Guru Ahmad Budi Cahyono Layak Dijadikan "Pahlawan Pendidikan"

Sabtu, 3 Februari 2018 | 21:08 WIB
0
655
Guru Ahmad Budi Cahyono Layak Dijadikan "Pahlawan Pendidikan"

“Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru, namamu akan selalu hidup, dalam sanubariku”.

“Pagi ini akan saya tuntaskan peristiwa penganiayaan siswa terhadap guru di SMAN Torjun, Sampang, Madura yang menyebabkan guru itu meninggal dunia. Persoalan ini sangat serius dan harus ditindaklanjuti secara hukum,” tegas Saiful Rachman.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur itu, pada Jum’at, 2 Februari 2018, pagi langsung terjun ke Sampang untuk menuntaskan kasus siswa bernama Moh. Halili yang diduga menganiaya gurunya sendiri, Ahmad Budi Cahyono, hingga meninggal dunia.

Guru Tidak Tetap (GTT) yang mengajar Seni Rupa di SMAN Torjun itu meninggal dunia setelah Kamis, 1 Februari 2018, pagi dianiaya oleh siswanya sendiri ketika mengajar praktik melukis di dinding halaman belakang sekolah bersama siswa lainnya.

Menurut Saiful Rachman, peristiwanya terjadi pagi saat Budi Cahyono mengajar seni lukis. Mengajarnya itu dibawa ke luar ruang kelas, di dinding halaman belakang sekolah. Dalam proses belajar-mengajar itu, Halili membuat situasi gaduh suasana.

“Dia mengganggu teman-temannya, sehingga membuat ramai,” ungkapnya. Lalu gurunya itu bilang, “Nanti kamu saya cat lo, ternyata Halili masih terus ramai, akhirnya guru menorehkan kuas ke siswanya,” lanjut Saiful Rachman. Halili langsung emosi.

Karena tak terima dengan torehan kuas yang mengenai pipinya, lalu Halili memukul gurunya itu. Tak ada perlawanan dari Budi Cahyono. Peristiwa pemukulan sempat dilerai oleh siswa lainnya. Setelah proses belajar-mengajar, para siswa masuk kelas lagi.

Ketika ditanya Kepala Sekolah SMAN Torjun Amat, Budi Cahyono malah menutupi perilaku anak didiknya itu. “Saat ditanya Kaseknya, dia bilang gak ada apa-apa. Jadi, sepertinya Budi Cahyono menutupi peristiwa pemukulan itu,” ujar Saiful Rachman.

Pulangnya, kata Saiful Rachman, Budi Cahyono masih bisa mengendarai sepeda motor. Sesampainya di rumahnya, dia merasa tidak enak badan, lalu tiduran. Karena merasa tidak enak badan, lalu dibawa ke Puskesmas setempat, dan lalu pingsan.

Kemudian, dibawa RSUD Sampang. Karena tak bisa ditangani, lalu dirujuk ke IGD RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Di IGD, ternyata tidak tertolong, pukul 21.00 WIB, guru berusia 27 tahun ini meninggal dunia. Dunia pendidikan kita kehilangan seorang pendidik.

Hasil visum atas Budi Cahyono ditemukan, memang ada memar di tengkuk belakang, dan di dalam otaknya ada pendarahan. Itulah yang menyebabkan alumni Universitas Negeri Malang (UNM) itu meninggal dunia. Prihatin, sebuah potret siswa zaman now!

Sebelumnya beredar kabar bahwa pada Kamis, 1 Februari 2018, pukul 13.00 WIB pada saat sesi jam terakhir, Guru Budi sedang mengajar Mata Pelajaran Seni Rupa di kelas IX (versi terbaru, kelas XII) materi seni lukis.

Pada saat jam pelajaran, siswa an. Moh. Halili tidak mendengarkan pelajaran dan justru mengganggu teman-temannya dengan mencoret-coret lukisan mereka. Guru Budi menegur Halili, namun tidak dihiraukan, malah si Halili semakin menjadi-jadi mengganggu teman-temannya.

Akhirnya Guru Budi menindak siswa tersebut dengan mencoret pipi Halili dengan cat lukis. Halili tidak terima dan memukul Guru Budi, kemudian dilerai oleh siswa dan para guru. Guru Budi kemudian dibawa ke ruang guru lalu menjelaskan duduk perkaranya kepada Kepsek SMAN Torjun Asmat.

Saat itu Kepsek tak melihat adanya luka di tubuh dan wajah Guru Budi dan mempersilahkan agar Guru Budi pulang duluan. Kemudian Kepsek mendapat kabar dari pihak keluarga Guru Budi bahwa sesampainya di rumah, Guru Budi istirahat (tidur) karena mengeluh sakit pada lehernya.

Selang beberapa saat Guru Budi kesakitan dan tak sadarkan diri (koma) dan langsung dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Kemudian anggota Intelkam melakukan koordinasi dengan Kepala Disdik Sampang Jufri Riady dan diperoleh info lainnya.

Berdasarkan keterangan dari para guru yang saat itu berada di RSUD Dr. Soetomo, Moh. Halili, warga Dusun Brekas Torjun Timur, Desa/Kecamatan Torjun. Orang tuanya an. Moh. Yahya (Kepala Pasar Omben).

Sedangkan korban, Guru Tidak Tetap (GTT) SMAN 1 Torjun, putra GTT SMAN 1 Sampang Mohamad Satuman Asyari. Info sementara, pada saat jam pelajaran ada siswa tidur di kelas dan ditegur, siswa tersebut marah dan menantang guru tersebut berduel.

Siswa sempat memukul namun dilerai kawan-kawannya. Pada saat jam pulang sekolah, guru tersebut dihadang dan dianiaya oleh siswa itu. “Diagnosa sementara guru mengalami patah leher dan pecah pembuluh darah otak,” tulis laporan AKP Ipal Faruq.

Namun, setelah Kadisdik Jatim Saiful Rachman turun ke Sampang, diperoleh informasi yang berbeda dengan keterangan sebelumnya. “Peristiwa penganiayaan itu terjadinya di pagi hari. Juga tidak ada penghadangan ketika pulang sekolah,” tegasnya.

Ia berharap agar peristiwa yang menimpa anak buahnya di Sampang itu adalah yang pertama dan terakhir. “Jadi guru saja susah, gajinya kecil di bawah UMK, lebih kecil dari buruh pula, jangan sampai teman-teman guru dibuat susah seperti ini,” pesannya.

Budi Cahyono adalah guru hononer yang digaji kisaran Rp 500 ribu sampai Rp 600 ribu per bulannya. “Pak Budi ini guru seni rupa ekstra kulikuler dengan multi talenta. Dia itu berani berkeluarga tentunya sudah fight untuk keluarganya,” ujar Saiful Rachman.

Mengutip Kompas.com, almarhum dikenal sebagai sosok yang penyabar dan irit bicara di keluarganya. Isteri korban, Sianit Shinta, 22 tahun, menuturkan, bahkan saat pulang dari sekolah, korban tidak pernah menceritakan kejadian yang menimpa dirinya.

Saat ditemui di kediamannya, Jumat 2 Februari 2018, Shinta mengatakan, korban langsung tidur setelah pulang dari sekolah. Setelah bangun, korban mengeluh sakit kepala. Shinta kemudian menanyakan penyebab suaminya sakit kepala.

“Apa kamu jatuh dari motor atau jatuh kepleset?” tutur Shinta mengulang pertanyaan kepada suaminya saat itu, seperti dikutip Kompas.com. Suaminya kemudian menjawab pertanyaan isterinya bahwa dia dipukul oleh siswanya di sekolah.

Seusai bercerita kepada isterinya, Budi Cahyono tiba-tiba muntah dan minta untuk ditidurkan di ranjang tidurnya. Shinta kemudian menggotong suaminya itu ke kamarnya lalu mencoba menghubungi dokter. Namun nomor dokter yang dicari di ponsel tidak ditemukan.

Karena korban sudah tidak sadarkan diri, korban kemudian dibawa ke Puskesmas Torjun. Karena pihak Puskesmas tidak mampu menangani korban, korban kemudian dirujuk ke RSUD Kabupaten Sampang.

Namun, rumah sakit tersebut juga mengaku tidak bisa menangani korban, sehingga korban langsung dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Namun, korban sudah meninggal dunia sekitar pukul 20.00 WIB.

Ayah korban mengaku sangat terpukul atas peristiwa yang dialami anaknya. Namun peristiwa tersebut dianggapnya sebagai ujian bagi keluarganya. “Saya ikhlas menerima ujian ini,” ujar Satuman Asyari. Ia berharap, “Polisi bisa menyelesaikan kasus ini sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.”

Sikap tegas, responsif, segera menyelesaikan masalah, dan patuh terhadap hukum yang telah ditempuh Saiful Rachman banyak diapresiasi netizen. “Beliau konsisten, pemimpin yang peduli dan melindungi anak buahnya,” ujar seorang netizen.

Tampaknya orang Madura harus kembali mengaktualisasi kembali pegangan hidup: bhuppa’ bhâbhu’ ghuru rato. Ungkapan itu adalah kepatuhan dan rasa hormat orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama.

Orang Madura, pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orang tuanya, pada guru (ulama), dan pada rato (pemimpin formal-birokrasi). Dalam kehidupan sosial budaya orang Madura ada standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal yang sudah seharusnya dilaksanakan.

***

Editor: Pepih Nugraha