"Jangan percaya begitu saja dengan keterangan dari pemerintah. Telusuri fakta-faktanya. Jika perlu buat liputan investigasi."
Itulah adagium jurnalistik. Ada kemanusiaan dan ada hukum. Terutama kasus yang menyangkut nyawa manusia. Tak terkecuali kasus yang menimpa terduga teroris.
Kritis terhadap berita-berita terorisme yang bertebaran di media massa, bukan berarti bersimpati terhadap teroris. Teroris harus ditumpas, ya! Yang tidak setuju jika teroris tidak ditumpas melainkan diternak, sehingga berkembang biak.
Jika jumlah teroris semakin banyak, sementara dana APBN untuk pemberantasan teroris juga ditambah terus, lalu apa evaluasinya? Dana deradikalisasi semakin bertambah, tetapi teroris juga makin bertambah. Piye toh, Mas?
Sebagai jurnalis, tentu kita bisa mencari sudut pandang lain dari kasus terorisme. Misalnya imam masjid Polda Riau yang justru jadi korban tewas kebiadaban peristiwa terorisme di Pekanbaru.
Tetapi mengangkat sisi human interest keluarga terduga teroris juga bisa menguras air mata kita. Istri maupun anak-anak terduga teroris pun menjadi korban dari kasus tersebut.
Sekitar 1999 atau 2000, saya pernah membuat tulisan investigasi kasus pembajakan pesawat terbang Garuda 'Woyla' yang dilakukan kelompok Komando Jihad pada 1981. Dalam kasus pembebasan sandera yang dilakukan
Kopassus di bandara Don Muang, Thailand itu disebutkan lima teroris ditembak mati, yakni: Machrizal, Zulfikar, Wendy M Zein, Abu Sofyan dan Imronsyah.
Pembebasan sandera ini tentu membuat saya kagum dan bangga dengan TNI, khususnya Kopassus yang saat itu masih menggunakan nama Kopasandha. Kekaguman terhadap pasukan anti-teror TNI tersebut tak terbantahkan. Bahkan pasukan anti-teror terbaik di dunia saat ini bukan dari Amerika, Rusia, Inggris, Jerman maupun Israel. Melainkan pasukan anti-teror Indonesia, Kopassus.
Namun bukan itu yang saya telusuri. Saya merujuk pada pertanyaan wartawan investigasi Panda Nababan di Bangkok. Kepada pimpinan TNI yang membawa pasukan Gultor Kopassus Letjen Benny Moerdani, Panda Nababan menanyakan berapa sesungguhnya pembajak yang tewas ditembak mati?
Panda tidak percaya begitu saja dengan keterangan pemerintah. Dampaknya, ia ditampar Benny Moerdani. Bahkan hampir dikeroyok anggota TNI. Cerita ini berdasarkan pengakuan Putra Nababan, anak dari Panda Nababan kepada saya tentang hal yang dialami ayahnya pada 1981. Putra Nababan bersama saya sebagai wartawan politik koran Merdeka.
Sedangkan Panda Nababan wartawan senior koran Sinar Harapan. Ia menjadi wartawan Indonesia yang berhasil menyusup ke bandara Don Muang, Bangkok saat peristiwa pembajakan pesawat tersebut.
Bagi saya itu kunci untuk terus menelusuri berita tersebut. Sebagai redaktur politik tabloid Demokrasi, saya telusuri sumber-sumber dari bekas kelompok Komando Jihad. Saat itu mereka berafiliasi ke Libya. Saya juga investigasi ke keluarga pembajak dan lain-lain selama dua pekan. Hasil invesitigasi yang top screet hanya saya beritahukan kepada redaktur pelaksana Hersubeno Arief.
[caption id="attachment_15754" align="alignright" width="472"] Benny Moerdani (Foto: Tempo)[/caption]
Hasil investigative reporting, ternyata hanya empat pembajak yang tewas dan satu orang diduga masih hidup. Ini misteri yang harus dibongkar. Saya pun menelusuri ke pemakaman umum melihat data tahun 1981. Maaf, saya tidak sebutkan nama yang diduga masih hidup tersebut dan menggunakan identitas baru . Ia kemudian dijadikan agen intelijen pemerintah Orde Baru. Dibuat seolah-olah sudah mati dan dimakamkan di TPU.
Buntut dari berita investigasi tersebut, hampir setiap hari saya menerima teror dan didatangi tamu-tamu tidak jelas di kantor. Akhirnya saya buang nomor hp saya dan ganti dengan nomor baru. Untuk sementara saya pun mondok di kantor. Karena hal-hal yang tidak perlu saya ceritakan.
Janda dari pembajak pesawat yang diduga masih hidup itu pun datang ke kantor dan menangis histeris. Tetapi saya tidak bersedia menemuinya dengan alasan keselamatan saya. Sebab di parkiran kantor banyak orang tidak jelas.
Seorang pejabat tinggi negara berkualifikasi intelijen pun mengirim pesan lewat utusannya supaya saya menghentikan investigasi kasus ini demi kepentingan negara.
Saya katakan kepada utusan sang jenderal bahwa saya tidak akan mengkhianati negara ini. Saya setuju terorisme diberantas, tetapi kalau rekayasa yang mengorbankan warga negara tidak berdosa, saya tolak. Sang jenderal setuju dan memberikan informasi background tujuan dari operasi intelijen pada 1981 tersebut, termasuk ancaman nyata yang membahayakan negara.
Wartawan tentu harus punya empati yang tinggi terhadap kasus-kasus hilangnya nyawa seseorang. Bukankah aparat negara dalam beberapa kasus juga salah melakukan penangkapan. Bahkan korban salah tangkap pun mati saat dalam pemeriksaan di kantor kepolisian. Jadi daya kritis bukan berarti simpati terhadap teroris.
Yang tidak setuju jika terorisme ini dijadikan proyek. Proyek yang mengorbankan jiwa aparat negara maupun masyarakat. Kita jaga kewarasan bersama dalam melihat kasus-kasus yang mengoyak sendi-sendi kemanusiaan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews