PSI, “Political Linkage”, dan Soal Kandidat Cawapres Jokowi

Senin, 26 Maret 2018 | 15:35 WIB
0
686
PSI, “Political Linkage”, dan Soal Kandidat Cawapres Jokowi

Sebuah partai baru yang belum pernah sama sekali memiliki pengalaman dalam proses pemilu, namun memiliki serangkaian “hubungan politik” (political linkage) yang dinilai cukup kuat dengan banyak pihak adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Parpol yang baru saja lolos menjadi peserta pemilu 2019 ini, sepertinya melesat cepat membangun citra politiknya ditengah semakin dekatnya ajang kontestasi politik nasional.

Di saat parpol lain yang lebih “senior” masih melakukan penjajakan soal kandidat capres atau cawapres untuk Pilpres mendatang, PSI sudah lebih dulu mengklaim menjadi pendukung Jokowi dan bahkan kemudian menyodorkan nama-nama kandidat cawapres yang layak mendampingi Jokowi pada Pilpres mendatang.

Tidak berlebihan, jika saya katakan PSI membangun isu berdasarkan kontekstualisasi hubungan antara masyarakat dan para pembuat keputusan politik. Sebagai sebuah “partai penghubung”, PSI tampak berupaya memetakan hubungan-hubungan antara partai-masyarakat-negara yang secara umum membentuk sebuah ide dalam hal sosialisasi, komunikasi, dan juga rekruitmen.

Ide tersebut mewujud dalam bentuk nama-nama kandidat cawapres Jokowi, bahkan juga formasi kabinet untuk era pemerintahan berikutnya, sebagai bagian dari contoh nyata pola “linkage” yang telah terbangun sejauh ini. Kerekatan hubungan “khusus” PSI dengan struktur pemerintahan (para pembuat keputusan politik) justru akan memperkuat, soal bagaimana pemrosesan tuntutan-tuntutan (processing on demand) tersebut dapat dipenuhi oleh para pembuat kebijakan.

Lalu, kenapa PSI hakul yakin bahwa Jokowi akan kembali memimpin Indonesia dua periode jika tidak didasarkan oleh berbagai hubungan “khusus” dengan negara? Fungsi partai memang ada yang didasarkan atas berbagai pola hubungan dan—dengan meminjam istilah Kirchheimer—salah satunya berfungsi menjadi “tranmission belt” atau “relay” antara masyarakat dan struktur pemerintahan.

[irp posts="11990" name="Kritik atas Kritik, Raja Juli Antoni Good Boy" Baru Kekuasaan"]

PSI tampaknya menjaring aspirasi dari masyarakat melalui pemanfaatan media sosial, dan melakukan rekruitmen nama-nama kandidat cawapres pendamping Jokowi, sehingga para penentu keputusan politik yang “se-ideologis” akan lebih mudah menjajakinya.

Formasi kabinet yang disodorkanpun, tampak dibuat seberimbang mungkin, antara profesional, tokoh masyarakat, dan politisi yang sejauh ini kerap menjadi isu politik yang cenderung menguat dalam benak publik.

Bicara politik dan peluangnya, tentu saja selalu berangkat dari soal bagaimana “seni kemungkinan” (the art of possibilities) itu dipetakan, termasuk keyakinan politik PSI yang menilai Jokowi memiliki peluang paling besar kemungkinannya untuk kembali memimpin Indonesia. Itulah sebabnya, PSI tanpa ragu, membuat formasi kabinet versi mereka, sekaligus menyodorkan nama cawapres yang paling layak mendampingi Jokowi.

Keberadaan PSI dinilai sulit—jika tidak menjadi “partai penghubung”—berpengaruh besar dalam parpol koalisi, kecuali jika didahului dengan upaya membangun berbagai koneksi secara kuat, melalui fungsi penghubung yang coba diciptakannya.

Ada hal lain yang menarik bagi saya dari deretan nama kandidat cawapres versi PSI yang berjumlah 12 orang. Terdapat tiga nama tokoh berlatarbelakang NU, tetapi hanya satu kandidat yang tampak menjadi representasi kekuatan politik Muhammadiyah. Tiga tokoh NU tersebut adalah Said Aqil Siradj, Yahya Cholil Qoumas, dan Mahfud MD. Nama kandidat cawapres versi PSI yang berasal dari kalangan Muhammadiyah adalah Dien Syamsudin.

Entah apakah penjaringan nama-nama ini karena ketokohan mereka yang begitu mencolok di jaringan media sosial karena beragam pemberitaan yang sedemikian massif dilekatkan kepada mereka ataukah ada hal lain.

[irp posts="13222" name="Salah Satu Komedi di Panggung Politik Itu saat PSI Ngelunjak" Cak Imin"]

Memang, melihat pada pola rekruitmen berdasarkan kenyataan media sosial, nama-nama tokoh masyarakat yang terjaring PSI untuk dijadikan kandidat cawapres Jokowi, tampak sebagai figur-figur yang selalu ramai dibicarakan. Tokoh berlatarbelakang NU tampaknya mendominasi, karena memang di tahun politik ini, NU sepertinya menjadi kekuatan ormas Islam yang cenderung “akomodatif” terhadap pemerintahan Jokowi.

Lain halnya dengan Muhammadiyah, yang sesekali tampak “kritis” bahkan cenderung “netral” dibanding NU dalam soal sikap politik. Itulah sebabnya, karena NU tampak berperan besar dalam hal dukungan kepada pemerintah, maka wajar jika tokoh nahdliyyin justru muncul lebih banyak dibanding tokoh-tokoh lainnya.

Bukan tidak menutup kemungkinan, bahwa figur berpengaruh di tubuh PSI, Raja Juli Antoni, adalah aktivis Muhammadiyah sebelumnya, tetapi lebih banyak “berseberangan” dengan organisasinya sendiri. Munculnya “fatwa haram” memilih PSI yang diunggah oleh salah satu website yang dikelola kader muda Muhammadiyah tampak menunjukkan ke arah itu.

Menariknya, beberapa hari setelah unggahan di laman media sosial soal fatwa tersebut, kemudian PSI merilis beberapa kandidat cawapres Jokowi yang menempatkan tiga tokoh dengan latarbelakang NU di dalamnya. Apakah tidak masuknya tokoh Muhammadiyah—selain Din Syamsudin—memiliki kaitan erat dengan munculnya fatwa larangan ini? Wallahu a’lam bisshawab.

Sepertinya pemanfaatan jaringan media sosial lebih memudahkan PSI dalam konteks penjaringan aspirasi politik masyarakat. Ya, karena mungkin lingkup pengguna medsos di Indonesia—menurut  versi APJII saat ini adalah terbesar di Asia mencapai 79.72 persen, mengalahkan Filipina (78 persen), Malaysia (72 persen), dan China (67 persen). Sedemikian lekatnya setiap orang dengan media sosial—meskipun bersifat maya—dijadikan ajang sosialisasi, komunikasi dan sekaligus rektuitmen para kandidat oleh PSI secara nyata.

Tidak ada yang salah dalam proses rekruitmen berdasarkan kenyataan media sosial, namun itulah bagian dari pola “political linkage” yang terus dibangun PSI, selaras dengan kesadaran dirinya sebagai partai baru yang belum mempunyai pengalaman politik secara nyata dalam dunia kontestasi.

Sebagai partai baru, PSI memang sedang membangun kekuatan “jaringan politik” dan dalam banyak hal memiliki keuntungan tersendiri karena “kedekatannya” dengan struktur kekuasaan. Tampak sekali relasinya dengan kekuasaan dan kekuatan politik lainnya yang menopang kekuasaan, sebagai “partai penghubung” yang berfungsi secara langsung menjaring aspirasi masyarakat, khususnya melalui pemanfaatan media sosial.

Kekuatan PSI dalam jaringan media sosial terkesan lebih kuat dalam hal membangun isu-isu politik yang cenderung mendongkrak popularitas Jokowi. Di sinilah barangkali, fungsi “penghubung” PSI sebagai parpol dengan masyarakat dan negara.

Melalui pemanfaatan jaringan media sosial, PSI menjalin komunikasi, sosialisasi dan rekruitmen yang langsung menyentuh lapisan masyarakat bahkan hingga level rural. Walaupun kental dengan nuansa “kedekatan” dengan struktur kekuasaan, partai baru ini patut diapresiasi sebagai kalangan muda yang siap “mendobrak” kekakuan politik yang sejauh ini didominasi kalangan status quo.

***

Editor: Pepih Nugraha