Pasal Penghinaan Presiden untuk Siapa?

Senin, 12 Februari 2018 | 15:07 WIB
0
536
Pasal Penghinaan Presiden untuk Siapa?

Setelah Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi disahkan pada tanggal 19 Mei 1999 pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, maka Undang-undang No. 11/PNSP/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi secara sah dinyatkan tidak berlaku.

Undang-undang Subversi yang telah diterapkan sejak tahun 1963 tersebut dianggap Undang-undang yang selalu mencurigai setiap orang yang vokal terhadap pemerintah dan rentan digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang tidak disenangi oleh pihak penguasa sehingga undang-undang ini dianggap merusak tatanan demokrasi dan melanggar hak azasi manusia.

Melihat perkembangan demokrasi di Indonesia sejak era reformasi yang dianggap sudah kebablasan khususnya dalam hal penghormatan terhadap simbol-simbol kenegaraan maka usulan untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) muncul kembali sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kemunculan pasal penghinaan presiden di RKUHP menuai pro-kontra dalam masyarakat lantaran sebelumnya melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.

[irp posts="9776" name="Pasal Penghinaan Presiden Kembali Hidup di Era Jokowi"]

Pemberlakuan pasal ini dianggap sebagai kemunduran demokrasi karena seakan-akan mensakralkan jabatan presiden dan mengkultuskan presiden sebagai orang yang anti kritik. Lagi pula presiden dianggap bukan sebagai simbol negara tetapi hanya orang yang berganti setiap periode.

Apabila pasal ini juga tetap akan dibahas dan disahkan maka dikuatirkan akan rentan disalahgunakan seperti undang-undang subversi sebelumnya yaitu untuk menjerat orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah sehingga pemerintah tak ubahnya seperti penjajah. Dan tentu saja pasal ini pasti akan diajukan kembali ke MK untuk dialakukan uji materi.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pasal penghinaan presiden ini perlu tetap dibahas dan disahkan dalam RKUHP?

Menurut saya sangat perlu, khususnya pada masa-masa sekarang dimana demokrasi kita masih amburadul. Negara kita adalah negara yang beradab yang saling menghormati satu sama lain tanpa memandang kedudukan atau jabatan, tak terkecuali presiden.

Presiden boleh dikritik dan harus selalu diingatkan. Tetapi bukan untuk dihina atau dihujat. Bukan untuk difitnah dan dijelek-jelekkan dengan cara apapun dan melalui media manapun. Bukan untuk fotonya diedit sembarangan, diinjak-injak atau dilecehkan sesuka hati, termasuk keluarganya.

Siapapun presidennya kelak, apakah pilihan kita atau pilihan orang lain, tetapi bila beliau dinyatakan menang dan sah secara hukum maka beliau adalah presiden seluruh masyarakat Indonesia dan wajib dihormati. Tentu saja boleh dikritik tetapi bukan dengan cara-cara yang tidak beradab dengan menghina, menghujat, memfitnah dan menjelek-jelekkannya sesuka hati. Sama sekali itu bukan demokrasi tetapi ulah orang-orang di masa jahiliah yang tidak berpendidikan dan tidak beragama.

Sekali lagi apakah pasal penghinaan presiden perlu dibahas dalam RKUHP dan selanjutnya disahkan menjadi KUHP?

Tentu saja sangat perlu, dengan catatan pasal demi pasal tidak bertentangan dengan demokrasi dan HAM dan juga harus jelas dan tidak menimbulkan multitafsir sehingga tidak disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Tetapi hal tersebut tak perlu dikuatirkan, ada MK yang senantiasa siap untuk menguji setiap undang-undang yang disahkan pemerintah.

Untuk kepentingan siapakah pasal penghinaan presiden ini? Tentu saja bukan untuk Jokowi. Tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Salam....

***