Saya tidak tertarik lagi mengulas sejarah Rohingnya, itu sudah basi dan bagi yang sukar memahami ya selamanya tidak akan mudah mengerti apalagi berempati secara positif. Saya lebih tertarik menyikapi reaksi internal dalam negeri dari berbagai kalangan yang berbeda.
Minimal saya menemukan empat reaksi yang berbeda.
Pertama, ini reaksi paling esktrem. Maunya pemerintah kita segera mengirim pasukan untuk membela kaum Rohingnya.
Sikap seperti ini mudah diduga muncul dari kalangan Wahabi, yang inginnya kita meniru gaya "panutan" mereka, Arab Saudi, untuk menggempur Kelompok Houthi di Yaman yang notabene Syiah dan didukung Iran. Hal ini di samping muskil, juga pasti akan memicu konflik yang lebih besar yang tak ada gunanya. Setahu saya, setelah kunjungan Raja Arab yang heboh dan hedonis itu, Indonesia belum lagi jadi "kacung"-nya.
Kedua, pemerintah diminta menyediakan pulau untuk menampung para pengungsi Rohingnya.
Ini sikap yang lebih moderat, tapi berbau sangat Orde Baru. Ingin meniru cara Presiden Soeharto menolong para "manusia kapal" dari Vietnam, yang negaranya memang sedang dilanda perang saudara yang dahsyat. Dulu hal ini dimungkinkan, karena (hal ini yang tidak banyak orang tahu), mula-mula mereka mendarat di Batam. Lalu mereka membakar kapalnya, agar tak lagi bisa diusir keluar. Cerdik!
Hingga akhirnya, dipinjamkannya Pulau Galang secara resmi untuk menampung pengungsi yang jumlahnya ratusan ribu itu.
Namun, tampaknya hal ini juga tidak mungkin. Karena masyarakat internasional juga tahu, betapa sulitnya karakter orang Rohingnya. Jika mereka "acceptable", tentu Bangladesh sebagai induk semangnya maupun Myanmar sebagai tempat numpangnya tidak bereaksi sekeras sekarang.
Ketiga, Pemerintah didesak memutuskan hubungan diplomatik dengan Myanmar.
Nah, ini bukan saja statement yang lugu (maksudnya "lu guoblog" banget), tapi juga out of context. Realitasnya Indonesia adalah satu-satunya negara yang dipercaya oleh pemerintah Myanmar dan memiliki akses langsung kepada pengungsi Rohingnya karena ikatan sejarah baik sejak jamannya U Nu dan Sukarno bergandengan tangan menggagas Gerakan Non Blok dan Konferensi Asia Afrika.
Tampaknya tak ada hubungan yang lebih tulus antarnegara, kecuali Indonesia-Myanmar. Bahkan tanpa banyak gembar-gembor, Pemerintahan Jokowi sudah memberikan bantuan maksimal dengan secara kontinyu mengirim bantuan pangan dan obat-obatan. Bahkan membangun sekolah dan dalam waktu dekat ini rumah sakit di Rakhine. Indonesia bahkan diutus oleh PBB sebagai agen untuk menyalurkan bantuan Internasional untuk saudara kita di Rohingnya. Hal ini karena memang Pemerintah Myammar menutup semua akses internasional untuk Rohingnya.
Sikap keempat, dan ini juga sikap saya pribadi. Lebih mempercayakan apa yang sudah dilakukan Pemerintah Jokowi.
Umumnya, kelompok ini menyadari tidak mudahnya memahami karakter persoalan orang Rohingnya. Khususnya secara geopolitik dan rasis. Apalagi saat ini, mereka sudah disusupi para ekstremis dan teroris internasional yang membawa-bawa nama agama!
Mereka inilah yang memancing permusuhan dengan menyerang pos polisi dan tentara Myanmar. Sehingga justru menimbulkan reaksi yang pada gilirannya menghancurkan kehidupan saudara-saudara Rohingnya yang tak bersalah dan apolitis, yang sudah "kapiran" makin menderita. Sehingga menimbulkan gelombang pengungsian, yang lucunya justru diterapkan "kuota", pembatasan oleh saudara dekatnya sendiri di Bangladesh.
Saya mendukung sikap Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang tetap tenang dan dingin menyikapi situasi Rohingnya, maupun justru reaksi berlebihan yang muncul dari dalam negeri.
[caption id="attachment_2952" align="alignleft" width="452"] Retno Marsudi (Foto: Tempo.co)[/caption]
Terakhir, saya cuma mengingatkan untuk tidak mudah menggunakan kata "genocida", bahwa ada korban jiwa iya. Karena saya yakin saudara-saudara Buddha kita di Myanmar tidak sekeji itu. Saya masih yakin orang Buddhis adalah golongan paling welas asih.
Bahwa reaksi sebagian dari mereka berlebihan, itu bukan karena ajaran agamanya tapi lebih pada sikap politik sebagian sangat kecil manusianya. Jangan bandingkan genocida di Indo China pada masa Perang Dingin atau malah pembersihan PKI di negeri sendiri yang selalu disembunyikan itu.
Peduli itu baik dan mulia, tapi bereaksi berlebihan itu hanya menunjukkan kurang piknik, salah milih pergaulan, dan kurang bahan baca.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews