Menang di MK, "Next" Soal Kolom Agama bagi Penghayat Kepercayaan

Kamis, 9 November 2017 | 09:01 WIB
0
553
Menang di MK, "Next" Soal Kolom Agama bagi Penghayat Kepercayaan

Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan angin segar bagi kebebasan beragama di Indonesia. Setelah memutuskan Penghayat Kepercayaan dapat ditulis dalam kolom KTP, MK juga akan memberikan dukungan penuh kepada sejumlah aliran kepercayaan lainnya yang selama ini merasa didiskriminasi oleh pemerintah.

Hal tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Dasar 1945 yang berbunyi, "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya".

Dengan begitu, apakah penganut kepercayaan lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia akan mendapatkan perlakuan sama seperti penganut Penghayat Kepercayaan dari Riau?

Indonesia memiliki keberagaman yang unik. Dari kebudayaan hingga suku etnis yang begitu banyak. Tercatat, di sejumlah daerah lainnya juga terdapat agama atau kepercyaan yang diyakini lebih tua sebelum Islam, Budha, Kristen Protestas, Katolik, Hindu, dan Kong Hu Cu datang.

Sebut saja seperti di Jawa Barat, sebagaian warga Sunda dan Kanekes masih punya kepercayaan terhadap agama leluhur mereka yang hingga saat ini dipeluk yakni kepercayaan Sunda Wiwitan. Sedang di Lebak Banten, Sunda Wiwitan aliran madrais juga dikenal sebagai agama Cigugur atau/dan ada beberapa penamaan lain di Cigugur.

Kepercayaan lainnya seperti Kejawen juga dapat ditemukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Batak, masyarakat di sana percaya akan kepercayaan Parmalin yang merupakan agama asli mereka. Begitu pula di Kalimantan yang punya Kaharingan dan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara dan Tolotang di Sulawesi Selatan serta Wetu Telu di Lombok dan Naurus di Pulau Seram Provinsi Maluku, dan lain-lain.

Artinya, jika pemerintah ingin mengakomodasi semua kepercayaan yang PepNews.com himpun dari berbagai sumber, agama-agama kepercayaan tersebut di atas harus pula mendapatkan prioritas. Tidak semata hanya ingin mencari sensasi belaka.

Alumnus Antropolog Universitas Indonesia (UI) yang saat ini berdiam di Riau, Rawa El Amady, sebagaimana diberitakan Detik.com, Selasa 7 November 2017, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk memberikan dukungan dengan keputusan MK tersebut. Menurutnya, di Riau masih banyak suku di pedalaman yang selama ini punya kepercayaan sendiri tentang keagamaan,

"Keputusan MK harus dipatuhi semua komponen yang ada, terutama pemerintah daerah, dalam mengakomodasi aliran kepercayaan,” Kata Rawa El Amady.

Rawa El Amady menjelaskan, hingga saat ini di Riau terdapat beberapa komunitas suku yang menerima tekanan baik secara ekonomi dan politik sehingga mereka dengan terpaksa harus memeluk agama yang di telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Padahal, kata dia, komunitas itu sejak turun-temurun telah punya kepercayaan terhadap agama nenek monyang mereka.

Rawa mengatakan, adapun hingga saat ini di pedalaman Riau terdapat suku Akit di Kabupaten Kepulauan Meranti, suku Sakai di Siak, suku Talang Mamak di Inhu, suku Laut di Inhil, dan sebagian lainnya tersebuat di Provinsi Kepri. Selain itu, kata dia, ada pula suku Hutan serta suku Bonai di Kabupaten Rohul.

[caption id="attachment_3650" align="alignleft" width="500"] Kelompok masyarakat Sunda Wiwitan (Foto: Inibangsaku.com)[/caption]

Sementara, Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkum HAM Yasonna Laoly, melalui pejabat Kemendagri, Widodo Sigit mengatakan, Tjahjo beserta Yosanna telah menyetujui gugatan atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK.

Namun, kata Sigit, Mendagri dan Menkum HAM meminta pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dijadikan dasar legitimasi kebijakan itu, yang disampaikan dalam pendapat hukum/legal opinion pemerintah menanggapi gugatan Penghayat Kepercayaan.

Pemerintah dalam hal ini memohon kepada MK untuk dapat memberikan pertimbangan konstitusionalitas atas pengaturan terkait kolom agama dalam rangka menentukan arah kebijakan yang lebih baik bagi pemerintah selaku penyelenggara negara.

Namun, apakah dengan berpedoman pada legitimasi dari MK maka semua agama kepercayaan leluhur akan resmi diterima oleh negara?

PepNews.com menelusuri fakta yang menjurus ke arah pembenaran tersebut. Tapi, beberapa sumber tidak berbicara secara gamblang bahwa semua kepercayaan akan di akui secara resmi oleh pemerintah, kecuali “Kolom agama atau identitas keagamaan di KTP adalah sebuah panduan penting untuk menentukan arah pembangunan”.

“Dengan tidak masuknya Penghayat Kepercayaan di kolom agama, maka arah pembangunan tidak maksimal,” kata Tjahjo-Yasonna dalam petitumnya.

Sementara, setelah berpuluh-puluh tahun tidak diakui oleh negara menjadikan para penganut agama Sunda Wiwitan tak menyerah begitu saja. Terbukti pula, para Penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang ada di Kampung Cirendeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, mengaku lega dan puas dengan hasil keputusan Mahkamah Konsitusi (MK).

"Saya lega sekali. Akhirnya, setelah berpuluh-puluh tahun kami diakui juga," kata salah satu penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, Eulis Nurhayati (56) tahun di Jakarta, Selasa, (7/11/2017) kemarin.

Ia mengatakan, setelah menunggu begitu lama, akhirnya kini warga Cirendeu yang menganut kepercayaan tersebut bisa berpuas diri, dan ke depannya kolom keagamaan di KTP dan KK mereka tidak lagi kosong tanpa agama.

MK baru saja mengabulkan gugatan pemohon atas pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan yang bertentangan dengan UUD 1945 tentang Agama.

***