Politik Kebencian dan Dorongan Rasa Keberagamaan Yang Kuat

Minggu, 25 Februari 2018 | 11:22 WIB
0
422
Politik Kebencian dan Dorongan Rasa Keberagamaan Yang Kuat

Istilah “politik kebencian” sesungguhnya adalah dua kata yang saling kontradiktif. Karena “politik” tentu saja memiliki konotasi “seni mempengaruhi atau mengajak” sehingga orang lain terpengaruh dan mau ikut dengan ajakan kita. Mengajak dalam konteks politik tentu saja dengan memberikan keyakinan atas banyak hal yang baik dan positif kepada pihak lain, hampir tak mungkin ada di dalamnya unsur-unsur yang terkait keburukan, karena orang berpolitik pasti akan menunjukkan banyak hal baik agar orang percaya untuk mengikutinya.

Sedangkan “kebencian” sebagaimana disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “perasaan benci” atau “sifat-sifat benci” yang dimiliki seseorang atau kelompok yang tentu saja tujuannya “menolak” bukan “mengajak”. Namun demikian, “mengajak dengan didahului oleh kebencian” tampaknya kian marak belakangan, dengan tentu saja memiliki tujuan-tujuan politis.

Yang paling menyedihkan, politik kebencian lekat dengan nuansa keberagamaan yang tidak “wajar”, di mana agama bukan dipahami menjadi sebuah entitas perekat sosial dengan nuansa kedamaian  didalamnya, namun dijadikan “pemicu” bagi dorongan kebencian pada pihak atau kelompok lain. Ya, dalam khazanah Islam, seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan sikap keberagamaan secara tidak wajar, sama dengan “ghuluw” (bersikap berlebihan yang melampaui batas).

Kata “ghuluw” yang berasal dari akar kata bahasa Arab “ghalaa”, kemudian diadopsi kedalam istilah bahasa Indonesia menjadi “gila” (sikap yang menunjukkan ketidakwarasan berpikir, atau akal sehatnya terganggu). “Kegilaan agama” barangkali akar pemicu dalam dimensi perputaran poros politik kebencian.

Jika memang benar, ketika istilah politik kebencian ini menjadi populer sejak tahun 2017 lalu, dan dikaitkan dengan cara pandang seseorang atau sekelompok orang yang “berlebihan” dalam bersikap, bertindak, dan berpendapat, tentu saja akan semakin parah ketika kemudian dikaitkan dengan cara pandang atau sikap berlebihan yang melampaui batas dalam beragama.

Agama bisa saja dijadikan semacam “alat” pembenaran dalam melakukan berbagai sikap yang melampaui batas, termasuk melakukan tindak kekerasan yang berlebihan.

Sikap berlebihan, termasuk perasaan benci yang tumbuh, seringkali menciptakan ketidakadilan ditengah masyarakat, tidak hanya dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu, tetapi juga sikap benci yang memang ditunjukkan penguasa kepada pihak-pihak atau kelompok yang tidak disukainya.

Fenomena “kebencian” yang menguat dari berbagai pihak, pada akhirnya menimbulkan simptom yang semakin terjebak dalam pusaran “politik kebencian” dibangun oleh setiap kelompok atau individu, entah itu penguasa, para pemangku kepentingan, tokoh agama, tokoh politik, terus menerus berada dalam pusaran kebencian yang tanpa sadar telah dipolitisasi.

Maka, konflik horizontal dan vertikal, sulit dihindari, bahkan masing-masing pihak pada akhirnya terus saling klaim atas kebenarannya sendiri-sendiri. Yang terjadi justu timbulnya nuansa ketidakadilan yang masing-masing dirasakan akibat politik kebencian yang dibangun oleh mereka sendiri.

Setiap orang memang memiliki cara pandang yang berbeda soal “kebencian”, terlebih jika hal itu memiliki keterkaitan erat dalam konteks politik. Bagaimana tidak, bagi sebagian orang, ketika merasa bahwa kepentingan dirinya mulai terusik oleh banyaknya ungkapan sindiran, nyinyiran, atau kritikan pihak lain yang dihubung-hubungkan dengan isu keagamaan tertentu, reaksi akan timbul yang mungkin saja dilanjutkan menjadi isu soal penistaan agama.

Disisi lain, sebagian orang yang menganggap bahwa itu sekadar dinamika politik atau wacana pemikiran, walaupun terdapat kritik yang dirasa tajam didalamnya, hanya dianggap sebuah “kewajaran” yang mungkin tak perlu dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan. Sikap “wajar” dalam hal apapun, tentu saja akan lebih banyak membuka ruang dialog yang pada akhirnya berhasil membangun sebuah titik temu yang bernilai sangat positif dalam konteks hubungan sosial yang lebih luas.

Ungkapan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskim) Polri, Komjen Ari Dono Sukmanto soal Indonesia darurat kondisi luar biasa akal sehat dan hati yang bersih, kemungkinan besar adalah menggambarkan pusaran politik kebencian yang sejauh ini terjadi. Hal ini dapat terlihat dari betapa maraknya ujaran kebencian yang semakin hari semakin memenangkan “hati” masyarakat.

“Penyebar hoaks hingga pelaku ujaran kebencian, justru menjadi pahlawan”, demikian ungkap jenderal polisi bintang tiga ini sebagaimana dilansir oleh laman Tempo.co 23 Februari 2019.

Kontras dengan kenyataan, bahwa Indonesia sejauh ini sedang gencar-gencarnya memerangi isu hoaks, termasuk didalamnya informasi-informasi bohong yang justru semakin digandrungi masyarakat. Adagium “lawan hoaks” ternyata bertekuk-lutut oleh serentetan aksi “pahlawan-pahlawan” politik kebencian.

Tak jauh berbeda, dimana hasil riset tahunan Amnesty Internasional juga menyatakan hal yang sama, di mana Indonesia sejak 2017 tak bisa dilepaskan dari nuansa politik kebencian sedemikian rupa, sehingga banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM.

“2017 ditandai oleh politik kebencian yang disponsori oleh negara dan aktor non negara,” demikian ungkap Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid, seperti dikutip laman Kompas.com, 22 Februari 2018. Semua unsur terlibat dalam membangun dan mempelopori praktik politik kebencian yang akhirnya merebak dan berdampak buruk terhadap situasi kondusifitas masyarakat. Hal ini semakin diperparah oleh aktor-aktor tertentu yang berlebihan dalam sikap beragama, semakin “menggoreng” berbagai macam isu politik dengan mengkaitkannya dengan isu-isu agama.

Apakah ini terkait dengan momen tahun politik? Ataukah memang sudah menjadi skenario dalam wadah “grand design” teori konspirasi? Entahlah, semua orang berhak berpendapat, ada yang menganggap bahwa ini gara-gara para penguasa yang kurang bijak, sehingga harus diingatkan dengan cara-cara hoaks, ada juga yang berasumsi bahwa ini merupakan skenario tingkat tinggi untuk menghancurkan Bumi Pertiwi, atau ada juga yang melihat bahwa negeri ini sedang dilanda kualat, karena banyaknya pemangku kepentingan yang tidak taat.

Namun, ada juga yang menganggap biasa saja, mungkin ini merupakan bagian dari suatu proses kedewasaan berpolitik, berbangsa, dan bernegara yang harus dilalui oleh serangkaian peristiwa yang terkesan anomali.

Saya sepakat, bahwa era saat ini sedang berada dalam pusaran politik kebencian. Yang paling mengejutkan, kebencian ini seperti didorong oleh rasa keberagamaan yang sedemikian kuat, karena hampir seluruh berita hoaks dan ujaran kebencian, selalu mengkaitkan perspektif keagamaan  didalamnya.

Bukankah isu soal penyerangan ulama yang sedemikian marak, juga terkait dengan agama dan para tokohnya? Isu ini terus dihembuskan, agar setiap orang memiliki persepsi buruk yang terbangun sedemikian rupa untuk saling mencurigai? Saling membenci? Bahkan hampir tak ada sama sekali ruang-ruang dialogis untuk dapat menyelesaikan sekian banyak persoalan? Yang ada adalah semakin menguatnya saling klaim kebenaran, yang dihembuskan oleh masing-masing pihak yang berasa dari aktor negara dan non negara.

Bangsa ini benar-benar berada dalam pusaran politik kebencian yang entah bagaimana cara mengakhirinya. Ini adalah tahun politik, memiliki momentum yang potensial untuk memperkokoh  praktik politik kebencian di tengah masyarakat.

Politik yang sebelumnya berkonotasi positif, karena adanya seni mengajak dan mempengaruhi secara persuasif agar mau berkontribusi membangun kesadaran masyarakat mempererat solidaritas, meningkatkan kesejahteraan dengan membuat aturan dan kebijakan, malah kian hari kian terpuruk, jatuh menjadi seni dalam “mengajak” masing-masing pihak dalam praktik kebencian, bukan kedewasaan yang cinta perdamaian.

Yang paling menyedihkan, agama diperalat untuk saling membenci dan kondisi ini bukan tidak mungkin dilakukan oleh masing-masing, baik berasal dari aktor negara dan non negara.

***

Editor: Pepih Nugraha