Kalau ada mahasiswa mengkritik Presiden, itu biasa. Namanya mahasiswa dari dulu emang begitu adatnya. Yang berbeda hanya cara pemerintahan itu merespon kritik.
Di zaman Orde Baru ada mahasiswa nekad. Waktu itu di sebuah kampus di Jogja. Ada Mensesneg Murdiono diundang untuk memberikan ceramah. Di tengah acara, seorang mahasiswa naik ke atas meja, lalu membaca puisi. Judulnya: Babi-Babi Penguasa.
Hasilnya mahasiswa puitis itu harus berhadapan dengan polisi.
Di ITB ada juga serombongan mahasiswa menolak kedatangan Mendagri Rudini. Mereka menggelar aksi demonstrasi besar. Hasilnya, para mahasiswa itu dikeluarkan dari kampusnya dan masuk penjara Sukamiskin.
Itu respon terhadap aksi mahasiswa di jaman Soeharto.
Di Turki, Presiden Erdogan menangkapi puluhan ribu orang, termasuk mahasiswa yang kritis terhadap kebijakannya. Bahkan tiga orang mahasiswa asal Indonesia juga ikut kena ciduk. Kesalahan mereka hanya satu, mereka meneruskan sekolah di Turki karena dibiayai oleh sebuah yayasan yang tidak disukai Erdogan.
Bukan hanya menangkapi mahasiswa, Erdogan juga memecat ribuan dosen, guru, dan menutup berbagai kampus dan sekolah.
Kemarin di Indonesia, ada Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI. Dia memprotes Presiden Jokowi dengan mengangkat kartu kuning. Apa hasil yang diterima kader didikan liqo ala PKS ini?
Seorang pembenci Jokowi menawarinya umroh atas protesnya itu. Posisinya disamakan dengan Jonru, yang juga ditawari umroh karena keberaniannya memfitnah Jokowi. Aktor yang nyinyir sama Jokowi yang lain juga sudah lebih dulu umroh, tapi rupanya di Saudi sana dia terkena sindrom Bib Toyib, akibatnya gak pulang-pulang.
Apakah Jokowi berlaku seperti Erdogan saat menghadapi mahasiswa yang rewel ini? Jokowi malah memuji Zaadit, "Saya kira ada yang mengingatkan, itu bagus sekali," katanya.
[irp posts="9805" name="Aksi Bela Simbol, Balada Kartu Kuning" Zaadit Taqwa"]
Bahkan karena salah satu kritiknya soal kasus campak di Asmat, Jokowi berencana mengirim Zaadit untuk melihat Papua dan apa yang sudah pemerintah kerjakan disana.
Iya, kita tahu Papua adalah wilayah yang luas. Penduduknya hidup tersabar, sebagian di daerah terpencil yang sangat sulit aksesnya. Untuk menangani masalah Papua secara berkelanjutan, tidak ada cara lain selain membangun infrastruktur jalan. Kebijakan BBM satu harga juga menjadi pendorong kemajuan Papua.
Saya rasa Zaadit sebagai mahasiswa juga menyadari itu. Jika kondisi transportasi Papua tidak dibenahi serius, jangan wabah campak, bahkan kelaparan juga mungkin terjadi disana. Tapi kalau jalan dan akses sudah bagus, pemerintah akan cepat menangani berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Saya membaca protes Zaadit soal Papua justru sebagai pujian terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi. Iya, saat kemarin ada beberapa anak suku Asmat terkena masalah kesehatan. Tapi dengan adanya pembangunan jalan di Papua, Jokowi bisa menyelamatkan jutaan anak-anak di pedalaman Papua dari masalah kehidupa dasar. Sebab lokasi mereka sudah bisa diakses berbagai program bantuan.
Nah, saran Jokowi untuk mengirim Zaadit ke Papua secara langsung agar anak itu melek, bahwa pemerintah sekarang sedang berusaha menyelesaikan masalah dasar masyarakat. Membuat akses transportasi.
Tapi apakah Zaadit benar-benar peduli dengan Papua? Kita lihat saja apa reaksinya nanti saat melihat ribuan kilometer jalan membentang membelah Bumi Cenderawasih tersebut. Dengan jalan-jalan itu, rakyat Papua akan bisa ditingkatkan ekonominya secara berkelanjutan. Bukan hanya penanganan kasus per kasus saja.
Zaadit bersyukur, saat dia jadi mahasiswa Presiden Indonesia adalah Jokowi. Coba jika Indonesia punya presiden seperti Erdogan, kayaknya mahasiswa seperti itu akan berakhir di jeruji besi. Atau coba dia melakukan hal yang sama di jaman Orde Baru, pilihanya kalau gak hilang diculik mungkin juga disetrum saat interogasi.
Tapi, sudah jadi rahasia umum bahwa kelembagaan mahasiswa di UI memang seperti organisasi di bawah komando PKS. Artinya apa yang disampaikan Zaadit itu, sebetulnya bukan murni reaksi mahasiswa yang kritis. Tapi sekadar ulah simpatisan partai. Anggap saja itu protes seorang mahasiswa pemuja Erdogan pada seorang Presiden Indonesia.
Kalau kader PKS gak suka sama Jokowi ya, wajar saja. Jokowi jadi imam sholat, mereka mencela. Jokowi jadi makmum, mereka mencela juga. Mereka lebih sreg Indonesia dipimpin oleh kandidat Presiden yang bahkan Iqro satu saja belum tentu khatam.
Meskipun dalam keterangannya, Zaadit sendiri menolak disebut sebagai kader PKS. Tuduhan sebagai kader PKS, bagi Zaadit yang ketua BEUM UI memang seperti dilempari kotoran unta ke wajahnya. Memalukan. Makanya dia menolak dengan keras.
Ketua BEM UI ini seperti membenarkan omongan Bambang Kusnadi, teman saya.
"Mas, sampeyan boleh nuduh saya apa saja. Mau dibilang PKI, kek. Kafir, kek. Liberal, kek. Syiah, kek. Cebong, kek. Kampret, kek. Saya gak akan marah. Asal jangan tuduh saya PKS..."
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews