Jadilah Generasi Alay yang Imut

Minggu, 18 Maret 2018 | 20:41 WIB
0
813
Jadilah Generasi Alay yang Imut

Jika mencermati perilaku anak muda dalam bermedsos sekarang ini, tampak sekali bahwa mereka dominan dengan perilaku komunal sebagai identitasnya. Sebenarnya ini adalah hal yang wajar baik dilihat dari sisi psikologis sebagai usia perkembangan dalam pencarian jati diri, maupun dari sisi lingkungan di dunia yang serba digital ini.

Zaman digital ini sebenarnya telah melahirkan berbagai paradoks. Di satu sisi globalisasi - yang salah satunya melalui teknologi internet- telah membuat dunia menjadi flat dan (seharusnya) homogen, tapi di sisi lain justru menciptakan budaya identitas yang (pastinya) heterogen. Menjamurnya grup-grup WA misalnya, atau grup-grup lain di aplikasi instant message sejenis adalah bukti dari kenyataan ini.

Sehingga, pada saat para anak muda ini tampil di medsos, maka kerap mereka associated dengan komunitas atau identitas komunal yang menjadi afiliasinya. Maka di setiap thread yang bertopik panas, mereka dengan gagah perkasa tampil bergerombol. Sayangnya, yang terjadi adalah histeria keakuan kelompoknya sebagai identitas.

Sebuah kenyataan bahwa pada saat kita berada dalam sebuah komunal, maka kita sebenarnya sudah tidak menjadi pribadi kita lagi, secara psikologi kita sudah menjadi bagian pribadi kolektif yang bisa sangat berbeda dengan pribadi kita sebenarnya.

**

Tulisan ini tidak akan membahas terlalu jauh tentang perilaku komunal atau perilaku pribadi dalam kaitannya dengan kehidupan bermedsos. Penulis hanya sebatas mengajak anak muda untuk memanfaatkan medsos ini sebagai media untuk ‘menjual diri’.

Adik-adikku yang imut…

Bersyukurlah kalian terlahir saat teknologi seperti sekarang ini. Semua serba dimudahkan. Untuk nembak gebetan saja, cara penyampaiannya sudah pasti kalian dilakukan secara digital. Dulu, kakak-kakak dan orang tuamu untuk urusan yang sama harus bersusah payah mencari kertas berwarna dulu yang kemudian disemprot minyak wangi hanya sekedar untuk berkirim kabar ke gebetan. Kalian sih enak, sekarang klik kirim pesan maka dalam hitungan persekian detik pesan itu sudah dibaca oleh sang target. Lah, kami untuk memastikan pesan itu dibaca harus menunggu 3 hari, itu pun kalau perangkonya cukup.

Ok, itu urusan asmara. Bagaimana dengan urusan karier? Ini lain cerita.

Zaman sekarang itu zaman imaji, era pencitraan dan persepsi. Suka tidak suka itu harus kalian bangun lewat media digital. Kita akan mem-follow sebuah akun karena kita melihat ada sesuatu yang lain di akun itu dibanding dengan jutaan akun yang ada. Lakukan hal yang sama oleh kalian supaya kita di-follow orang lain.

Membuat menjadi sesuatu yang lain adalah strategi supaya kalian dikenal dan diperhatikan. Dan memang seperti itulah tujuan sebuah media sosial dibuat. Jangan naif. Permasalahannya adalah kalian punya kuasa penuh untuk menjadi sesuatu yang lain itu apakah ada di wilayah positif atau negatif.

[irp posts="6601" name="Kelemahan dan Keunggulan Generasi Millennial"]

Karena konteksnya adalah bagaimana kalian ‘menjual diri’ di medsos, maka kalian harus memilih di wilayah yang positif. Juallah hal-hal positif yang ada di diri anda di medsos.

Hal yang mungkin kalian tidak tahu atau lupa bahwa zaman sekarang sebuah perusahaan dalam proses assesment karyawannya selalu melihat akun-akun medsos kalian sebagai bagian dari pertimbangannya serta ada bobot tertentu di dalamnya. Ingat selalu itu bagi kalian yang sedang membangun karier.

Beberapa waktu lalu, ada sebuah perusahaan yang terpaksa harus mengeluarkan karyawannya karena konten postingan yang dia unggah 4 tahun sebelumnya. Bayangkan, jejak digital sungguh sangat berbahaya.

Dan sebagai perbandingan tambahan, perusahaan IBM di Amerika bahkan mendorong karyawannya untuk membuat blog pribadi di mana mereka bisa dengan bebas mengekspresikan ide dan pandangannya tentang perusahaannya. Hal yang sama juga dengan perusahaan General Electric yang membentuk Tweet Squad-nya. Mereka lakukan itu karena mereka meyakini bahwa apa yang kita tulis adalah menunjukkan kita yang sebenarnya. Maka menulislah….

**

Ada beberapa cara sederhana bagaimana caranya supaya kalian bisa menjual diri di medsos secara efektif. Cara-cara ini bukan berarti membatasi ruang kreatifitas kalian dengan pembatasan aturan-aturan. Bukan, bukan sama sekali.

[1] Gunakan identitas yang benar.

Orang yang baru mengenal kalian akan susah memberikan kepercayaan kepada kalian kalau untuk urusan identitas saja kalian buat tersamar. Gunakan nama asli pemberian orang tua kalian. Nama kalian itu berkah dan ada doa orang tua di dalamnya.

[2] Isi konten positif.

Hindari posting di medsos ketika kalian sedang marah, kecewa bahkan lapar. Medsos bukanlah tempat ratapan yang tepat. Hanya ada 2 kemungkinan respon orang atas ratapan kalian: dicuekin atau disyukurin dalam hati. Kalau pun ada yang membelai-belai dalam komen dan ikon, percayalah itu adalah ‘jempol service’ saja.

Setelah kalian berada di suasana bahagia, postinglah apa pun yang kalian suka. Kebahagiaan kalian akan terasa dalam postingan kalian itu dan semesta akan menangkapnya. Kebahagiaan anda akan menular.

[3] Selalu relevan.

Ini lebih kepada nilai kejujuran dan orisinalitas. Konten kalian harus mencerminkan diri kalian yang sesungguhnya sebagai pribadi yang menyenangkan. Jangan pula kalian sedang mandi di sungai Cikeas, lalu memposting dan memberi caption seolah-olah sedang di Venesia, Itali. Ah, kalian itu terlalu alay jika demikian.

[4] Hindari menjadi si Jari Kilat

Saat membaca sebuah berita miring, selalu sisakan sedikit sikap skeptis. Ini untuk mencegah kalian menjadi penyebar berita-berita hoax. Tebarkanlah berita dan link yang inspiratif meski tak harus seperti Mario Teguh juga sih. Buat dunia tertawa dan bahagia karena postingan kalian.

Ikuti langkah-langkah sederhana itu. Lalu, perhatikan apa yang terjadi.

Itu.

***

Editor: Pepih Nugraha