Insya Allah Saya Amanah

Senin, 5 Maret 2018 | 06:34 WIB
0
1233
Insya Allah Saya Amanah

Jauh-jauh hari ingin saya ungkapkan, akan tetapi tentu saja menunggu momen yang pas untuk mengatakannya. Saya harus jujur mengutarakannya bahwa panggilan itu tidak serta-merta datang, akan tetapi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum terjadinya ingar-bingar di Komisi Pemberantasan Korupsi yang pernah saya pimpin.

Saya teringat ucapan Pak Jokowi di Balaikota pada pertengahan Maret 2014. Beliau yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI dan masih berstatus calon presiden dari PDI Perjuangan mengatakan bahwa saya yang waktu itu masih memegang jabatan Ketua KPK pantas menjadi Presiden RI. Bahkan sebagaimana yang saya baca di Kompas.com, beliau mengatakan saya sebagai "sangat layak".

Alasan yang beliau kemukakan, saya dinilai sosok muda yang berani dan konsisten dalam memperjuangkan pemberantasan korupsi. Menurut Pak Jokowi, karakter saya itu sulit ditemukan di Indonesia. Uniknya, konteks realitas politik saat itu karena nama saya disebut-sebut menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Saya tahu, saat itu Pak Prabowo menyambut baik usulan yang menilainya tepat bersanding dengan saya.

Kala itu saat ditanya  wartawan saya menegaskan tidak berminat maju dalam bursa pencalonan presiden maupun wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2014 itu. Alasan yang saya kemukakan, bagi saya posisi sebagai Ketua KPK pun sudah cukup.

Di antara Saudara-saudara juga mungkin masih ingat betapa beberapa tahun lalu, menjelang Pilpres 2014 yang mengantarkan Pak Jokowi menjadi Presiden RI itu, media pernah memberitakan pertemuan saya dengannya, sebuah pertemuan yang sungguh tidak direkayasa, terjadi dengan sendirinya karena kebetulan semata.

Rupanya dalam suasana politik yang memanas dengan tensi sangat tinggi, pertemuan apapun bisa dimaknakan sebagai upaya mencari kuasa, apalagi pertemuan dengan seorang calon presiden!

Sudahlah, itu masa lalu. Di depan, terbentang cakrawala Indonesia yang indah dan megah. Selain kedua hal itu, Indonesia negeri kaya raya dengan penduduknya yang terkenal keramah-tamahanannya di dunia.

Sebagai mantan ketua KPK, yang tetap melekat pada diri saya adalah sikap antikorupsi dan semangat memberantas korupsi itu sendiri. Jabatan telah hilang, tetapi prinsip tidak boleh ikut lenyap. Dengan kepakaran yang saya miliki plus pengalaman saya memegang lembaga antirasuah yang disegani itulah saya berbagi pengalaman, berbagi pengetahuan.

Banyak orang, lembaga, maupun institusi yang masih bersedia mengundang saya bicara. Tidak jauh-jauh bicara soal kebangsaan, membangun karakter bangsa, memperkuat mental warga negara, khususnya dari godaan korupsi, karena itu poin krusial yang saya kuasai. Maka dari hasil berkeliling ke berbagai tempat dan perguruan tinggi di seluruh negeri, saya makin mengenal Indonesia, makin mengenal karakter bangsa yang majemuk namun dipersatukan oleh ikatan ideologi dan persatuan yang kuat.

Dalam perjumpaan saya dengan anak-anak bangsa itu, pertemuan saya dengan sejumlah wartawan dari berbagai media tidak terhindarkan. Saya paham dengan cara kerja mereka, salah satunya bagaimana membuat berita yang punya "nilai berita" (news value). Jadi, saya kadang tidak terhindarkan untuk menjawab pertanyaan yang mengarah pada Pilpres 2019. Saya hargai kerja wartawan terutama pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan. Saya harus menjawabnya, bukan karena terpaksa meresponsnya.

Jika kemudian berita yang muncul adalah semacam "sinyal", "sasmita" atau apalah namanya, bahwa saya akan maju di Pemilihan Presiden 2019 mendatang, tidaklah sepenuhnya keliru. Apalagi pertanyaan yang bersifat mengarahkan seperti "Apakah saya akan mendampingi calon presiden sebagai calon wakil presiden" atau "Apakah saya akan menjadi calon presiden", saya harus sesopan mungkin menjawabnya. Diplomatis pun tidak saya perlukan lagi sebab saya bukanlah diplomat atau bahkan politikus.

Atas pertanyaan itu, saya menjawabnya dengan balik bertanya dengan nada retoris apakah para wartawan itu melihat saya pantas mendampingi Presiden. Sampai-sampai pertanyaan retoris terlontar kemudian, "Cocoknya aku jadi ketua RT atau Cawapres?”

Saya mendapat pertanyaan ini usai menghadiri diskusi bertajuk Indonesia "Future Leaders Conference 2018", di Balai Sidang 45 Makassar, Kamis 1 Maret 2018 lalu. Saya tidak bisa menahan tawa tatkala wartawan menjawab pertanyaan tadi bahwa mereka katakan saya cocok menjadi wakil presiden. Saya katakan, jika publik mengatakan saya pantas menjadi cawapres mendampigi Pak Jokowi, saya mengucapkan terima kasih kepada mereka.

“Jadi kalau kamu bilang cocok, saya ucapkan terima kasih kepada masyarakat dan wartawan yang menganggap saya layak,” jawab saya sambil tak lupa mengapresiasi dukungan masyarakat yang luar biasa karena mendukungnya maju di Pilpres mendatang.

Tidak perlu munafik kalau demi perbaikan bangsa dan negara, khususnya dalam penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi, tidak ada kata "tidak" untuk maju. Hanya saja, saya bukan milik saya sendiri. Ada teman, keluarga, dan handai taulan yang mesti saya ajak bicara, terlebih lagi Allah SWT. Kepada-Nya saya shalat Istikharah untuk meminta petunjuk. Jika sudah mendapat petunjuk-Nya, barulah saya menentukan sikap.

Berulang-ulang saya katakan, saya sudah mewakafkan hidup saya untuk bangsa dan negara ini. Kalau takdir menjemput, mana ada mahluk yang bisa menghindarinya, sehingga sebelum takdir itu datang, wajib bagi saya untuk terus berusaha, memberi sumbangsih kepada bangsa dan negara yang saya cintai ini.

Jujur, nama saya sempat masuk radar survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia atau Kedai Kopi. Menurut Mas Hendri Satrio, pendiri Kedai Kopi, nama saya dan beberapa nama lainnya seperti Tuan Guru Bajang, Tito Karnavian, dan Anies Baswedan memiliki peluang meramaikan bursa persaingan di Pilpres 2019. Teman-teman dekat yang tergabung dalam "Sahabat AS" juga sudah membentuk tim "AS for Indonesia".

Begitulah nama yang diberikan. Cukup keren, toh?

***

Editor: Pepih Nugraha