Kalau pun mau, rekomendasi mubaligh itu mestinya dari para ulama yang lurus dan netral, itu akan didengar umat. Minimal MUI. Di dalam MUI, semua wakil golongan ormas keislaman ada. Boleh dari ulama ormas tapi yang dikenal netral oleh umat, ukurannya pandangannya diterima luas oleh berbagai kelompok masyarakat.
Ulamalah, karena mereka ahli dan mengusai ajaran Islam, yang berhak dan punya wewenang mengeluarkan rekomendasi mubaligh. Dan harus tanpa kepentingan politik kelompok.
Kalau dari pemerintah, walau dari Kementrian Agama, ya pasti bermasalah, karena masyarakat menilai itu pasti politik. Politik artinya ada kepentingan politik, artinya tidak murni demi kebaikan, tidak murni demi agama. Yang murni demi agama, semua pesan dan ajaran agama harus disampaikan, tidak dipilih-pilih dan tidak diarahkan.
Soal relevansi dengan kondisi bangsa dan masyarakat, ulama sendiri bisa menjelaskan itu secara cerdas dan masuk akal sehingga belum ditegakkannya sebagian ajaran Islam bisa difahami dengan enak, logis, rasional dan bijak oleh masyarakat.
Masyarakat sekarang sudah cerdas. Era global, keterbukaan, era teknologi informasi dan media sosial telah mentransformasikan masyarakat kepada akses pengetahuan yang terbuka, kritis dan tanpa batas, tak lagi ada yang bisa disembunyikan.
Pemerintah niatnya baik, menertibkan dakwah agar tidak kontra produktif dan tidak tumbuh kecenderungan radikalisme di masyarakat, tapi mengarahkan pengetahuan masyarakat di era informasi dan media sosial bukan hal yang mudah.
Alam pikiran, cita-cita, kehendak, psikologi umat dan faham keagamaan masyarakat tak sesederhana atau tak sesimpel pemerintah menginginkannya. Misalnya, Ust. Abdul Somad digemari masyarakat tapi tak disukai pemerintah, siapa akhirnya yang akan menuai pandangan negatif dan kecurigaan dari masyarakat luas? Rekomendasi mubaligh niatnya baik tapi bisa jadi blunder bagi pemerintah sendiri.
Apalagi bila masyarakat menangkap rekomendasi itu kaitannya dengan dengan situasi politik mutakhir, akan sulit diterima oleh masyarakat. Penggorengan isu sudah pasti terjadi seperti yang sekarang sudah ramai di media sosial.
Yang akan semakin melemahkan pemerintah adalah pandangan, walaupun tidak persis, kebijakan ini dirasakan sebagai kesamaan dengan pemerintah kolonial yang mengawasi para kyai, guru ngaji dan para haji pada abad ke-19 karena mereka kritis pada pemerintah kolonial bahkan rata-rata menjadi pemimpin pemberontakan, yang dulu oleh kompeni disebut pemberontak tapi kini oleh kita disebut pejuang dan pahlawan.
Bangsa Muslim terbesar dengan keragaman etnis, madzhab, organisasi dan paham keagamaan ini memang memerlukan penanganan yang cerdas dan bijaksana mengelola keragaman dan perbedaan orientasi keagamaan di masyarakat supaya tidak kontra produktif.
Salah urus akan bermasalah dan bahkan mungkin fatal kedepannya. Bisa jadi, pemerintah yang niatnya baik malah jangan-jangan justru menjadi penyumbang keruwetan masalah berbangsa selama ini karena satu soal: Salah kelola umat yg sangat plural ini.
Langkah pemerintah itu, menurut saya, sebaiknya dihentikan sebelum berkembang menjadi lebih buruk bagi bangsa dan negara ini ke depan. Ganti cara untuk mengatasi tren radikalisme yang lebih cerdas, adil dan bijaksana dengan mengundang berbagai tokoh masyarakat, jangan lupa, termasuk saya hehehe ... piss ah.
Wallahu alam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews