Ketika Raden Saleh Enggan Digelari “Habib” atau “Sayid”

Jumat, 16 Februari 2018 | 07:02 WIB
0
773
Ketika Raden Saleh Enggan Digelari “Habib” atau “Sayid”

Siapa yang tidak kenal Raden Saleh? Pria Indonesia keturunan Arab yang dikenal sebagai seniman yang mendunia, bahkan hampir-hampir banyak orang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah hasil “peranakan” Hadramaut bukan orang Jawa asli yang sejauh ini dicitrakan publik.

Ya, Raden Saleh lebih acceptable dengan menyandang gelar “raden” di belakangnya sebagai ciri khas kalangan bangsawan Jawa, ketimbang gelar “sayid” atau “habib” yang sejauh ini dibanggakan sebagian orang yang memiliki garis keturunan Arab bahkan tak jarang mengklaim sebagai titisan darah biru langsung dari Nabi Muhammad. Banyak yang tidak diketahui perihal sejarah Raden Saleh ini, hanya beberapa catatan sejarah yang berasal dari ilmuwan Belanda yang meneliti Indonesia.

Menarik melihat sejarah orang Arab di Indonesia yang oleh beberapa sejarawan Belanda disebut sebagai kalangan non-pribumi (kaum peranakan), untuk membedakan dengan kalangan pribumi yang oleh pemerintah kolonial sengaja diatur sedemikian rupa untuk “melindungi” kaum pribumi, terutama pedagang. Walaupun pada kenyataannya, Belanda tampaknya lebih mengkhawatirkan kaum “peranakan” karena alasan politis: khawatir mereka mengadakan pemberontakan kepada pemerintah kolonial.

Adalah L.W.C Van den Berg yang berhasil memotret secara baik soal sejarah orang Arab di Indonesia, yang karya tulisnya mulai diterbitkan dalam bahasa Perancis pada 1886. Berg meyakini bahwa hampir semua orang Arab yang ada di Indonesia berasal dari Hadramaut, Yaman. Hanya sebagian kecil saja pedagang-pedagang Arab yang berasal dari Mekkah kemudian berasimilasi dengan penduduk lokal dan menetap kemudian di Indonesia.

Para ulama dan tokoh agama yang kemudian dikenal di Indonesia yang keturunan Arab, juga hampir seluruhnya berasal dari wilayah subur Yaman, yakni Hadramaut. Salah satu ulama terkenal keturunan Arab asal Hadramaut adalah Salim bin Abdullah bin Sumair yang mengarang kitab fiqih “Safinatun Naja” (Perahu Keselamatan). Kitab fiqih ini memberikan penjelasan dasar-dasar hukum Islam secara ringkas, padat, dan mudah dipahami, sehingga kemudian menjadi kitab wajib dipelajari para santri di hampir seluruh pesantren tradisional di Indonesia.

[irp posts="8056" name="Saya, Antara Islam, Indonesia, dan Arab"]

Syekh Salim—demikian orang-orang Batavia menyebutnya—kemudian meninggal pada tahun 1854 dan dikuburkan di daerah Tanah Abang. Ulama lainnya yang sangat terkenal adalah Sayid Usman bin Aqil bin Yahya al-Alawi, salah seorang mufti Batavia yang diangkat oleh pemerintah kolonial. Antara Sayid Usman dan Syekh Salim, seringkali terjadi pertentangan, mungkin karena ketidaksetujuan Salim yang menganggap Sayid Usman terlampau pro terhadap pemerintahan kolonial.

Pada masa Raden Saleh (1811-1880), terjadi nuansa asimilasi yang sedemikian cepat orang-orang Arab yang tinggal di Indonesia. Mereka sudah tidak lagi mempergunakan bahasa Arab—sebagai bahasa ibu—tetapi lebih sering berbahasa Indonesia walaupun dengan sesama warga keturunan. Van den Berg bahkan melaporkan, bahwa bahasa Arab justru hampir hilang, bahkan berpakaian cara Arab-pun sudah dihilangkan karena dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia.

[caption id="attachment_10597" align="alignleft" width="503"] "Kapal Dilanda Badai" karya Raden Saleh (Foto: galeri-nasional.or.id)[/caption]

Itulah kenapa, Raden Saleh tampil layaknya bangsawan Jawa, mengenakan blangkon dan beskap, walaupun terkadang dipadukan dengan gaya modern berbusana, karena terkadang dirinya tak memakai kain jarit tetapi celana panjang. Raden Saleh nampaknya tetap nyaman dengan atribut kenusantaraan, meskipun sempat beberapa tahun mengenyam pendidikan di Eropa.

Barangkali, kontras dengan nuansa kekinian, dimana justru mereka yang dianggap keturunan Arab justru cenderung mengembalikan tradisi dan budaya Arab di Indonesia. Bahasa-pun nampaknya demikian, di mana terdapat kecenderungan untuk mengganti bahasa Indonesia menggunakan bahasa Arab, seperti diubahnya panggilan “saya” menjadi “ana” atau “kamu” menjadi "anta" dan "kalian" menjadi “antum”.

Yang terjadi belakangan bahkan disamiliasi, di mana budaya dan tradisi Indonesia—termasuk bahasa dan berbusana—mulai memisahkan dan dikembalikan kepada budaya aslinya, yaitu budaya Arab. Sulit untuk tidak mengatakan, fenomena kearab-araban saat ini semakin marak, baik melalui simbol-simbol yang melekat dalam pribadi seseorang—walaupun bukan keturunan Arab—dengan simbol-simbol dominan budaya Arab. Gamis, turban, jubah, celana cingkrang, barangkali adalah sekian dari contoh nyata proses disamiliasi budaya tersebut.

Saya justru terheran-heran dengan kepribadian Raden Saleh yang meskipun keturunan Arab, tetapi justru enggan menggunakan simbol-simbol yang berasa dari budaya asal dirinya. Padahal, kakaknya yang laki-laki menurut Berg, masih menyematkan gelar “Sayid” pun dengan dua adiknya yang perempuan, tetap menyematkan nama “Syarifah” dibelakang namanya.

Hanya Raden Saleh yang enggan memakai gelar nama Arab, meskipun kakeknya sendiri adalah Sayid Awadh bin Yahya, salah seorang keturunan Hadramaut yang datang ke Indonesia pada akhir abad 18.

Raden Saleh tetaplah seolah-olah seperti dan berprilaku layaknya orang Jawa dan hampir-hampir nuansa Arab tercerabut dari jati dirinya sendiri. Entah apakah karena dirinya adalah seorang seniman, di mana umumnya seniman akan lebih menghargai tradisi dan budaya yang membesarkannya ketimbang tetek-bengek asal muasal dan keturunannya.

Terlepas dari soal kenapa Raden Saleh sampai akhir hayatnya tetap dipanggil “raden” meskipun dirinya merupakan keturunan Arab, namun yang jelas, inilah salah satu seniman termasyhur pada zamannya, bahkan seniman abadi sepanjang zaman.

Bagaimana tidak, karya-karya guratan ciamik dan berkelas yang berasal dari tangannya, mampu menggedor blantika seni lukis klasik dunia. Baru-baru ini, lukisannya yang berjudul, “Banteng-Hunt” justru laku seharga 7,2 juta euro atau setara sekitar Rp 119,9 miliar, harga yang sangat fantastis bagi sebuah karya seni anak bangsa.

[irp posts="5840" name="Perkenalkan Sophia, Robot Pertama Yang Jadi Warga Negara Arab Saudi"]

Arab ternyata tidak selalu identik dengan penyebar agama Islam atau para pedagang, tidak juga identik dengan keulamaannya yang mahir membahasakan ilmu-ilmu agama. Raden Saleh memberikan bukti, bahwa Arab tak melulu agama atau politik-kekuasaan, namun jauh lebih halus dan bernilai substantif, yaitu seni yang sejauh ini seringkali ditabukan oleh keturunannya sendiri.

Salah seorang peneliti Indonesia asal Belanda Karel A Steenbrink bahkan membuat judul khusus tentang Raden Saleh dalam hasil penelitiannya yang dihubungkan dengan asal muasal orang Arab yang hadir dan berasimiliasi dengan citra dan kebudayaan Nusantara. Dirinya menggambarkan bahwa Raden Saleh sepertinya seolah-olah mengidentikkan dirinya dengan orang Jawa dan bertingkah laku seperti orang Indonesia pada umumnya, tanpa melabeli dirinya dengan gelar yang bernuansa kearaban.

Kita tentu bangga memiliki seorang Raden Saleh yang sedemikian dikenal di dunia karena karya-karya seninya yang sangat berkelas. Hal ini pula yang kemudian membuat salah seorang sutradara film dokumeter asal Perancis, Raphael Millet yang saat ini sedang menggarap film tentang Raden Saleh.

Bangsa kita ini selalu kalah langkah dengan bangsa lain, di saat mereka terkagum-kagum dan terbuai oleh karya kegendaris anak bangsa bahkan akan membuatkan filmnya, bangsa ini tentu saja belum tahu apa-apa soal kehidupan Raden Saleh, hanya beberapa literatur sejarah lama, itu juga hasil dari karya orang asing.

***

Editor: Pepih Nugraha