Anda Percaya Nabi atau Kyai?

Selasa, 6 Februari 2018 | 15:51 WIB
0
586
Anda Percaya Nabi atau Kyai?

Kalimat di atas kerap sekali terdengar, menghenyakkan kita semua. Mempertanyakan kapasitas muktabaroh Ulama, dan membandingkan dengan Kanjeng Nabi yang memang jelas tidak berbanding sama sekali. Jika tidak faham, maka akan jelas sekali seolah-olah banyak perkara yang dilakukan oleh Kyai bertentangan dengan Kanjeng Nabi.

Kyai itu tidak berpendapat melalui hayalan beliau sendiri, melainkan berdasarkan ajaran dari Kyainya Kyai juga. Demikian seterusnya hingga sanad bersambung kepada Kanjeng Nabi. Jadi tidaklah benar bahwa Kyai itu menyelisihi Kanjeng Nabi.

Ibaratnya, saat Kanjeng Nabi memerintahkan kita untuk “ngliwet sego”. Maka yang dilakukan Kyai bukan ‘sego diliwet’, melainkan akan ‘mususi’ beras, ‘dikaru’. Setelah setengah matang, ‘beras karon’ ini ditanak dalam dandang. Inilah yang disebut ngliwet sego.

Sementara, mereka yang tidak punya guru yang jelas sanadnya, begitu ada perintah Kanjeng Nabi untuk ‘ngliwet sego’, maka yang mereka lakukan adalah mencari nasi untuk diliwet. Karena dalam hayalannya yang namanya ‘ngilwet sego’ berarti harus ada ‘sego’ kemudian ‘diliwet’.

Tidak sampai di situ, mereka memprovokasi, mencaci maki dan mentertawakan serta menganggap kita bodoh, salah, menyelisihi Quran Hadits karena diperintahkan ‘ngliwet sego’, tapi malah kita ‘mususi beras’ dan seterusnya.

Itulah gambaran bagi wong NU yang belajar dari Kyai dalam memahami Quran dan Hadits, jika dibandingkan dengan mereka yang over percaya diri “memurnikan” Quran Hadits dan langsung mengambil hukum dari sumbernya, tanpa menggunakan ilmu alat.

Lalu, mereka akan mempertanyakan kepada kita, “Anda percaya dengan Nabi atau Kyai?”, seakan-akan Kyai kita itu salah dan tersesat dalam memahami nash suci.

Bagi masyarakat awam, hal ini tentu akan bisa menjerumuskan mereka untuk tidak percaya lagi dengan para ulama muktabaroh an nahdliyyah.

Maka kita saksikan akhirnya, mereka beribadah, berijtihad dan mengambil hukum tidak jelas jluntrungnya karena memang tidak pernah dilakukan oleh generasi-generasi Ulama terdahulu.

***

Editor: Pepih Nugraha