Tidurmu Perenggut Sejati Kedudukan, Jabatan, dan Kekayaanmu

Selasa, 20 September 2016 | 08:25 WIB
0
702
Tidurmu Perenggut Sejati Kedudukan, Jabatan, dan Kekayaanmu

Pepatah “harta tidak dibawa mati” sudah umum terdengar, sudah teramat klise. Empat kata ini biasa ditujukan kepada siapapun yang terlalu sayang harta kekayaan secara berlebihan. Demikian juga kedudukan dan jabatan.

Akibatnya, hidup terkekang oleh ketakutan akan harta kekayaannya hilang digasak maling, takut diminta orang, atau takut-takut jenis lainnya. Pun takut jabatannya melayang dan takut kedudukannya melorot.

Semakin kaya orang, semakin besarlah rasa takut akan kehilangan kekayaannya itu. Semakin tinggi kedudukan orang, semakin takutlah ia jatuh terjerembab. Semakin penting jabatan orang, semakin takut pulalah ia kehilangan jabatannya.

Wajar kalau mereka yang punya kekayaan, jabatan, dan kedudukan  memproteksi apa yang mereka miliki dengan segala cara. Kalau rasa takut terlalu membelenggu kehidupannya sehingga menjadi budak ketakutan itu sendiri, beruntunglah orang yang biasa-biasa saja. Kekayaan secukupnya, kedudukan tidak terlalu tingggi, dan jabatan apa adanya.

Bukan berarti orang tak punya kekayaan, rendah kedudukan dan minim jabatan lebih beruntung dibanding orang berpunya, berkedudukan dan punya segudang jabatan. Setidaknya orang-orang ini tak akan pernah takut kehilangan kekayaan, jabatan, dan kedudukannya. Boleh jadi, hidup mereka jauh lebih tenang dibanding orang yang hidupnya dibayang-bayangi ketakutan akan kehilangan ini-itu.

Tetangga saya bilang, pepatah “harta tidak dibawa mati”. Itu terlalu kejauhan dan sudah klise, pikir saya. Padahal yang paling dekat dan paling mengena dalam kehidupan sehari-hari, istilah yang paling tepat adalah “harta tidak dibawa tidur”. Cuma beda antara “mati” dan “tidur”, tetapi akibatnya bisa lain jika disandingkan dengan tiga kata sebelumnya, “harta tidak dibawa”.

Contoh kecil saja,  Anda punya mobil baru, punya uang segudang, punya sepatu bagus dan mahal, bahkan punya istri cantik atau suami ciamik; semua menjadi hilang tak berbekas, tak ternikmati, dan tak berarti apa-apa kala Anda terlelap tidur. Bayangkan Anda punya kedudukan tinggi dan jabatan penting, kemudian Anda tertidur sejenak. Nah, kekayaan, kedudukan dan jabatan tidak dibawa tidur, bukan?

Pepatah “harta tidak dibawa tidur” sungguh menyadarkan saya pribadi: jangan terlalu mencintai harta kekayaan secara berlebihan sehingga kemudian terkungkung oleh ketakutan yang tidak perlu. Juga jangan terlalu mengejar kedudukan tinggi dan jabatan penting bila saat tidur saja Anda kehilangan semuanya.

Andai saya punya Ferrari dan kapal pesiar mewah yang harganya bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan miliar rupiah, semua harta kekayaan itu akan “menghilang” dari ingatan ketika kita sedang terlelap bahkan sejenak saja. Pun jabatan dan kedudukan. Apalagi tidur betulan dan tidur panjang kelak saat tubuh dipeluk bumi.

Mengapa saya harus bercerita tentang harta kekayaan?

Pepatah “harta tidak dibawa tidur” ini menautkan ingatan saya pada peristiwa Mei 1999 saat saya mendapat tugas berkunjung ke negeri berjuluk “Atap Eropa”, Finlandia. Kami datang bersama rombongan yang menaruh minat pada Pemilu, di mana pada saat itu pemerintah Finlandia yang sedang mengadakan pemilu legislatif mengundang jurnalis. Saya mewakili Harian Kompas dan Meutia dari LKBN Antara. Ada juga pakar pemilu, anggota Dewan, sampai para politisi mewakili parpol.

Di Finlandia, saya mengenal seorang politisi sebut saja X dari Partai Y, yang beberapa tahun kemudian menjadi tokoh koruptor kelas kakap yang paling dikenal pada masanya. Politisi yang berpembawaan sinis ini memang terkesan sombong dan tidak mau kenal orang, bahkan rombongan Indonesia ke Finlandia.

Terhadap jurnalis apa lagi. Ia sinis bukan main dan terang-terangan menghindar dari wartawan. Ia seperti melihat hantu, padahal kami dalam rombongan yang sama. Mei Tahun 1999  saat berkunjung ke Finlandia itu dia belum menjadi apa-apa, belum “jadi orang” penting. Tatkala Pemilu 1999 usai, beruntung dia masuk ke Gedung Bundar Senayan.

Meski tidak diangkat menteri karena kedekatannya dengan ketua partai, nasib baik kemudian membawanya ke sebuah badan yang teramat basah sejak dulu, yakni badan yang mengurusi pangan dan ketersediaan sembako bagi rakyat. Kursi empuk Senayan ditinggalkannya untuk sebuah kursi yang lebih empuk lagi, badan di mana sejumlah koruptor lahir.

Belakangan saya baca dan saksikan sendiri dari berita dan tayangan televisi, politisi itu terjerat korupsi berat dan harus berurusan dengan penjara atas perbuatan yang sangat dilaknat rakyat itu.

 

Yang menarik adalah berita televisi saat petugas Kejaksaan Agung menggeladah salah satu rumahnya yang mewah, di mana di WC rumah elit sang koruptor ditemukan gepokan dollar AS yang masih disimpan dalam beberapa ember.

 

Itu uang hasil korupsi yang seharusnya disembunyikan atau dilarikan tetapi telanjur ketahuan aparat kejaksaan. Anda bisa menebak-nebak, berapa uang yang sudah berhasil digasak sang koruptor dan disembunyikan dengan aman di suatu tempat?

Barangkali, barangkali… jika saja sang politisi koruptor itu mengenal pepatah “harta tidak dibawa mati” atau bahkan yang paling sederhana “harta tidak dibawa tidur”, ia tidak akan setamak itu menyikat uang rakyat. Seberapa besar jumlah uang rakyat yang telah disikatnya dengan aman, tetap saja ia akan lupakan semua hartanya itu ketika sudah terlelap, juga jabatan dan kedudukannya.

Jika saja sang koruptor tahu rakyat bakal menderita akibat perbuatannya itu, barangkali ia amanah dan tidak akan melakukan korupsi secara vulgar. Namun itu tadi, kecintaan akan harta benda dan kekayaan, jabatan penting dan kedudukannya yang tinggi telah menutup kesadarannya: kesadaran sebagai manusia beradab.

Beberapa waktu lalu media massa melaporkan berita mengenai seorang  jenderal polisi yang mencuci uang hasil korupsinya pada sejumlah rumah mewah atau dibeli atas nama istri-istri dan kerabatnya. Tidak tanggung-tanggung sampai 40-an aset yang disita KPK karena semua harta kekayaannya terindikasi sebagai hasil menjarah Ibu Pertiwi.

Belum lama, beberapa hari lalu seorang ketua "senator"  terhormat di Senayan, juga kena ciduk KPK karena diduga menerima uang sogokan Rp100 juta, sebuah jumlah yang “teramat kecil” untuk ukuran seorang pejabat kaya dan mentereng. Uang gepokan yang bungkusnya sudah terbuka itu sudah berada di kamarnya saat KPK mencokoknya.  Miris.

Terhadap sang jenderal polisi dan ketua lembaga rakyat inipun saya berani bertaruh, mereka bahkan tidak akan ingat cincin bertaburkan berlian seharga miliaran rupiah dan ikat pinggang seharga puluhan juta rupiah yang mereka pakai saat tertidur barang sekejap saja, sebelum KPK menggelandang mereka ke tahanan. Seberapa besar harta kekayaan yang berhasil digasaknya, kedudukan tinggi dan jabatan penting, tetap saja bakal terlupakan saat mereka tertidur lelap.

Jadi jangan terlalu jauh bermetafora “harta tidak dibawa mati”, yang paling aktual dan mengena justru “harta tidak dibawa tidur”.

Begitu, bukan?

***

Catatan: tulisan tayangulang ini diambil dari buku yang saya tulis, Ibu Pertiwi Memanggimu Pulang (Bentang Pustaka, 2013), dengan perubahan secukupnya sesuai peristiwa aktual.