Arus Industry 4.0 Tak Terbendung, Kita Harus Siapkan Apa Saja? (2)

Rabu, 6 Juni 2018 | 05:44 WIB
0
683
Arus Industry 4.0 Tak Terbendung, Kita Harus Siapkan Apa Saja? (2)

Bahkan bangsa kitalah yang pertama mempopulerkan trend warung internet, di mana yang disajikan bukan lagi makanan dan minuman, namun koneksi internet. Sementara mi instan dan kopi susu sekedar jadi menu pendamping bagi pengguna Happy Hour yang kelaparan. Bayangkan, jualan utamanya adalah data ke dunia luar tanpa batas, sementara makanan dan minuman hanya sampingan untuk menambah kocek rezeki!

Setelah konsep Warnet populer di Indonesia, barulah dunia ikut-ikutan mempopulerkan istilah Cyber Cafe. Namun mereka tetap tidak bisa menandingi semangat mendirikan bisnis keterbukaan informasi murah meriah di kios reot, lembab, dan minim penerangan di tengah-tengah perkampungan kumuh dan padat. Indonesialah yang punya cerita itu, bukan Amerika Serikat, Jerman, apalagi Jepang yang sering dianggap pemimpin teknologi dunia.

Booming game online juga salah satunya berawal dari Indonesia. Jauh sebelum anak-anak remaja tanggung China tergila-gila dengan game online, kita sudah meramaikan Nexia, Ragnarok Online, Rising Force, dan lainnya. Saat itulah kita jadi bisa menerima konsep bahwa transaksi di internet tidak harus dalam bentuk menjual barang fisik.

Kepemilikan atas akun, karakter, senjata dan equipment in-game, bahkan jasa menaikkan level menjadi populer. Padahal mereka semua tahu bahwa seluruh kepemilikan atas username, equipment, mata uang virtual di game adalah milik mutlak perusahaan penyedia jasa layanan game online.

Hacker kita bagaimana? Hacker Indonesia termasuk yang dihormati oleh dunia utak-atik informasi seluruh dunia. Siapa yang tidak kenal Jim Geovedi yang dalam hitungan detik bisa bikin China kocar kacir karena satelitnya diisengi sehingga lari jauh dari orbitnya?

Bayangkan saat terjadi perang cyber, malah kita yang punya kemampuan merontokkan pertahanan cyber mereka. 

Ide bitcoin, ride sharing, informasi bebas seperti Wikipedia, juga dengan cepat diterima pengguna internet Indonesia, jauh sebelum pemerintah sebagai regulator memiliki gagasan untuk mengaturnya. Saat dunia baru mulai tergila-gila dengan layanan Uber, Grab, Lyft, Gett, Juno, kita Nadiem Makarim sudah lebih dulu mempopulerkan Gojek!

Bahkan kita ikut mempopulerkan pengembangan ridesharing menjadi layanan pesan antar makanan dan barang melalui Gofood dan Gosend. Barulah setelah ramai dan dirasakan lebih profitable dibanding layanan antar jemput orang, aplikasi lain ikut-ikutan.

Saat dunia masih sibuk dengan perang bunuh membunuh ride sharing berbayar, kita sudah duluan bikin pengembangan lain, ride sharing dengan semangat tak perlu bayar kalau sekedar numpang, namanya nebengers.

Ternyata aplikasi luar malah jadi followernya aplikasi anak bangsa!

Di sisi lain, Wikipedia Bahasa Indonesia, misalnya, adalah 20 besar Wikipedia dalam bahasa non Inggris terbesar yang pernah ada. Kualitas depth (kedalaman) artikel Wikipedia Bahasa Indonesia mampu menyaingi bahasa-bahasa yang dianggap sumbernya jenius dunia, misalnya Russia, Portugis, dan Serbia.

Bahkan kita mampu melebihi Wikipedia Bahasa Jerman, Jepang, Norwegia, Belanda, dan Swedia. Ini memperlihatkan potensi besar bahwa sebenarnya diam-diam kita ini penuh dengan intelektual yang senang berbagi informasi bebas dan gratis.

Bangsa lain masih meributkan apakah voting digital di Pemilu berpotensi memunculkan kecurangan dan breaching security atau tidak, kita sudah duluan mewujudkan ide mengawasi rekapitulasi suara bersama-sama dengan nama KawalPemilu yang digawangi relawan bernama Ainun Najieb.

Inilah kehebatan luar biasa Indonesia, gudangnya semangat sharing. Kita penuh bakat-bakat yang selama ini sulit diukur dari nilai komersialnya. Sekarang PR kita adalah mewujudkan bakat-bakat itu menjadi sebuah percepatan ekonomi. Melaju kencang dengan sharing economy. Menuju Industry 4.0 dengan semangat berbagi resource, bukan memonopoli.

Bagi saya, tantangan kita sebenarnya bukanlah infrastruktur. Karena kita beruntung sudah memiliki satu set kepemimpinan yang mengerti pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur, mulai dari Presiden, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perindustrian, Menteri Komunikasi dan Informatika, bahkan Menteri Pertanian dan Menteri Perikanan dan Kelautannya saja mengerti pentingnya pengembangan aplikasi dan produk teknologi informasi lainnya untuk menggenjot nilai ekonomi kita.

Bahkan pengawasan kebakaran lahan saja sudah bisa diakses dari rumah masing-masing, lapor langsung ke Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar kalau melihat hostpot pertama kali. Ketemu penyelundup dan pencuri ikan di tengah laut? Laporkan langsung ke Bu Susi Pudjiastuti. Pasti ditanggapi.

Problemnya bukan lagi di infrastruktur dan pemerintahan. Bukan pula di modal kepintaran. Indonesia tidak kekurangan jenius. Hanya saja banyak dari mereka yang belum kita berikan pengakuan. Semua masih bergerak sendiri-sendiri, belum menyatu dalam sebuah kekuatan besar.  

Belum cukup banyak usaha untuk anak-anak cerdas penular semangat Do It Yourself ini dengan angel investor, misalnya. Belum banyak perusahaan mapan yang mampu menghargai penampilan mereka yang slengekan. Ekonomi kita masih banyak dikuasai generasi baby boomers, sehingga gaya manajemennya pun masih ala tahun 70-80an.

Jika Indonesia ingin berubah dan mampu menunggangi arus revolusi industry 4.0 maka kita harus berani mengubah mindset. Pertama kita harus memberantas kebiasaan cengeng, mengeluh, menyalahkan pemerintah, koruptif, dan diskriminatif-rasis.

Tidak ada tempat bagi orang-orang seperti itu dalam dunia Industry 4.0. Mereka yang ingin menunggangi arus Industry 4.0 harus berhenti meributkan agama orang lain apa dan mulai berpikir bagaimana caranya menang dalam perlombaan mendarat ke Mars pertama kali.

***

Kartika Djoemadi

Tulisan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/06/02/arus-industry-4-0-tak-terbendung-kita-harus-siapkan-apa-saja-1/