Wajar PDIP Iri kepada Golkar Yang Dimanja Istana

Jumat, 26 Januari 2018 | 14:53 WIB
0
520
Wajar PDIP Iri kepada Golkar Yang Dimanja Istana

Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengizinkan pembantu barunya di kabinet yang rangkap jabatan dengan kepengurusan di partai politik, menuai reaksi dari beberapa parpol besar di DPR. Parpol pendukung Jokowi di pemerintahan, PDIP, nampaknya sudah bersiap-siap mengembalikan fungsi para kadernya ke dalam pengurus harian parpol, sekalipun mereka saat ini telah mengundurkan diri karena berada dalam kabinet pemerintahan Jokowi.

Bahkan, Sekretaris Fraksi PDIP, Bambang Wuryanto sangat yakin bahwa Jokowi akan mengizinkan para menteri yang terafiliasi dengan PDIP, memiliki rangkap jabatan sebagai pengurus harian parpol. PDIP berencana mengembalikan kepengurusan harian parpol kepada tiga menteri alas PDIP, Puan Maharani, Tjahjo Kumolo, dan Pramono Anung.

PDIP mendadak iri dengan keberadaan Golkar dalam kabinet yang masih tetap diizinkan Jokowi tidak melakukan pengunduran dirinya sebagai pengurus harian parpol meskipun telah masuk dalam jajaran kabinet pemerintahan. Padahal, tanpa harus didefinisikan bahwa seorang kader parpol tidak boleh rangkap jabatan ketika dirinya masuk dalam struktur pemerintahan, toh identitas dirinya sebagai bagian dari parpol tertentu tak mungkin dilepaskan.

Bahkan dalam hal-hal tertentu, kepentingan parpol tetap “lebih didahulukan” daripada kepentingan lainnya yang lebih besar. Inilah salah satu kelemahan sistem rekruitmen kabinet yang mau tak mau harus dapat mengakomodasi secara proporsional berbagai unsur pendukung parpol yang disesuaikan dengan jumlah “porsi” dukungan, bukan murni berdasarkan asas profesionalitas.

Walhasil, ketika rektuitmen kabinet disesuaikan dengan porsi dukungan parpol terhadap seseorang yang kemudian sukses menjadi presiden, maka satu saja ada parpol yang diistimewakan, jelas menuai protes dari kalangan parpol lainnya. Terlebih jika parpol yang diistimewakan penguasa bukanlah partai terbesar yang memiliki porsi dukungan suara terbanyak.

Mungkin ceritanya akan lain, jika PDIP sebagai parpol terbesar di pemerintahan, lalu diistimewakan presiden, parpol lain mungkin akan berpikir dua kali jika harus melakukan protes kepada presiden. Jika benar PDIP ini iri dengan Golkar yang diizinkan Jokowi tetap rangkap jabatan sebagai pengurus parpol, maka sisi negatif kepolitikan dalam bentuk oligarki sedang membudaya, dimana kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingan pengurusnya lebih diutamakan dibanding urusan-urusan lainnya yang lebih penting dan lebih besar.

[irp posts="7450" name="Rasain, Ketum Golkar Pilihan Istana Khianati Jokowi dan PDIP!"]

Sulit rasanya menghapus stigma negatif soal oligarki politik yang membudaya dalam mekanisme parpol, terutama yang ada dalam struktur kabinet di pemerintahan. Bagaimana tidak, Golkar-pun yang serasa sedang “dimanja” Jokowi pada akhirnya juga lebih banyak mendahulukan kepentingan elite-nya yang siap “pasang badan” mendulang dukungan politik untuk kepentingan pilpres mendatang.

Lupa bahwa kepentingan nasional yang lebih besar seharusnya didahulukan daripada sekadar kepentingan sempit dalam pendistribusian kekuasaan. Tidak menutup kemungkinan pada akhirnya, fungsi parpol sebagai sarana pengelola konflik menjadi mandul, akibat kekurang adilan penguasa dalam merespon aspirasi politik parpol yang ada dalam kabinetnya.

Benar bahwa tahun ini merupakan tahun politik, tetapi bukan berarti seluruh potensi dan kekuatan parpol hanya dicurahkan untuk pemenangan dalam merebut kembali kekuasaan. Cukuplah parpol menjadi sarana kepentingan menuju kekuasaan dan bukan tujuan kekuasaan itu sendiri, walaupun dalam kenyataannya, hal ini sulit terjadi.

Saya kira, keirian PDIP atas pengistimewaan Golkar dalam kabinet, jelas menunjukkan kuatnya “tujuan kekuasaan” di mana PDIP merasa sebagai parpol penguasa yang seharusnya “menguasai” tetapi justru “dikuasai” parpol lain.

Hampir seluruh kader parpol yang terakomodasi dalam kabinet, sudah mulai mempertimbangkan akan mengembalikan para kadernya kedalam pengurusan harian internal parpolnya. PKB, melalui Wakil Sekjen-nya Daniel Johan justru menangkap sinyal bahwa perlakukan khusus kepada Golkar oleh Presiden Jokowi otomatis telah mencabut kebijakan lama soal rangkap jabatan di parpol.

Tidak menutup kemungkinan ke depan, bahwa tiga orang kader PKB yang ada dalam kabinet, juga difungsikan kembali sebagai pengurus harian parpol berlambang bola dunia berbintang sembilan ini, mumpung sedang berada dalam suasana tahun politik.

Lagi-lagi, cara pandang terhadap pemenuhan hasrat kekuasaan, semakin menguat dan cenderung berimbas “konflik” yang justru dikhawatirkan akan mengganggu kinerja kabinet yang kurang lebih hanya 15 bulan lagi bekerja.

Walaupun keberadaan menteri yang rangkap jabatan dengan pengurus parpol tidaklah begitu berpengaruh terhadap kinerja dalam pemerintahan, namun secara etika politik, tetap dianggap sebagai hal yang berlebihan. Bagaimana tidak, seorang pembantu presiden yang diangkat dari kader parpol maka secara etika politik “melebur” menjadi bagian dari pemerintah, membuat kebijakan-kebijakan yang tentu saja berdampak terhadap kepentingan nasional, bukan lagi kepentingan kelompok atau golongan tertentu.

Keberadaan rangkap jabatan justru dikhawatirkan “bias” yang pada akhirnya sulit membedakan, mana kepentingan bangsa dan mana kepentingan segelintir orang. Belum lagi jika seorang menteri diundang dalam acara-acara internal parpol, tetapi disaat yang sama harus bertugas sebagai abdi negara mensosialisasikan kebijakan-kebijakan nasional, maka yang terjadi “tumpang tindih” bahkan kesulitan memilih mana yang harus didahulukan.

[irp posts="7475" name="Rangkap Jabatan Airlangga, Jokowi Takkan Memecatnya dari Kabinet"]

Kader parpol yang ada dalam struktur kabinet, memang sudah semestinya tak lagi rangkap jabatan, karena dirinya sudah bukan lagi “milik” parpol, tetapi milik seluruh masyarakat. Kepentingannya yang dibawapun adalah kepentingan nasional yang memikul seluruh aspirasi masyarakat, bukan lagi kepentingan parpol yang cenderung ditunggangi muatan-muatan politis. Lagi pula, iri dalam soal kekuasaan politik memang sudah biasa terjadi, hanya saja ketika rasa iri itu terus dibiarkan tanpa kejelasan, mungkin saja menimbulkan konflik politik yang lebih besar.

Namun, sudah menjadi tipikal dari kepemimpinan Jokowi yang “membiarkan” konflik terjadi dan memberikan keleluasaan kepada setiap partai untuk “menangkap makna” dari setiap kebijakannya. Sinyal kebolehan rangkap jabatan bahkan dinyatakan oleh staf baru kepresidenan, Moeldoko, yang tak mempermasalahkan jika menteri akan kembali menjabat sebagai pengurus harian partai.

Hal inilah barangkali yang kemudian dimaksud oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa pemilu 2019 mendatang merupakan pemilu terumit di dunia, karena selain diikuti oleh banyak partai yang masing-masing cerminan dari ideologi politik berbeda, soal rangkap jabatan yang diizinkan dalam kabinet akan menjadi kerumitan tersendiri dalam proses ajang kontestasi nasional.

Bagaimana tidak, jika kemudian para menterinya berkampanye untuk kepentingan partainya sendiri-sendiri dan di saat yang bersamaan mereka juga tetap menjalankan tugas sebagai agen pemerintah yang merealisasikan kebijakan-kebijakan nasional.

Bisa saja Jusuf Kalla secara tidak langsung sedang menjalankan “kritik internal” agar presiden segera meluruskan kebijakannya soal rangkap jabatan para menterinya agar tak tumpang tindih, mana kegiatan partai dan mana pengabdiannya sebagai seorang pejabat negara yang lebih fokus pada kepentingan rakyat banyak.

Keirian PDIP atas kemanjaan Golkar, lambat laun semakin memperumit perihal kontestasi politik tahun depan.

***

Editor: https://web.facebook.com/pepihPepih Nugraha