Bahasa Cinta Sang Presiden dan Yusril yang Lebih Pintar dari Jokowi

Sabtu, 7 April 2018 | 08:15 WIB
0
1191
Bahasa Cinta Sang Presiden dan Yusril yang Lebih Pintar dari Jokowi

Ketika Pak Jokowi menjabat sebagai Walikota Solo, dia terlibat silang pendapat dengan Gubernur Jateng Bibit Waluyo. Ada aset Propinsi di Solo berupa gedung kesenian. Di sana biasa mangkal para seniman rakyat. Tapi rupanya Bibit ingin aset itu diberdayakan lebih produktif. Dia ingin membangun pusat perbelanjaan.

Jokowi sebagai Walikota tidak setuju dengan rencana itu. Meski aset tersebut milik Pemda Jateng, tetap saja pendirian pusat perbelanjaan harus dapat ijin dari Walikota. Ketidaksetujuan itu beralasan. Pusat perbelanjaan mewah yang berdiri terlalu banyak, dapat mematikan usaha kecil. Sementara Solo ekonomi Solo selama ini digerakkan oleh para pengusaha kecil.

Jokowi memang dengan telaten melakukan pembenahan pada para pedagang kakilima Solo. Meskipun didesak, Jokowi keukeuh tidak mau memberi ijin didirikannya mall di lokasi itu.

Perdebatan ini agak panas, apalagi ketika pada sebuah kesempatan Gubernur Bibit menuding Jokowi dengan sebutan, "Walikota bodoh," ujarnya kepada pers. Kontan tudingan itu membuat panas. Masyarakat yang memang pro kontra dengan rencana Bibit, menanti apa reaksi Jokowi ketika dituding sebagai bodoh.

Apa respon Jokowi waktu itu. "Iya, saya memang bodoh," ujarnya santai. Seperti tidak mau menanggapi. Tapi, meski merendah, Jokowi tetap tidak berubah. Sampai sekarang, mall yang direncanakan tidak juga berdiri di Solo.

Jawaban Jokowi, seperti menyudahi perdebatan. Kata orang bijak, rendahkanlah dirimu sampai orang lain tidak bisa lagi merendahkanmu. Apalagi yang mau ditudingkan kepada Jokowi, ketika perkataan bodoh dijawab dengan, "Iya, saya memang bodoh."

Jokowi memang membangun Solo dari keringat rakyat kecil. Pada waktu menjabat Walikota Solo 2006, dia bermaksud memindahkan ribuan pedagang kaki lima yang biasa mangkal di sekitar Monumen Banjarsari ke Pasar Klitikan Notohardjo. Tentu saja, sebagaimana PKL, mereka awalnya skeptis dengan langkah itu. Alasannya apalagi jika bukan kekhawatiran ditinggalkan pembeli.

Tapi sebagai Walikota Jokowi tidak mentang-mentang main gusur. Puluhan kali para pedagang itu diajak makan bersama. Diundang ke rumah dinas. Diajak bicara dari hati ke hati. Semua perspektif dan kepentingan dibicarakan dengan tuntas dan terbuka.

Pembicaraan yang alot dan kesabaran menghadapi rakyat kecil dengan segala kepentingannya, berbuah hasil. Para pedagang setuju dipindahkan lokasi usahanya.

Lalu prosesi perpindahan itu dibuat gebyar. Ada arak-arakan ketika ribuan PKL mendorong sendiri barang dagangannya untuk dipindahkan. Tidak ada kekerasan. Tidak ada yang merasa tergusur. Ada pentas kebudayaan yang mengiringi pedagang. Masyarakat Solo terlibat dalam prosesi paling menarik itu. Sekaligus juga sebagai promosi lokasi kaki lima baru yang lebih tertata.

Semua gembira. Semua senang. Tidak ada kepentingan yang diabaikan.

 

Bahasa Jokowi mendekati pedagang adalah bahasa rakyat. Bahasa orang-orang kecil yang mudah dimengerti. Dia mampu melakukan pendekatan yang manusiawi dan sabar, karena Jokowi sendiri lahir dari masyarakat biasa. Dia dibesarkan di perkampungan pinggir kali di Solo. Dia akrab dengan keluh kesah rakyatnya. Jadi ketika berdialog bahasanya nyambung.

 

Meski menjabat Walikota dan berhak melakukan penataan pada kotanya, Jokowi tidak mentang-mentang. Dia yakin, justru dengan dipindahkan para pedagang itu akan mendapat manfaat lebih. Kini, kabarnya, sebagian pedagang yang dipindahkan itu, sudah menjadi saudagar. "Pasar Klitikan adalah prestasi Pak Jokowi yang memberikan berkah pada usaha kami," ujar Eddy Sarnyoto, ketua pedagang pasar Klitikan.

Kemampuan memahami bahasa rakyat memang ciri khas Jokowi. Coba saja lihat ungkapan ibu seorang pedagang gorengan di Madiun ketika Jokowi berkesempatan berdialog. "Saya kesini, sebetulnya mau minta bantuan Pak Presiden. Saya membutuhkan kompor yang apinya bisa howos-howos, seperti tukang mie ayam itu lho pak," ujarnya.

Kompor yang apinya bisaKemampuan memahami bahasa rakyat memang ciri khas Jokowi? Presiden dan hadirin menanggapinya dengan tertawa lepas. Betapa sederhananya bahasa rakyat. Bahkan untuk sekadar membicarakan tentang kompor gas.

Bahasa-bahasa sederhana seperti itu yang setiap hari kita saksikan dalam dialog Presiden dengan rakyatnya. Bahasa yang membumi. Bahasa yang mengungkapkan realita. Bukan bungkus yang memanipulasi kenyataan.

Selama ini sering kita lihat ada pejabat ngomong di hadapan rakyat dengan bahasanya sendiri. Berbusa-busa dan melangit. Pendengarnya malah menguap karena bosan. Atau sibuk ber-selfie ria. Kenapa? Karena yang disampaikan berbeda dengan apa yang ingin didengar rakyat. Pejabat itu bicara tentang kepentingannya. Sementara rakyat juga punya kepentingan sendiri. Jadinya gak nyambung. Ada gap diantara mereka.

Jokowi berbeda. Di setiap kesempatan dia memilih berdialog dengan bahasa rakyat. Bicara tentang kepentingan rakyat bukan hanya kepentingan pemerintah. Orang bisa bicara bebas menyampaikan keinginannya tanpa takut. Bahkan anak-anak bisa berekspresi lepas di depan Presiden.

Kemampuan komunikasi Jokowi dengan bahasa sederhana dan otentik di hadapan rakyat justru menandakan kecerdasannya. Ketika berbicara, meski dengan retorika yang tidak seindah para ahli pidato, mampu berbicara dengan hatinya. Saat berbicara Jokowi mampu menyatukan emosinya dengan pendengarnya. "Setuatu yang berasal dari hati akan sampai ke hati, begitu kata pepatah.

Puncak kemampuannya bisa dilihat ketika Presiden menghadiri perayaan hari anak. Di hadapan ratusan anak usia SD, dia mampu membangun komunikasi yang sehat dan dialogis. Jokowi memilih menceritakan dongeng ketimbang menebar nasihat yang membosankan.

Anak-anak antusias mendengar dengeng yang dibawakan dengan kocak. Mereka merespon dengan tertawa bersama. Saling celetuk dan kata-kata lucu berkompatan dari mulut mereka. Lalu setiap anak pulang ke rumahnya dengan membawa kenangan berdialog dengan pemimpinnya.

Kemampuan berbahasa seperti itu, karena kemauan Jokowi untuk mendengarkan. Juga karena kemampuannya memahami pendengarnya. Kemauan untuk mendengarkan inilah yang jarang dimiliki oleh para pejabat kita. Kebanyakan mereka lebih suka menggunakan mulutnya ketimbang memanfaatkan telinganya.

Kemampuan mendengarkan juga didasari sikap rendah hati. Menganggap orang lain penting hingga patut didengarkan pendapatannya, direspon dan dimanusiakan. Meskipun di hadapannya hanya seorang ibu sederhana penjual gorengan. Tapi ibu itu adalah bagian dari rakyatnya. Mereka yang meletakkan harapan di tangan para pemimpinnya.

Ketika berdialog dengan rakyat kecil, Jokowi mendekatinya dengan bahasa cinta. Bahasa yang apa adanya dan otentik. Membicarakan soal-soal yang real. Bukan bahasa yang dibungkus slogan-slogan besar. Bukan bahasa yang bertaburan istilah ilmiah yang justru membuat jidat pendengarnya berkerut.

Telinga para tokoh yang sok jago dan sok pintar, mungkin akan gatel mendengar ungkapan-ungkapan sederhana keluar dari mulut Presiden. Lalu mereka menunjukan egonya dengan menuding "Presiden Goblok". Itu yang disampaikan Yusril Ihza Mahendra beberapa waktu lalu.

Yusril merasa lebih hebat dari Jokowi. Merasa lebih jago berbahasa ilmiah. Merasa lebih canggih memainkan retorika sehingga kelihatan hebat. Hasilnya? PBB partai yang dipimpinnya tidak lolos elektoral treshold. Mungkin karena elitnya merasa lebih cerdas dari rakyat. Mungkin karena tidak ada kerendahatian ketika menyampaikan pendapat. Mungkin juga karena memang sesungguhnya mereka tidak mengerti bahasa rakyat.

Jika kemudian rakyat ogah memilihnya, karena memang kebodohannya sendiri dalam mengenali rakyat. Bahasa yang tinggi hati adalah cara komunikasi yang paling buruk. Pesan yang disampaikan dengan perasaan pongah hanya menghasilkan ketidaknyamanan dan jarak. Itu menandakan rendahnya kemampuannya berempati.

Kata Einstein, kejeniusan seseorang justru ketika dia mampu menyederhanakan hal-hal yang rumit. Kemampuan Jokowi berdialog dengan semua kalangan dengan bahasa yang cair dan otentik menandakan justru kejeniusannya dalam berkomunikasi.

Didasari dengan sikap rendah hati, Jokowi mampu berdialog dengan bahasa cinta.

Bahasa cinta itulah yang tidak dimiliki Yusril atau Bibit. Juga Prabowo yang menuding elit kita goblok. Makanya yang keluar dari mulutnya kata-kata kasar, sok jago dan banal.

***

Editor: Pepih Nugraha