Membicarakan puisi atau sastra tentu saja lebih banyak mengungkap dimensi khayalan para penulisnya. Mengkhayal, tentu saja bagian yang tak terpisahkan dari dimensi kemanusiaan. Bahkan tanpa disadari, sesungguhnya perbedaan manusia dengan spesies lainnya tak hanya terletak pada akalnya, tetapi karena adanya daya khayal yang senantiasa hadir dan bergerak.
Berkhayal, serupa kegiatan tak berdasar, tanpa pijakan epistemologi yang kuat dan mungkin tak menghasilkan apa-apa, kecuali hanya angan-angan yang membumbung tinggi. Namun demikian, ia memiliki daya kekuatan yang mampu mewujudkan kenyataan. Bukankah tercetusnya ide mobil atau bahkan pesawat sebagai alat transportasi tercepat, awalnya berangkat dari khayalan?
Saya bukanlah pegiat sastra atau puisi, tetapi kadangkala mengagumi dan menikmati beberapa karya puisi yang dibacakan atau mungkin sekadar membacanya sendiri. Saya terkagum-kagum dengan salah satu puisi Abu Nuwas yang khayalannya seolah tampak "pesimis" seperti dalam syairnya: "Tuhanku saya bukanlah ahli surga, tetapi saya rasa-rasanya tak akan sanggup berada dalam neraka-Mu. Maka terimalah taubatku dan ampunilah kesalahanku. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemaaf sebesar apapun dosa yang kuperbuat".
Abu Nuwas adalah seorang tokoh sufi, penyair besar, yang tanpa malu-malu, merendahkan dirinya di hadapan Tuhan, bahkan menyebut dirinya seolah tak pantas menjadi ahli surga. Inilah barangkali cara para sufi menyampaikan khayalannya.
Abu Nuwas melambungkan khayalannya lewat syair-syair yang sedemikian menyentuh, kaya makna, bahkan menginspirasi. Seolah dalam syairnya hendak memberitahukan kepada manusia: janganlah merasa menjadi paling suci, terlebih bangga dengan "berjualan surga" yang tanpa sadar terus dijajakan kepada pihak lain.
Surga seakan telah menjadi "hak milik" dirinya sendiri, sehingga muncul klaim kebenaran soal surga yang tak pantas "disentuh" pihak lainnya. Syair Abu Nuwas ini ---yang dikenal kemudian dengan "Syair Taubat"--- senantiasa dilantunkan menjelang dikumandangkannya azan oleh umat muslim di seluruh dunia.
Lalu, apakah syair ini menyalahi atau melampaui syariat? Tidak, walaupun ada sebagian muslim yang beranggapan membaca syair sebelum azan adalah bid'ah karena disebut tak memiliki dasar dalam berbagai rujukan syariat Islam.
Membahas dunia khayal, akan lebih menarik ketika seorang sastrawan Arab, Ibnu 'Arabi, memaparkannya. Baginya, dunia khayal tak hanya berhubungan dengan kecerdasan akal, tetapi terkait pula dengan kepekaan merasa (dzauq) dan pengalaman inderawi (hissy).
Oleh karena itu, dirinya beranggapan, hanya para nabi saja dan orang pilihan yang mampu menggabungkan daya khayal dan daya nalarnya hingga mencapai titik kulminasi.
[irp posts="13841" name="Makna Sukmawati Cium Tangan Ma'ruf Amin Sampai Dua Kali"]
Menurutnya, tingkat khayalan setiap orang tentu berbeda-beda, ada yang "khayal munfashil" (daya khayal yang berada pada tingkatan ilahiah); dan "khayal muttashil" (daya khayal dalam tingkatan manusiawi). Jadi dapat dipastikan, syair sebagaimana ditulis Abu Nuwas masuk dalam kategori "khayal muttashil", berkait erat dengan dimensi ketuhanan yang mampu ditangkap secara baik oleh nalar dan khayalnya.
Lalu bagaimana menempatkan soal puisi Sukmawati tentang "Ibu Indonesia"?
Sulit rasanya jika menempatkan puisi ini dalam perspektif "dunia khayal" sebagaimana digambarkan Ibnu 'Arabi, meskipun kecenderungan berkhayal pada tataran manusiawi, sedikit dapat dikaitkan. Jika yang dimaksud adalah "khayal munfashil", berarti ada eksistensi yang dihadirkan sebelumnya dalam dunia khayal seseorang, seperti yang kita pahami dari bait-bait puisi Sukmawati.
Eksistensi yang hadir dalam benak penulis puisi ini, tentu saja sesuatu yang menurut dirinya "buruk", menyimpang, dan merusak sendi-sendi keindahan budaya yang kemudian "membandingkannya" dengan eksistensi lainnya yang dalam benaknya adalah sesuatu yang lebih indah dan lebih baik.
Barangkali yang menjadi kegelisahan publik soal puisi ini terletak pada bait "Aku tak tahu syariat Islam. Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan azan mu". Secara tekstual, jelas terjadi persoalan secara tersurat dalam bait-bait ini, terutama ketika membandingkan kata "azan" dengan "kidung".
Membandingkan keduanya tentu saja tak sepadan, mengingat "azan" berkonotasi "panggilan" atau"seruan"dan kidung lebih banyak dipahami sebagai "nyanyian", "lagu" atau "puisi" yang dilagukan.Terdapat unsur kesengajaan dalam bait puisi ini yang sedianya mengkritik perihal kebiasaan dalam agama tertentu, tetapi tidak pada tempatnya. Terdapat "kekacauan sastra" yang sangat jelas dengan pemilihan kata yang tidak tepat, terlebih membandingkannya dengan kata lain yang sebenarnya tak ada kaitannya sama sekali.
Bagi saya, dimensi khayal yang terwakili dalam puisi "Ibu Indonesia" karya Sukmawati lebih dekat pada nuansa "takhayyul" di mana ada upaya menciptakan suatu gambaran dan merekonstruksinya kembali. Kita tentu paham, bahwa konsep takhayul dalam perspektif masyarakat lebih condong pada konteks penyempitan makna, bahkan bisa dimaksudkan sebagai sesuatu yang tak terjadi di dunia nyata, bisa berupa mitos, kepercayaan atau misteri.
[irp posts="13849" name="Orang-orang Gila Kasus, Beda antara Sukmawati dan Gus Nur"]
Sama halnya ketika makna "azan" direduksi sebagai "nyanyian" yang tak enak didengar atau pemaknaan "syariat Islam" terderivasi menyempit pemaknaannya, hanya pada persoalan "cadar". Lebih jauh, puisi ini seperti menggambarkan proses kolaborasi penulisnya dengan inderawinya sendiri yang dalam beberapa kasus, memiliki serangkaian kontak pribadi yang tak mengenakkan dirinya dengan sekelompok umat agama tertentu.
Syair yang memiliki kekuatan daya imajinasi dan kekuatan daya khayal (quwwatu al-khayyal), tentu akan membuat siapapun yang mendengarnya terbawa dalam alunan gerak dunia khayalnya sendiri, menyatu dalam kepribadiannya, ikut menikmati secara pasti bait demi baitnya dan tentu saja sanggup menenangkan. Itulah kekuatan daya nalar dan daya khayal yang dipadukan, persis seperti bait syair yang ditulis Abu Nuwas dalam "Syair Taubat" nya yang terkenal.
Ajang kebudayaan Indonesia dalam tema besar Fashion Week 2018, memang seharusnya lebih dapat memberikan nuansa estetika sekaligus etika dalam balutan ragam "busana", tanpa membandingkan atau membedakan apalagi merendahkan budaya lainnya.
Pun ketika dibacakan puisi di dalamnya, maka keterpaduan nalar-khayal menjadi perlu, agar puisi tak sekadar khayalan terlebih bualan. Karena takhayul dalam puisi hanya merekonstruksi dunia mitos, kepercayaan, atau misteri, tanpa pijakan pada kekuatan daya nalar yang pasti.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews