Mengorbankan Jakarta untuk Meraih Simpati Rakyat Indonesia

Selasa, 30 Januari 2018 | 07:36 WIB
0
477
Mengorbankan Jakarta untuk Meraih Simpati Rakyat Indonesia

Apa pendapat orang Jakarta dan kota besar lain ketika Pemprov DKI membolehkan becak beroperasi di ibukota?

Ini kebijakan ngaco. Begitu penilaian orang kota.

Bayangkan. Ratusan tukang becak masuk ke Jakarta dari berbagai penjuru. Pasti tanpa mengurus KTP atau ijin tinggal dulu. Ketertiban lalu lintas akan terganggu. Padahal sejak 40 tahun lalu Gubernur Jakarta sudah berjuang menghapuskan angkutan ini. Tapi kali ini usaha keras mereka dipatahkan dengan sekejap.

Tapi coba tanyakan pendapat orang lain, warga di pelosok Indonesia. Mereka yang tinggal jauh dari ibukota. Mereka yang tidak tahu Jakarta. Mungkin saja mereka menganggap Gubernur DKI adalah pembela tukang becak.

Apa pendapat orang Jakarta saat Pemprov DKI menutup jalan di Tanah Abang lalu memberikannya pada PKL?

Ini kebijakan salah kaprah. Masa jalan buat kendaraan ditutup untuk orang dagang? Dagang itu di pasar, bukan di jalanan. Anda pasti geregetan.

[irp posts="9226" name="Rakyat Horang Kayah, Bedakan Beli Rumah Zaman Ahok dengan Anies"]

Akibat kebijakan ini, menurut data Ditlantas, terjadi kemacetan lebih parah sampai 60% di jalan sekitar Tanah Abang. Supir angkot protes. Tukang ojeg protes. Masyarakat protes. Pedagang kios protes. Pejalan kaki protes. Yang senang hanya segelintir pedagang kaki lima.

Tapi itu penilaian orang Jakarta yang waras. Meskipun mereka PKS, tapi jika benar-benar warga Jakarta dan masih tersisa isi di kepalanya, pasti juga akan aneh dengan kebijakan Gubernur seperti itu. Bahkan anggota FPI pun akan merasa jauh lebih cerdas ketika diminta pendapatnya mengenai kebijakan ini.

Tapi coba tanyakan kepada orang di ujung Sumatera mengenai kasus ini. Mungkin saja mereka akan menilai Gubernur DKI adalah pembela PKL. Iya sih, mereka tidak merasakan kemacetan dan kesemrawutan Jakarta.

 

Kenapa semua itu dilakukan? Agar orang yang geregetan dan sakit kepala membully kebijakan itu, lalu jadi viral. Lalu beritanya sampai ke pelosok-pelosok desa yang jauh dati ibukota. Lalu timbul simpati dari sana.

 

Untuk apa? Woi, 2019 sudah deket. Kesanalah muara permainan ini.

Jadi begini. Ada kemungkinan Jakarta sedang dikorbankan untuk meraih simpati warga di luar Jakarta. Kebijakan aneh itu, memang bukan ditujukan untuk Jakarta.

Tapi benarkah Gubernur konsen dengan orang kecil?

Coba lihat sisi kebijakan lainnya. Untuk urusan pengaduan warga dia gak mau langsung menyentuhnya. Tapi mendelegasi ke Camat atau Lurah. Jadi orang bisa membaca secara personal orang miskin bukan konsentrasinya.

[irp posts="9244" name="Sandiaga Uno, Wakil Gubernur Rasa Gubernur"]

Lihat lagi anggaran pemasangan lift di rumah Dinas Gubernur. Padahal hanya dua lantai. Meski akhirnya dibilang salah input data, orang bisa membaca, Gubernur ini sebenarnya suka kemewahan. Sayang saja, keburu ketahuan mata netizen.

Yang paling sial, ada pembelaan bahwa lift itu diperlukan untuk kelompok difabel. Masa menerima pengaduan warga di Balaikota gak mau, eh tamu difabel malah diajak naik ke lantai dua rumah Dinas? Aneh.

Lihat juga betapa ngototnya Gubernur tidak mau membagi anggaran operasionalnya. Tim Gubernur yang mencapai 73 orang gajinya diambil dari APBD.

Atau coba perhatikan KJP yang anggarannya makin tersendat. Orang-orang miskin Jakarta berteriak dan mengeluh. Sayangnya mereka gak bisa apa-apa lagi. Wong, Gubernurnya sudah terpilih.

Sekali lagi, kebijakan becak dan penutupan jalan untuk PKL targetnya memang bukan warga Jakarta. Jakarta cuma dijadikan korban untuk target mencari simpati orang di luar Jakarta.

Buat warga Jakartanya, mah, siapa yang peduli. Pilkada Jakarta sudah selesai. Sedangkan Pilpres di depan mata.

Kasian warga Jakarta. Mereka punya Gubernur yang sibuk menarik simpati orang di luar kota. Kotanya sendiri makin amburadul.

Inilah politik. Di mana akal sehat tidak lagi terlalu penting. Rakyat cuma direken saat kampanye saja.

"Pasti Gubernur kalau makan bubur ayam, harus diaduk," ujar Bambang Kusnadi.

***

Editor: Pepih Nugraha