Emansipasi Kartini Sebagai Emansipasi Kebangsaan

Rabu, 25 April 2018 | 12:41 WIB
0
1037
Emansipasi Kartini Sebagai Emansipasi Kebangsaan

Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia no 108 tahun 1964. Dalam keputusan tersebut Presiden Soekarno menetapkan R.A Kartini sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Salah satu hal yang menjadi topik hangat untuk diperbincangan menjelang Hari Kartini selain kebaya dan parade adalah pertanyaan mengapa harus Kartini? Atau mengapa Hari Kartini saja yang diperingati? Bukankah Indonesia punya banyak pahlawan wanita yang berjasa di tanah air seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutiah, Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu, dan yang lainnya?

Betul, Indonesia punya banyak sekali pahlawan wanita yang patut dihormati, dikenang, dan diteladani perjuangannya. Mereka berjuang dengan mengangkat senjata, melalui pendidikan, dan yang lainnya. Sedangkan Kartini, dalam tulisannya tidak terlihat tekad Kartini untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia atau daerahnya dari penjajahan Belanda saat itu.

Apalagi untuk mengangkat senjata. Dalam buku R.A Kartini: Biografi Singkat 1879-1904, penulisnya, Imron Rosyadi, mengatakan bahwa Kartini tidak memiliki tekad yang bulat dan semangat yang kuat untuk memberontak. Hal ini disebabkan karena beliau takut akan melukai hati ayahnya yang merupakan seorang bupati.

Namun, Kartini menuliskan keresahan-keresahan dan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah Belanda, di samping menuliskan tentang cita-citanya untuk pendidikan perempuan, melalui surat yang ditujukan pada sahabat penanya.

Surat-surat Kartini ini, yang diterbitkan pada tahun 1911, menjadi bacaan yang kemudian beredar luas di kalangan pelajar Bumiputera di Belanda. Buku tersebut menuntun pelajar tersebut dalam melihat arah kemajuan masa depan.

Pahlawan wanita seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutiah, Dewi Sartika dan Christina Martha Tiahahu memang bertindak nyata untuk perjuangan kemerdekaan dan pergerakan perempuan, tapi mereka berjuang untuk daerahnya. Dari laporan di Tirto.id, kisah mereka belum melahirkan sebuah kitab yang merangsang pemikiran intelektual kaum terpelajar di Hindia Belanda tentang arti penting perjuangan kolektif dan bagaimana seharusnya masyarakat di masa depan.

Walaupun Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang merupakan perkumpulan kaum terpelajar dari latar belakang beragam etnis, menyebut Kartini sebagai “pemula gerakan emansipasi perempuan Indonesia”, namun secara luas tulisan Kartini dapat menggerakkan pelajar-pelajar melakukan sesuatu untuk kesejahteraan masyarakat Hindia Belanda.

[irp posts="13766" name="Kartini, Pemikiran Tentang Islam dan Otokritik terhadap Agama Sendiri"]

Salah satunya adalah Raden Adjeng Kartini Club, sebuah kelompok pergerakan di bawah pimpinan Douwes Dekker.

Klub ini membahas rencana reformasi birokrasi kolonial dan otonomi Hindia Belanda dari negeri induk. Jelaslah bahwa tulisan Kartini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas pergerakan antikolonial Indonesia walaupun secara fisik Kartini tidak ikut serta.

Sehingga, kurang lengkap rasanya kalau dalam peringatan Hari Kartini, kita dan media hanya membicarakan tentang perempuan yang sukses. Kita seharusnya juga mengangkat cerita tentang orang-orang yang memiliki gagasan untuk selalu bersatu dan berjuang untuk masyarakat luas. Bukan hanya untuk diri dan kelompoknya saja.

***