Konsisten Berkarya, Tak Ragu Bertindak dan Jujur dalam Perbuatan

Minggu, 17 September 2017 | 16:02 WIB
0
578
Konsisten Berkarya, Tak Ragu Bertindak dan Jujur dalam Perbuatan

Saya harus menghubungi langsung kepada pengundang yang mengundang saya berkunjung ke luar negeri. Bukan apa-apa, saya khawatir surat elektronik itu salah alamat, juga khawatir salah redaksional. Untuk itulah saya perlu mengeceknya langsung by voice. "Coba cek sekali lagi, sebab sekarang saya bukan jurnalis dan sudah resign dari koran, jangan-jangan salah alamat!"

Jawaban yang saya terima sunggguh sangat mengejutkan, juga bikin hati senang dan berbunga-bunga. Menurut penjelasan di ujung henpon, benar bahwa pemberitahuan berupa surat elektronik yang ditujukan kepada saya itu tidak keliru. Terlebih lagi, orang yang diundang adalah benar; saya sendiri.

"Saya bukan lagi wartawan loh, Mbak," kata saya. "Paling saya menulis laporan weblog pribadi saya, tidak bisa lagi menulis di media mainstream!"

"Ya, 'kan Mas diundang sebagai KOL, Key Opinion Leader!"

Oalah....

Jujur, saat saya memutuskan untuk resign, tepatnya pensiun dini dari Harian Kompas 1 Januari 2017 lalu untuk memulai "sesuatu" yang baru, tidak terpikir sedikitpun bahwa saya bisa mendapat undangan lagi ke luar negeri yang oleh sementara orang dianggap prestis, sulit didapat dan karenanya menjadi "barang" berharga itu.

Saat saya bekerja sebagai jurnalis, jelas undangan ditujukan kepada lembaga (Harian Kompas) dan saya ditugaskan oleh kantor setelah ditentukan oleh para petinggi di sana. Jadi, jika undangan ditujukan kepada saya selaku jurnalis, belum tentu juga saya yang ditunjuk untuk berangkat.

Ada semacam "pemerataan" kesempatan agar yang pergi ke luar negeri tidak jurnalis itu-itu melulu. Sistem pemerataan ini baik-baik saja untuk memberi kesempatan kepada jurnalis lain sama-rata, tetapi buruknya jurnalis yang ditunjuk belum tentu menguasai persoalan pengundang. Ya, itu masalah lainlah..... Kembali fokus pada undangan saya ke Shenzhen, Tiongkok.

Ups... saya lupa kalau undangan kali ini diberikan perusahaan teknologi besar di Tiongkok, Huawei, di mana saya akan berada di kantor pusat perusahaan teknologi yang didirikan 30 tahun lalu oleh Ren Zhengfei selama kurang lebih sepekan.

Di "Silicon Valley" Tiongkok itu saya akan mengikuti "2017 Seed for the Future", program yang disediakan bagi 10 mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang lolos program penjaringan untuk belajar budaya dan teknologi informasi terbaru yang dikembangkan selama sebulan di Beijing, Shanghai dan Shenzhen.

Naluri menulis

Meski saya akan bertugas bukan sebagai jurnalis mewakili perusahaan media, melainkan sebagai KOL mewakili diri saya sendiri, tetap saya tidak main-main menerima undangan ini.

Di satu sisi, boleh saja undangan ini dianggap sebagai refreshing dari kepenatan rutinitas sehari-hari di Jakarta. Tetapi, di sisi lain, ini adalah semacam ujian apakah saya akan memanfaatkan undangan ini sekadar main-main atau saya lakukan secara serius karena ini justru kesempatan baru di mana keajegan saya untuk tetap menulis mendapat ujian paling berat.

Saya memilih yang kedua. Di balik kesempatan ini ada tantangan yang terbuka, saya harus tetap menulis!

Bedanya, jika dulu saya menulis di Harian Kompas atau Kompas.com, saya tidak harus "mati gaya" karena masih tetap bisa menulis di media sosial. Saya bisa menulis di blog sosial yang pernah saya dirikan, Kompasiana, saya bisa menulis di blog atau website pribadi PepNews! (yang keren, menurut saya hahaha...) atau saya bisa menulis di platform tanya-jawab Selasar di mana saya juga ikut mendirikannya. Saya bisa menulis di mana-mana!

KOL atau Key Opinion Leader hanyalah sebutan saja untuk "mendefinisikan" posisi yang bukan jurnalis lagi dan itu saya terima dengan senang hati. Namun, naluri menulis tetap tidak pernah hilang. Sebagai gambaran saat saya diundang beberapa tahun lalu ke luar negeri, saya bisa menulis kunjungan ke negara itu sebagai "catatan perjalanan" yang bersambung sampai belasan serial!

Apa kuncinya? Saya selalu memposisikan diri sebagai "cub reporter", wartawan kemarin sore (yesterday afternoon journalist), yang lincah ke sana-kemari seperti anak singa yang sedang "kumincir" (bahasa Sunda, lincah), haus akan pengetahuan dan selalu ingin tahu apa yang saya lihat. Saya akan mencatatnya dengan detail setiap peristiwa atau benda yang saya jumpai selama perjalanan itu saya. Kemudian saya merangkaikannya dalam sebuah tulisan serial, bila perlu saat itu juga. Saya tidak biasa menunda-nunda proses menulis. Itulah yang biasa saya lakukan.

Kini kesempatan berkunjung ke luar negeri itu datang lagi. Naluri saya menulis tumbuh sebagaimana biasanya, tidak pernah padam. Sebagaimana yang sering saya lakukan, saya harus membaca literatur mengenai negara dan perusahaan atau lembaga di mana saya berkunjung sebagai bekal pengetahuan, supaya tidak o-on dalam bertanya.

Membaca sudah menjadi standar operasional diri yang saya terapkan secara ketat. Maka karena perusahaan teknologi informasi bernama Huawei yang saya kunjungi, saya berusaha mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, termasuk membaca buku tebal mengenai sejarah perjalanan perusahaan ini hingga menapaki puncak;

[caption id="attachment_3107" align="alignleft" width="509"] Wen Han[/caption]

Saya bahkan meminta izin untuk berkunjung ke kantor cabang Huawei di Jakarta yang menempati sejumlah lantai di Wisma BRI2 di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Dari kunjungan menemui Wen Han, perempuan Tiongkok yang menjadi Direktur Komunikasi Perusahaan Huawei di Jakarta ini saya menjadi tahu bahwa Huawei Indonesia sejak berdiri tahun 2000 sampai sekarang mempekerjakan 2.800-an pekerja di mana 83 persen di antaranya pekerja Indonesia. Saya menemui Wen ditemani Yunny Christine, Deputi Direktur Komunikasi.

Wen yang fasih berbahasa Inggris, selama 30 menit perkenalan lebih dominan bicara mengenai teknolog informasi yang berkembang di daratan Tiongkok maupun di tingkat global. Ia selintas bercerita mengenai apa yang sedang dilakukan dan dikembangkan Huawei sebagai perusahaan teknologi informasi global.

Ponsel atau smartphone hanyalah salah satu produk yang menjadi penyangga, sementara di bidang lain Huawei tak kalah ekspansif seperti mempersiapkan bisnis cloud computing dan pengembangan infrastruktur untuk teknologi video. Dipercaya, selama beberapa tahun ke depan video akan menjadi tulang punggung bisnis platform di Internet.

Saya ladeni dengan mengatakan bahwa Tiongkok sedang mengembangkan 5G yang kelak akan digunakan dalam Piala Dunia 2018 di Moskow, Rusia, juga akan dikembangkan untuk kepentingan IoT, Internet of Thing, khususnya untuk mobil swakemudi. Tetapi Wen mengatakan, teknologi 4G yang sekarang ada saja sudah mumpuni untuk kecepatan transfer data yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengingatkan kepada siapapun yang berkarya dalam tulis-menulis. Menulis bukan proses instan, Anda perlu banyak waktu untuk menjadi penulis sejak tonggak kepenulisan ditancapkan. Godaan terbesar dari menulis adalah malas, juga hilang semangat karena apa yang ditulis tidak kunjung berbuah manis. Saya selalu katakan, mungkin buahnya tidak langsung berupa materi dari menulis, tetapi bisa berupa subsititusi.

Dengan menulis, Anda jelas bisa jadi penulis, apapun. Anda juga bisa mengajar menulis kepada orang-orang jika sudah punya cukup pengalaman. Anda bisa menjadi pejabat dari kecakapan menulis, dan pekerjaan lain terbuka dari menulis. Kuncinya tetap konsisten dalam menulis, mantap dalam bertindak, dan selalu jujur dalam perbuatan. Jujur ini nomor satu, sebab ia "mata uang" yang berlaku di mana-mana di kolong langit ini.

Dari menulis, saya bisa menjadi jurnalis. Bahkan tatkala sudah tidak lagi jurnalis, saya tetap mencicipi buah manis dari menulis, yaitu mendapat undangan ke luar negeri untuk mengajar atau sekadar kunjungan dengan menjadi KOL, Key Opinion Leader.

Dengan menulis, pintu rezeki terbuka lebar.

***