Dua Ustad

Sabtu, 20 Agustus 2016 | 00:51 WIB
0
417
Dua Ustad

Cerpen: Pepih Nugraha

DUA ustad meninggal di kampung kami secara hampir bersamaan. Meninggal pada hari yang sama, hanya berbeda dalam hitungan menit saja.

Kedua ustad tinggal di kampung yang sama, yakni sama-sama tinggal di kampung kami. Bedanya Ustad Joni tinggal di rumah kampung beratap seng berlantai semen, sedang ustad Amien tinggal di kompleks perumahan mewah beratap genteng berlantai marmer. Peristiwanya seperti dalam cerita saja.

Setiap hari Ustad Joni mengajar ngaji dan ceramah kepada warga masyarakat dari kampung ke kampung tanpa lelah, tak peduli siang maupun malam. Bayarannya seadanya, kadang cukup ucapan terima kasih. Ustad Amien berceramah dari satu televisi ke televisi lain, dari gedung perkantoran ke perumahan keluarga berada, tak peduli siang maupun malam dengan bayaran mahal.

Boleh dikata Joni ustad biasa yang sederhana, Amien ustad selebriti yang kaya raya.

Hari ini Sang Khalik memanggil mereka berdua hampir bersamaan. Tak pelak, penduduk kampung dan penduduk kompleks pun seolah-olah terbelah; mendahulukan melayat ustad Joni yang sederhana atau melayat ustad Amien yang kaya raya. Kampung dan kompleks itu memang bersebelahan, hanya dibatasi tembok tinggi dan kokoh.

“Baiknya kita melayat yang mana dulu?” tanya seorang tetangga bingung.

“Turuti saja kata hatimu,” kataku sekenanya.

“Melayat ustad Joni kau takkan bisa masuk televisi, melayat ustad Amien besar kemungkinan kau bisa masuk televisi. Sudah banyak wartawan televisi yang hadir di sana!”

“Benar, melayat ustad Joni kau tak bisa bertemu menteri, melayat ustad Amien kau bisa bersalaman sama menteri.”

“Turuti saja kata hatimu,” kataku lagi.

Kami memang menuruti kata hati. Tanpa ada yang mengomando, kami orang-orang kampung berduyun-duyun menuju rumah ustad Joni yang sederhana.Ternyata rumah petak berukuran 4×6 itu sudah disesaki para murid-muridnya dan warga biasa dari seisi kampung, bahkan dari kampung tetangga. Istri dan dua anaknya ikhlas melepas kepergiannya, tidak ada tangis berlebihan, apalagi sampai meraung-raung.

Akan tetapi yang menjadi isak tangis murid-murid dan para tetangganya adalah saat jenazah ustad Joni dimandikan. Hampir seluruh tubuhnya yang selama ini terbungkus jubah penuh dengan tatto bergambar koboy remaja tahun70-an. Tato permanen yang sulit dihapuskan.

Ya, ustad bertatto telah berpulang. Sama sekali tidak menunjukkan kegarangan saat ia berkhotbah, tidak pernah ia mengajak pertumpahan darah terhadap orang-orang yang tidak seiman meski bisa saja ia menyampaikan ayatnya. Isi ceramahnya terpilih dan biasa dipilih, disesuaikan dengan khalayaknya.

“Ya Allah, demikian salehnya ustad Joni, ustad yang berakhlak mulia… Ia benar-benar khusnul khotimah, berakhir dengan baik,” orang-orang meratapi ustad yang selalu mewartakan kebaikan, berbicara pelan, dan tanpa pamrih dalam berdakwah ini.

Seorang pria setengah baya maju ke depan, berdoa sejenak dan meminta turut memandikan jenazah ustad Joni. Orang-orang mengenalnya sebagai Raja Tega, bekas narapidana yang mengaku berteman akrab dengan ustad Joni.

“Dulu kami sama-sama langganan penjara, kami sama-sama ditakuti lawan maupun hamba wet,” ungkapnya, menyeringai menunjukkan geligi emasnya yang sudah tidak cemerlang lagi.

Semakin siang-semakin banyak orang yang melayat sehingga kampung di mana ustad Joni disemayamkan penuh sesak. Saat dibawa ke pemakaman, tidak ada kendaraan yang mampu mengantarkannya karena sukar bergerak di tengah lautan manusia. Jenazah ustad Joni ditandu saja sepanjang jalan yang terlewati menuju peristirahatan terakhirnya, diiringi ratap dan isak-tangis orang-orang. Mereka tidak menyangka, ustad Joni punya masa lalu yang kelam, tetapi berubah seratus delapan puluh derajat menjadi ustad yang soleh dan sederhana.

Konon, dunia kriminal ditinggalkannya tidak lama seusai dia membunuh dengan sadis seorang pengusaha Tionghoa karena disuruh oleh pengusaha saingan lainnya. Joni semasa mudanya dikenal sebagai pembunuh bayaran yang kejam. Kalau menghabisi targetnya, dia tidak mau menghambur-hamburkan peluru dipistolnya, tetapi cukup menggorok leher saja dengan belatinya. Saat ia melancarkan aksinya dengan mendatangi target di kediamannya pada suatu petang, tak disangka-sangka muncullah istri si pengusaha Tionghoa, berteriak histeris sambil menggendong anaknya yang masih berusia dua tahun.

Joni tergetar seketika. Pisau belati yang berlumuran darah jatuh tatkala melihat istri si pengusaha itu juga sedang hamil tua. Ibu-anak ini meraung-raung memeluk jenazah orang terkasihnya yang lehernya menganga tersayat pisau belati.

Joni kemudian menyelinap ke luar. Berlari mendatangi orang yang membayarnya untuk membunuh. Bukan untuk melaporkan pekerjaan yang telah tuntas dan menagih bayaran atas pekerjaannya itu. Joni datang dengan pistol berperedam. Tanpa ba-bi-bu, ia menarik pelatuk pistol yang ujungnya mengarah ke kening si pengusaha yang menyuruhnya membunuh pesaingnya tadi. Lima butir peluru yang menembus kepala pengusaha itu menghabisi riwayat hidupnya seketika.

Setelah peristiwa itu Joni menghilang bagai ditelan bumi, polisi tak berhasil melacak keberadaannya.....

Pada saat yang bersamaan di kompleks di mana jasad ustad Amien terbujur di perumahan mewahnya, terjadi pertikaian sengit antara empat istri dan lima perempuan yang mengaku-ngaku sebagai istri sahnya mengenai di mana seharusnya ustad itu dimakamkan. Wartawan televisi yang semula hendak mengambil gambar rumah duka ustad Amien, malah mendapat suguhan peristiwa yang bisa mereka tawarkan untuk acara gosip dan hiburan.

Semakin siang suasana semakin kacau dan memanas karena anak-anak ustad Amien sudah mulai berebut harta peninggalan belum lagi si mayat dimakamkan. Sengitnya pertikaian bisa dilihat dari sudah saling usirnya keluarga besar itu di tengah mayat ayah mereka yang terbujur merana.

Beberapa anaknya malah ada yang memamerkan pistol mahal, menggertak saudara-saudaranya bahwa ia bisa melakukan apa saja demi harta benda peninggalan ayahnya. Melihat kehebohan ini, sejumlah warga yang semula ingin melayat, memandikan dan mengkafani ustad Amien, satu persatu mundur secara teratur.

Sedang aku, kuurungkan niat memasuki rumah ustad Amien untuk melayat. Demikian kata hatiku bicara. Kubuka segera ponsel dan kupijit sebuah nomor.

“Yayasan Sirnaraga? Mohon segera datang ke Jalan Cempaka 21 secepatnya, ada keluarga kami yang meninggal. Tolong mayatnya diurus!”

Aku balik badan untuk segera pergi menjauh.

Masih banyak urusan.

***