telunjuk yang bisa mengharu-biru negeri, tak sulit bagi presiden untuk kaya sekaya-kayanya. Untuk hidup sentosa turun-temurun, bergenerasi-generasi.

Saya ingat petani cengkih yang dulu menjadi gambaran kemakmuran petani. Harga cengkih begitu tinggi, laris, petani sumringah. Di beberapa desa di Sulawesi yang tak terjangkau listrik, petani beli kulkas –perlambang orang kota. Listrik belum menjangkau desa, tapi kulkas sudah ada. Maka diisi baju dan celana.

Anak presiden yang gagah perkasa, Hutomo Mandala Putera, rupanya jadi tergiur. Pada 11 April 1992, ayahnya yang murah senyum, Presiden Soeharto, mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Tata Niaga Cengkih. Keppres itu mengatur, petani harus menjual cengkihnya ke koperasi.

Tapi koperasi hanya pengepul, seluruh cengkih harus dijual ke Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Lalu, semua pabrik rokok dalam negeri wajib membeli pasokan cengkih dari BPPC ini.

BPPC ini terdiri atas Induk KUD, BUMN PT Kerta Niaga dan satu dari swasta: PT Kembang Cengkih Nasional milik Tommy Soeharto. Sang pangeran jadi pemimpin BPPC – lembaga monopoli pengepul dan pemasaran cengkih Indonesia.

Sejak itu, petani menjerit. Harga cengkih anjlok. Ribuan petani meninggalkan kebun, beralih ke tanaman lain. Petani cengkih di Sulawesi Utara bahkan membakar lahannya. Sementara, BPPC untung dari selisih harga penjualan ke pabrik rokok diperkirakan sebesar Rp1,4 Triliun –uang yang tak terkirakan banyaknya.

Saat ayahnya terjungkal di tahun 1998, BPPC dibubarkan dengan meninggalkan utang di bank 325 juta dolar. Dalam hitungan sementara, negara dirugikan 3 Triliun Rupiah.

Tommy sempat jadi tersangka di Kejaksaan Agung. Lalu menguap....

Bukan cuma cengkih. Melihat banyaknya pesawat televisi yang dimiliki rakyat Indonesia, kakak Tommy, Sigit Harjojudanto juga tak tahan menenggak air liur.

Pada tahun 1991, bersama pamannya Sudwikatmono ia membentuk perusahaan PT Mekatama Raya. Perusahaan ini mengumpulkan iuran televisi. Bayangkan: iuran televisi, sodara-sodara.

Setiap pemilik TV berwarna ditarik Rp3.000 dan televisi hitam putih Rp1.500 per bulan. Dengan jumlah televisi di seluruh Indonesia sekitar 12 juta –berwarna dan hitam-putih -lebih dari Rp20 milyar diperoleh PT Mekatama Raya setahunnya.

Lalu giliran sang cucu, Ari Sigit – putra Sigit Harjojudanto. Botaknya mirip saya, tapi isinya beda hehe.... dia pandai melihat peluang bisnis.

Mungkin ia sering ke diskotik. Melihat banyaknya orang mabuk-mabukan dengan peredaran hampir 300 juta botol minuman keras golongan A setiap tahun di Indonesia, pada 20 April 1994 ia mendirikan PT Arbamass bersama kawannya Emir Baramuli. Perusahaan ini mencetak stiker untuk ditempelkan ke botol-botol minuman keras yang beredar. Arbamass dapat untung 90 rupiah per botol untuk minuman golongan A, dan 112,5 rupiah dari golongan B dan C.

Dari minuman beralkohol ini Ari Sigit memperoleh sedikitnya Rp40 Miliar setiap tahun.

Dan banyak trik-trik lain .... berbekal surat ayah dan eyang presiden, sim salabim, semua jadi duit.

Duduk di tahta, di atas singgasana, begitu mudah menjadi super-kaya. Asal mau saja.

Ah, Jokowi, Jokowi .... kau ini lugu atau koppig? Sudah jadi presiden, anak sulung cuma jualan martabak di kampung. Dua anak lain cuma cengengesan. Tiada mainan. Tak ada bancakan.

Koppig kau, Tuan Presiden. Keras kepala kau....

***

Tebet, 8 Desember 2015