Entah kenapa, kalau bicara esai saya selalu teringat buku karya "begawan sastra" Indonesia Hans Begue Jassin yang pada tahun 1980-an menulis empat jilid buku berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Dalam buku itu, Jassin mengumpulkan esainya mengenai karya-karya sastra Indonesia. Saya membaca buku tersebut di tahun 1990-an yang menautkan ingatan saya mengenai esai.
Secara definisi, saya "dipaksa" menghapal pengertian esai sejak duduk di bangku sekolah menengah atas dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Kata kunci yang saya ingat mengenai esai adalah "karangan", "tulisan", "penulis", "prosa", "pikiran", "opini", dan "subjek". Demikian saya biasa menghapal definisi dengan kata kunci, bukan menghapal kata per kata atau verbatim.
Jadi kalau saya diminta untuk mendefinisikan esai, saya akan mengatakan, "esai adalah bentuk karangan atau tulisan bebas mengenai segala hal dalam bentuk prosa di mana inti persoalan aktual yang dibahas sepenuhnya bertumpu pada penulisnya sendiri". Ini semacam karangan bebas yang bukan fiksi, tetapi lahir karena adanya peristiwa faktual yang sedang ramai dibicarakan publik.
Sama dengan artikel atau opini yang lebih pendek, esai yang baik harus memiliki "peg" atau cantelan peristiwa. Tanpa ada cantelan peristiwa, esai akan terkesan garing, mengada-ada, dan sebatas penerawangan belaka. Bagi saya, karena esai merupakan karangan bebas berbentuk prosa, maka ada yang formal dan ada yang informal.
Esai formal bisa ditemukan di dunia akademik di jurnal-jurnal ilmiah, sedang esai informal sebagaimana saya temukan pada majalah atau media. Dari sudut pandangan subjektif, saya lebih menyukai esai informal yang lebih lugas, mengalir, dan mencerminkan si penulisnya dengan gaya bahasa yang digunakannya. Jika saya suka dengan gaya bahasa penulisnya, maka sudah dapat dipastikan saya akan melumat habis sebuah esai.
Teknik menulis esai sama dengan menulis artikel atau opini. Menentukan tema atau topik adalah bagian terpenting. Dari tema atau topik ini nanti diturunkan pada judul. Dari judul diturunkan lagi pada badan berupa pembukaan, isi, dan kesimpulan.
Tema berbeda dengan judul. Tema harus ditentukan terlebih dahulu, misalnya "berita hoax dan pemerintah".
Paling mudah adalah menentukan relasi antara dua subjek itu, "hoax" di satu sisi dan "pemerintah" di sisi lainnya. Misalnya saya berasumsi bahwa relasai yang dimaksud adalah "pemerintah kerepotan menghadapi berita hoax" atau "pemerintah jangan menyerah terhadap penyebar berita hoax". Atau bisa juga "Berita hoax bisa menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah".
Apa cantelan peristiwanya? Sebut saja di media massa tersiar kabar bahwa polisi menangkap beberapa orang pelaku "hoax" di berbagai tempat karena diduga memfitnah Presiden RI dengan berita bohong di media sosial.
Mengapa saya tertarik membuat esai mengenai peristiwa "hoax" kaitannya dengan "pemerintah"? Sebab modal utama saya menulis terpenuhi, yakni saya mengusai persoalan ini. Dari sisi kredibilitas dalam kepenulisan, saya lulusan Komunikasi dan selam 26 tahun bekerja di sebuah media besar. Saya juga penggiat media sosial, tempat di mana "hoax", fitnah dan sumpah serapah tumbuh subur. Selain kredibilitas, karenanya saya punya kapabilitas untuk menuliskannya.
Esai harus selalu dibuka dengan pendahuluan yang menjelaskan apa-apa yang ingin dipaparkan, jangan lupa sebutkan "peg" atau cantelan peristiwanya sehingga esai ini dibuat. Kemukakan alasan dan keinginan menulis esai ini, misalnya persoalan ini penting diketahui publik, bahwa publik jangan percaya begitu saja terhadap postingan yang muncul di media sosial, bahwa pemerintah harus bertindak menanganinya agar kepercayaan publik tidak tergerus.
Kesimpulan adalah penting dalam sebuah esai yang menunjukkan pendapat subjektif si penulisnya. Benar bahwa kesimpulan yang dikemukakan akhirnya pemerintah lebih mengaktifkan kementrian komunikasi dan informasi dengan membentuk satgas khusus penanganan berita hoax, lengkap dengan cara kerja dan efektivitasnya. Jika ternyata satgasus ini masih kurang karena seharusnya diberi peran yang lebih dari sekadar satgasus, itulah "what next"-nya dari sebuah esai.
Artinya, saya tidak berhenti pada kesimpulan sebagaimana dalam menulis berita yang cukup mencakup 5W1H (who, what, where, when, why, how). Saya akan menambahkan satu unsur lainnya dalam menulis esai, yaitu unsur what next. Jadi setelah satgasus penanganan berita hoax, apalagi yang harus dilakukan jika fitnah itu justru bukan berasal dari media sosial, tetapi dari pesan berantai, dari grup-grup percakapan yang eklusif melalui berbagai aplikasi digital yang bersifat private.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews