Jika Terpilih, Anies dan Agus Tetap Bakal Menggusur Kawasan Kumuh

Kamis, 13 Oktober 2016 | 07:33 WIB
0
530

Peristiwa penggusuran kawasan kumuh di DKI Jakarta yang kerap dilekatkan maknanya dengan perbuatan tunggal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kini mulai terlihat dramatis dan menjadi dagangan baru dalam konstelasi politik DKI yang tengah memanas. Terlebih, penggusuran itu masih berlangsung sampai saat ini, yang dalam matematika politik sebenarnya sangat berisiko bagi konstruksi citra sang petahana.

Situasi ini, tentu saja sangat menguntungkan pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno dan Agus Harmurti Yudhoyono - Sylviana Murni yang langsung mengemasnya dalam paket-paket retorika politik mereka. Ada dua tipe retorika ala Aristoteles yang mereka gunakan:

Pertama, retorika deliberative. Memengaruhi khalayak secara persuasif untuk mengkritisi, menolak atau menentang kebijakan pemerintahan. Yang paling santer, tentu saja seputar kasus penggusuran, tuduhan penistaan ayat al-Quran, dan pembersihan sungai yang ramai di linimasa.

Kedua, retorika demonstrative, yang digunakan untuk mengembangkan wacana yang dapat memuji atau menghujat. Dalam komunikasi politik, tipikal retorika semacam ini dikenal sebagai high context culture, melekat pada tipologi politisi wakil, di mana mereka adalah artikulasi kepentingan politik individu ataupun kelompok.

Politisi wakil biasanya tak lahir dari proses kaderisasi, melainkan dari posisinya sebagai vote getter (pendulang suara) seperti selebritas, publik figur, tokoh militer, akademisi dll.

Sila perhatikan komentar-komentar Anies dan Agus dalam beberapa pemberitaan media, seperti pernyataan Anies berikut ini, "Saya tidak mengatakan bahwa nol, enggak akan ada penggusuran, enggak. Memang ada yang harus pindah karena kepentingan umum yang harus dinomorsatukan." Lebih halus lagi, Ujar Anies, "Jadi, bukan semata-mata memindahkan, tapi membuat kehidupan di tempat tersebut menjadi lebih baik."

Nampak sekali kelas bicara seorang Anies memang tinggi. Lantas, apakah pesan yang dikemas sebegitu halus akan persis dengan kenyataannya? Belum tentu. Apalagi penggusuran di DKI Jakarta krusial dibutuhkan sebagai bagian dari rancangan pembangunan kota.

[irp]

Artinya, Anies pun akan menjelma jadi tokoh antagonis dalam prosesi penggusuran apabila dia terpilih, sekalipun ia akan melakukannya dengan cara halus. Tapi maknanya sama yakni sebuah penggusuran, dan yang terpenting pasca-penggusuran itu mau diapakan nasib kaum tergusur? Hal ini juga tidak gamblang dan terang diungkapkan oleh Anies seorang.

Bagaimana dengan Agus Yudhoyono? Setali tiga uang. Kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitulah Agus, seperti SBY ayahnya, piawai memainkan psikologi politik publik dengan gaya bahasa konteks tinggi.

"Saya dan Bu Sylvi tentu akan mempelajari segala isu yang bekembang di Jakarta lebih utuh, tidak melihatnya secara sepotong-sepotong, tetapi dalam hati saya mungkin lebih tepat penataan, bukan penggusuran," kata Agus, dalam jumpa pers "Di Balik Keputusan Agus Yudhoyono", di Cibubur, Depok, Jawa Barat, Senin 3 Oktober 2016.

Di sini, teknik retorika elocatio digunakan Agus dengan baik. Pemilihan diksi dan pengemasan bahasanya rapi. Kata “penataan” itu sendiri bisa kita maknai relokasi, peremajaan, perombakan, maupun penggusuran. Tetap saja lokasi kumuh itu akan terkena sentuhan sana sini. Intinya sama, warga harus pindah dari kampung kumuh yang masuk dalam rencana pembangunan ibu kota.

Terlepas dari semua penafsiran kalimat-kalimat bersayap di atas, setidaknya Anies dan Agus sudah menjalankan fungsi art of speech (seni berbicara) dalam membungkus isu-isu di atas. Feed back yang mereka terima pun tidak akan sefatal Ahok yang terbiasa berbicara ceplas-ceplos, yang oleh sebagian orang dianggap kasar dan jauh dari sopan-santun.

***

[irp]