MK Dipuji Lantaran Tolak Uji Materi 3 Pasal KUHP

Jumat, 15 Desember 2017 | 17:35 WIB
0
484
MK Dipuji Lantaran Tolak Uji Materi 3 Pasal KUHP

Indonesia sebagai negara hukum yang nampaknya perlahan semakin menghormati perbedaan dan keberagaman warga negaranya. Itu ditunjukkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang beberapa waktu terakhir banyak mengambil keputusan yang mencerminkan sikap toleransi terhadap perbedaan.

Belum lama ini MK memutuskan bahwa penganut kepercayaan bisa mencantumkan kepercayaannya di kolom agama KTP. Lalu kemaren MK kembali memberi angin segar. MK menolak gugatan uji materi pasal kitab undang-undang hukum pidana tentang zina dan hubungan sesama jenis.

Permohonan Uji Materil itu atas Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tentang perzinahan, Pasal 285 tentang pemerkosaan dan Pasal 292 tentang homoseksual KUHP.

Dalam Putusan Perkara No 46/PUU-XIV/2016 Tanggal 14 Desember 2017 Mahkamah Konstitusi menolak Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 tentang pengujian Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP. Dalam Putusannya MK menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

Hakim menyatakan ketentuan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Permohonan ini diajukan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Euis Sunarti dan sejumlah orang lainnya. Pemohon meminta hakim MK melakukan uji materil atas pasal-pasal tersebut lantaran dianggap mengancam ketahanan keluarga.

Meski diputuskan ditolak, ada perbedaan pendapat atau dissenting opinion loh dari empat orang hakim yang menangani uji materi tersebut yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahidudin Adams, dan Aswanto. Namanya juga manusia, hakim kan manusia juga. Ya wajar dong ada perbedaan pendapat. Katanya sih ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mendasarkan pada norma agama dan sinar ketuhanan.

Pemohon meminta zina dimaknai lebih luas yakni termasuk hubungan badan yang dilakukan pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan.

Sebab, dalam pasal 284 KUHP menjelaskan ancaman hukuman bagi salah satu pasangan atau keduanya yang terikat dalam hubungan pernikahan kemudian melakukan zina dengan orang lain.

Namun, dalam pertimbangannya, hakim menyatakan apabila gugatan itu dikabulkan akan terjadi perubahan perbuatan pidana yang semula delik aduan menjadi delik biasa. Perubahan delik ini dikhawatirkan akan mengubah kualifikasi pasal 284 yang semula dikonstruksikan sebagai urusan domestik laki-laki beristri atau perempuan bersuami menjadi urusan negara. Begitu penjelasan dalam laporan Cnnindonesia.com.

“Negara semestinya baru akan turun tangan jika pihak-pihak memintanya melalui delik aduan dan harus dihentikan jika aduan itu dicabut,” ucap hakim anggota Saldi Isra.

[irp posts="4865" name="Lahirnya Pusat Data Putusan Mahkamah Konstitusi"]

Ketentuan dalam pasal tersebut juga dinilai telah tepat karena menegaskan bahwa seorang laki-laki atau perempuan yang terikat pernikahan tak boleh berzina dengan orang yang bukan suami atau istrinya.

Pada pasal 285 KUHP, frasa kekerasan atau ancaman perbuatan perkosaan yang memaksa perempuan bukan istrinya membuat arti pemerkosaan hanya terjadi pada perempuan. Padahal kan bisa saja laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan, kan?

Hakim dalam pertimbangannya menyatakan aturan tentang pemerkosaan dengan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan telah sesuai karena diberikan atas konteks KUHP dan tidak berkaitan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang lebih spesifik.

Serta pada pasal 292 KUHP tentang perbuatan cabul hubungan sesama jenis dianggap hanya memberikan perlindungan hukum terhadap korban yang diduga belum dewasa, sedangkan pada korban yang telah dewasa tidak diberikan perlindungan hukum. Pemohon menginginkan orang dewasa yang melakukan hubungan sesama jenis dengan orang dewasa mestinya juga dihukum. Jelas, jika ini dikabulkan hakim, tentu akan menyasar kaum LGBT.

Lagipula, permohonan yang diajukan pemohon malah menjadikan MK seolah sebagai lembaga pembuat undang-undang. Sebab membuat ketentuan perundang-undangan. Harus dilihat juga tuga dan wewenang yang dimiliki MK.

Pengujian UU yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh MK. Sebab hal tersebut merupakan bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang. Hal demikian adalah kewenangan Eksekutif pembuat UU sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, yakni kewenangan DPR dan Presiden.

Menambah frasa atau norma baru dinilai akan mengubah sifat melawan hukum dan hal itu tidak dapat diterima dalam penalaran hukum.

Pasca putusan MK tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam rilis tertulisnya memberikan apresiasi sebesar-besarnya putusan MK tersebut.

"ICJR sejak dari awal menegaskan bahwa apabila permohonan ini diterima, maka Indonesia akan diterpa krisis kelebihan tindak pidana atau overkriminalisasi," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam rilisnya Kamis 14 Desember 2017.

Overkriminalisasi, lanjutnya, menjadi ancaman serius bagi kebijakan hukum pidana di Indonesia. Penggunaan hukum pidana yang berlebihan akan menimbulkan dampak buruk bagi warga dan institusi negara secara makro.

"Memperluas makna dari zinah dengan cara menghapus syarat ikatan perkawinan (mengkriminalkan hubungan seksual suka sama suka) dan memidana hubungan seksual sesama jenis jelas akan menimbulkan overkriminalisasi," ujar Supriyadi.

Keputusan Mk ini patut diberikan apresiasi atas dasar kehidupan yang lebih masyarakat Indonesia yang lebih toleransi dan menghargai perbedaan.

***